Mohon tunggu...
Ayu Wulandari
Ayu Wulandari Mohon Tunggu... -

Senang mengamati. Itu saja ^__^

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Papandayan, Kapankah Kau Akan Membukakan Pintu?

7 Mei 2011   03:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:59 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Tenang. Sudah mari aku bantu kau bersiap-siap turun dulu. Ingat Papandayan, ingat tugasmu. Nanti aku ceritakan sambil lalu."

"Tak bisa begitu, Angin. Aku berhak tahu."

"Iya. Nanti aku beritahu. Ayo segera angkat sauh! Aku yang baru datang ini saja bisa merasakan kegelisahan Papandayan. Aku janji aku akan menceritakannya sembari kau menjalankan tugasmu. Masa kau tak percaya padaku??"

Ah, ya ya. Angin benar juga. Sebaiknya aku tidak memperkeruh suasana. Tak ada ruginya bukan menjalankan tugas sekaligus mendapat kabar terkini, serta bertemu muka kembali dengan si Mata Angin yang tersohor? Sejujurnya aku pun sudah cukup lama ingin kembali mencoba ketahanan gadis itu. Terakhir kali aku memeluknya, dia malah sangat tersiksa dan hampir kehilangan nyawa.

* * *

Pintunya masih tertutup

Air, aku resah. Sejak awal sebelum perjalanan ini dimulai pun aku sudah sangat resah. Bukan karena satu pasal penyebab saja. Rupa-rupa. Mungkin aku belum cerita. Tapi aku tak ingin menyusahkanmu dengan cerita yang sebenarnya tak bertema variatif juga. Heuheu.. aku takut kau bosan!

Ulat Bulu tadi menyambutku. Aku sudah senang. Ajaibnya lagi di sepanjang perjalanan, Air! Iya, di sepanjang perjalanan aku merasa Langit sangat memanjakan. Bahkan kompak pula dengan Matahari, Awan, persawahan, pegunungan, perbukitan, pepohonan, sampai ke titik terkecil kehidupan yang bisa aku saksikan dari atas bus yang laju. Kau tahu aku tak pandai menyembunyikan, terlebih jika itu perasaan senang. Hanya saja, resahku yang hilang malah kembali terundang ketika aku mulai bisa melihat Papandayan. Apa dia masih membenciku sejak kehidupan lalu? Apa dia masih kukuh menutup pintu?

Air, aku tak minta dimengerti, tak juga ingin memaksa Papandayan membuka pintu. Aku hanya merasa sedih ada di kalang perasaannya yang kelam itu. Em, tapi aku akan berusaha membidiknya sebaik aku mampu. Suatu saat, ia pasti luluh hingga aku tak perlu terus bertanya kapan dan kapan ia akan akan membukakan pintu.

Dukung aku ya, Air? Aku mohon tetaplah mendukungku yang ingin berdamai syahdu.

* * *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun