"Aku takut." Asther memegang erat tangan Luvia. Wajahnya seputih kapas menahan gejolak hati. Luvia menggenggam tangan sahabatnya ingin memberi ketenangan.
"Tenang, Jimmo nggak nggigit kok. Walaupun keliatan kasar, aku tahu hatinya lembut. Kamu tenang aja."
"Tapi sejak kita sebarkan berita aku mau nikah sama Syam, dia nggak mau negur aku lagi. Sikapnya semakin acuh."
"Itu tandanya dia cemburu setengah mati. Sayangnya seniman yang satu ini tak berani membuka lembaran hatinya untuk kita baca."
"Aku masih takut. Tak ada nada cemburu pada matanya."
"Nanti kau lihat sendiri."
Kedua gadis itu memasuki halaman rumah tempat Jimmo dan Syam tinggal sementara, lalu mengetok pintu perlahan. Seorang ibu penjaga rumah kost membuka pintu dan mempersilahkan mereka masuk. Lalu meninggalkan mereka menunggu di ruang tamu yang tak penuh dengan perabot. Asther memutar matanya mencari ketenangan.
"Mau ngapain kalian?"
Tiba-tiba Jimmo sudah berdiri di pintu penghubung sambil mengucek matanya yang masih merah dan bergelayut kantuk.
"Baru bangun Mas?" Luvia mencoba ramah.
"Hmmm..."