"Jangan menggodaku, Kabut!"
"Ha ha ha.. ya ya.. jangan marah lah, Angin!"
"Aku tidak marah.."
"Hai, sudah! Sudah.. sudah.. Ayo kita berangkat!"
* * *
Titik-titik Air menjelma Hujan
Dia membiru. Dia menggigil kedinginan. Aku bersyukur Kabut kali ini tak membuatnya sampai jatuh tersungkur kehilangan kemampuan bernapas normal seperti yang pernah aku saksikan langsung di waktu jauh lalu. Mata Angin, pernahkah dia berpikir kekerasan upayanya menyentuh semakin banyak hati. Tapi aku tak menyalahkan juga tak heran jika Papandayan masih merasa belum nyaman menerima dia yang sekarang ini. Meski aku sangat yakin, suatu saat perdamaian itu akan terjadi.
Angin sudah melambai pamit pergi, hendak mengabarkan keseluruhan yang terjadi pada Matahari dan Rembulan utamanya. Kabut sudah membentengi Papandayan sebagaimana biasa tugasnya. Kini aku yang bertugas menemani Mata Angin dalam perjalanan pulangnya. Dia tampak lelah, tapi riangnya tak tersurut ketika manusia-manusia lain dalam bus itu mulai lebih senang menghabiskan sisa waktu dengan tidur atau berbincang sekenanya dengan terdekat siapa saja.
"Hai, Hujan. Meski langkahku tadi segera terhadang Kabut, aku sudah cukup senang. Aku sudah menapaki Papandayan sejauh itu, sudah membidik apa yang melekat didirinya. Semoga Papandayan suka ya? Aku mau menitipkan hasil bidikanku lewat Angin. Tak masalah jika kemudian Papandayan memilih untuk membuang dan mengabaikannya. Lebih penting aku berusaha berdamai dengannya. Aku tak ingin lagi terus bertanya 'Papandayan, kapankah kau akan membukakan pintu?' sampai aku mati tua. Bukankah perdamaian sudah semestinya diupayakan? Heemm.. terima kasih ya, Hujan, sudah menemaniku sampai menutup perjalanan."
Papandayan, tak tergerakkah hatimu? Bus ini belum meninggalkan bagian dirimu. Aku yakin para telik sandimu telah mengabarkan perkataan Mata Angin tanpa kurang satu aksara dan tanda baca pun.
Papandayan, kapankah kau akan membukakan pintu?