Jimmo berpikir sebentar, mengambil uang dari tangan Luvia dan segera memasukkannya ke kantong jeans belelnya. Kedua gadis itu terbelalak dengan pikiran berbeda.
"Kok cuma uangku yang diambil?" Protes Luvia.
"Iya, ini Mas." Asther.
"Sorry Via, uangku cuma cukup untuk mentraktir Asther, sisanya untuk jatah makan besok. Nanti kalau ada uang saku lebih lagi giliramu aku traktir." Berlalu meninggalkan kedua gadis itu bersama tanda tanya dan pesona.
"As, aku yakin, kali ini kau tak akan patah hati."
"Maksudnya?"
"Naga-naganya cintamu bersambut nih."
"Ah, tidak usah menabur benih di tanah kering Via. Aku memang serba berdebar dan salah tingkah tiap berdekatan dengannya. Dan dia juga masih dengan sikap yang sama dari sejak kita pertama bertemu."
Asther menundukkan wajah, menekuni buku yang tak ingin dibacanya dan mencoba menenangkan hatinya yang tiba-tiba menjadi galau. Diliriknya Jimmo sedang menikmati kreteknya sambil bersandar pada tiang. Acuh.
"Jimmo memang terlihat sangat wajar bahkan seperti tak perduli dengan sekitarnya, tapi aku yakin, pasti dia memiliki cinta seperti yang sedang kau rasakan."
"Kalau dia ingin membagi cintanya denganku, pasti dia sudah mengatakannya padaku Vi. Aku tak mau berhenti di persimpangan yang akan membuatku tak pernah melangkah."