Risau Angin
Sial! Sial.. sial.. siaaal!! Jadi saja kan, Angin yang bodoh!! Jadi saja Awan mengetahui apa yang semestinya masih tersimpan baik-baik ditempatnya. Ceroboh! Ce-ro-boh!! C-e-r-o-b-o-h!! Ceroboh sekali kau ini, Angin! Apa tidak cukup Matahari dan Rembulan saja yang menyadari? Huh!!
"Sudahlah, Angin. Jangan risau begitu."
Aku merasa bahuku ditepuk Matahari. Sekilas kudongakkan kepala, senyumnya bijak menaungi lalu sedetik kemudian mengisyaratkan aku untuk melihat ke arah lain. Aaah, Mata Angin. Aku bisa melihat kepala mungilnya tak sedang berada di deretan yang sama dengan kepala manusia-manusia lain. Pasti dia sudah sibuk sendiri. Jelas terlihat dia sudah sibuk sendiri. Sesaat kami saling bersitatap, sungguh indah senyum dan binar cerianya perlahan mulai terulur kembali.
"Bagaimana dengan Kabut? Apa kau sudah mengabarkan padanya?", Matahari bertanya.
"Segera, Matahari. Segera."
"Hatimu sudah tenang kembali?"
"Sudah. Terima kasih."
"Ha ha ha! Tak perlu berterima kasih, Angin. Tak perlu. Aku sudah semestinya punya peran untuk membahagiakanmu dengan tepat."
Inginnya aku memerah jambu. Tapi diupayakan sekeras apa pun bukannya aku ini tak punya warna? Ha ha ha. Aku mulai terpancing ingin  bertindak bodoh lagi rupanya. Cinta.. Cinta.. apa yang sudah kau perbuat padaku?
"Baiklah, Matahari. Aku pergi dulu."