Mohon tunggu...
Kit Rose
Kit Rose Mohon Tunggu... -

Mawar Hitam. Arema 60th.\r\nDid you know about this and that? Well I want to know.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Melukis Langit

10 Januari 2010   05:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:32 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Jeritannya melengking membahana memenuhi seluruh penjuru rumah dan menghentak setiap pendengarnya. Hendra berlari memasuki kamar dan dilihatnya Puniawati terkulai di lantai, kaku tak bergerak. Wajahnya pucat pasi entah sedang menyaksikan apa. Belum sampai diangkatnya tubuh istrinya Hendra dikagetkan suara lengkingan putrinya yang sudah berada dibalik punggungnya. Cepat Hendra berdiri dan mengikuti pandangan putrinya, tubuhnya bergidik menyaksikan puluhan belatung menggeliat berebut tempat diatas tempat tidur, tepat dibawah bantal Puniawati.

***

"Apa yang Nini lihat selain binatang-binatang itu?"

Puniawati menatap tajam pada gurunya. Ingin mencari kekuatan, namun keraguan memenangkan hatinya dan menjawab pertanyaan sang guru dengan menggeleng. Sesuatu mengatakan agar dia tidak menceritakan apa yang sudah dilihatnya. Dia sendiri tidak mengerti mengapa makhluk itu bisa berubah menjadi binatang-binatang kecil yang menjijikkan. Sang guru balas menatap penuh pengertian.

"Baiklah kalau memang Nini merasa tidak perlu menceritakannya, saya bisa mengerti. Apa Nini masih puasa?"

Mengangguk.

"Saya sudah melarangnya guru, tapi tetap saja. Dan dipaksa ke dokter juga nggak mau."

"Jangan dilarang mas Hendra. Inilah satu-satunya cara untuk memulihkan kondisi Nini Puniawati. Doa, puasa dan dzikir. Kejadian berturut-turut bahkan yang hampir merenggut nyawanya di Bali kemaren itu cukup banyak menguras energinya. Biarkan Nini memulihkan kesehatannya dengan petunjuk yang sudah diberikan pada Nini sendiri."

"Apa tidak malah membuatnya lemas guru?" Bantah Hendra.

"Kan mas Hendra lihat sendiri, dengan puasa kesehatan Nini semakin hari semakin membaik. Lukanya saya lihat juga semakin mengatup. Bahkan yang di pundak juga sudah mengering."

Puniawati mengawasi Hendra mengantar tamunya dari celah pintu yang sedikit terbuka. Satu persatu bayangan yang entah darimana datangnya menancap kembali dengan ganas dimata sayunya. Hatinya mendesah pada sang terkasih,

"Ya Allah, ajari aku bagaimana melukis apa yang sudah Engkau lukiskan di langit yang biru sana. Engkau sudah menorehkan warna warni indah disana dan aku sangat menikmati manis getirnya. Tapi bagaimana menyampaikan lukisan yang terbingkai rapat ini padanya? Kenapa tidak Engkau tunjukkan saja lukisanMu itu pada suamiku? Hingga aku tak perlu lagi menyimpan lelah mencari kata yang indah untuk mengukirnya kembali."

***

"Mas, lagi enak hati nggak?" Puniawati meletakkan cangkir kopi di meja dan mengintip hati suaminya dibalik wajah tegangnya.

"Hm, ada apa." Datar.

"Mengenai cafe. Apa nggak dipikir ulang buka cafe barunya?" Takut-takut.

"Kenapa?"

"Cafe yang lama aja hampir karam, apa nggak dibenahin dulu baru buka yang baru?" Puniawati kelepasan bicara.

Hendra meletakkan korannya dan menatap istrinya dengan nada sinis disembunyikan. "Dengar ya Nini, katakanlah kamu telah melihat lagi sesuatu, tapi yang aku tahu saat ini semuanya baik-baik saja. Jadi jangan racuni lagi otakku dengan hal-hal bodoh itu lagi."

"Lalu toko yang di mall itu?"

"Ya itu, aku hampir lupa. Itu juga harus segera dibuka. Nanti kamu yang kelola. Jadi segera siapkan segala sesuatunya. Sekalian buatkan laporan akhir tahun untuk cabang Surabaya."

"Apa aku nggak dikasih kesempatan untuk berpikir dulu? Aku kan juga harus mengatur waktu biar urusan anak-anak juga kepegang."

Hendra tidak menjawab, melepas kaca matanya dan memandang tajam pada Puniawati.

"Yah, minimal kasih aku kesempatan untuk survey dulu Mas, sebelum memutuskan harus segera dibuka atau tidak."

"Itu adalah pemikiran orang yang malas dan tidak mau bekerja keras. Kamu sudah terlena dengan hidup nyaman rupanya."

"Aku kan juga harus ngurusin studio Mas." Menelan ludah.

"Ah, biasanya kamu bisa melakukan banyak hal dalam waktu yang sama. Kenapa tiba-tiba sekarang apatis gitu?"

"Bukan apatis Mas. Sekarang lagi banyak rekaman dan event, nggak mungkin anak-anak aku lepas sendiri."

"Tutup aja studiomu itu kalau perlu."

Puniawati tersenyum dihangatkan, mengangguk pada suaminya yang segera pamit meninggalkan pembicaraan. Bayangan hitam itu semakin kuat menghunjam mata hatinya, terburai satu persatu mengabarkan kemelut berkepanjangan. Satu demi satu lukisannya semakin nyata, biru terangnya berganti mendung dan badai hitam.

"Harus bagaimana lagi caraku mengingatkan ya Allah?" Desahnya dalam kebisuan, mengawasi punggung suaminya lenyap dibalik pintu. "Kulihat lukisanMu semakin nyata dan mendekat. Apakah aku hanya boleh menyaksikan? Mengapa tidak Kau ijinkan aku menunjukkan lukisan itu pada suamiku?"

***

Puniawati melipat sajadahnya dan berlari keluar kamar lalu mengangkat gagang telepon. Suara nyaringnya tak dipedulikan Hendra yang duduk di sampingnya. Didengarnya suara kakak iparnya di seberang, berbicara sebentar lalu ditutupnya perlahan gagang telepon itu dengan tangan gemetar. Matanya tertancap pada telepon genggam suaminya yang masih terbuka bekas dibaca tergeletak di meja. Tertulis pesan, Apa kabar sayang, besok aku tunggu di tempat biasa. Peluk cium. Yohana.

Puniawati mendekap debur kencang di dadanya dengan sekuat tenaga. Satu lukisan lagi terbuka lebar hingga bingkainya tersebar mengoyak seluruh nadinya. Tak ingin didengarnya alunan indah yang menenangkan di hatinya, agar dia dapat menanyakan pada suaminya apakah belum cukup kelana dan pengembaraannya. Agar dia dapat menuntut keadilan yang seharusnya adalah miliknya.

Tapi hatinya bertanya kembali dengan garang, benarnah ini milikmu? Bukankah sudah diberitahukan padamu bahwa langit sudah dilukis dengan indah olehNya? Mengapa kamu ingin melukisnya kembali?

"Siapa?" Tanya Hendra meletakkan bacaannya. Dengan gugup diambilnya telepon genggamnya lalu dimasukkannya ke dalam kantong. Puniawati menatap suaminya tak percaya. Benarkah? Ya allah, benarkah ini suamiku? Apakah aku harus marah, sedih atau menikmati saja lukisanMu apa adanya? Dan mencoba memahami maknanya seperti yang selalu Engkau bisikkan? Aku menginginkan kebahagiaan untuknya ya Allah, tapi apakah harus melalui kesakitanku?

"Hei. Siapa yang telepon?" Ulang Hendra mengejutkan.

"Ah, Mbak Retno, kita disuruh pulang. Ibu kangen katanya."

"Kamu menyanggupi?"

"Belum. Dan dia menunggu jawaban Mas."

"Nanti kamu telepon balik aja, bilang kita nggak bisa pulang karena aku besok keluar kota."

"Rapat?"

"Nggak, ketemu relasi."

Puniawati memandang suaminya ragu dan penuh tanya. Apakah suaminya akan malu, ataukah marah, jika dikatakannya bahwa dia telah tahu kemana dia hendak pergi esok. Apa yang harus kulakukan ya Hatiku? Aku tak ingin melangkah menjejakkan kakiku lagi di bumiMu yang menyengat ini. Aku ingin bersamaMu saja disana. Agar tak perlu menyakitinya dengan pertanyaan yang ingin kusampaikan.

Lalu menyibukkan diri dengan mawar-mawarnya di taman belakang. Mencari ketenangan. Tapi tangannya gemetar oleh pertikaian antara amarah dan irama surgawi. Matanya nanar memandang setangkai mawar yang merah merekah.

"Seandainya engkau bisa berubah menjadi hitam, tentu kau akan tampak lebih indah," bisiknya dalam hati, lalu menengadah.

"Aku sangat menginginkan kebahagiaan untuk suamiku ya Maha Pemberi. Dan aku sungguh rela menerima semua hukuman yang merajam habis hatiku ini, tapi aku tidak tahan jika kelak harus melihatnya meratapi kerajaannya yang hancur." Lalu memejamkan mata sambil bersandar pada sebatang cemara yang hampir kering, menatap wajah yang setia menemaninya dalam tiap malam lelapnya.

"Kemana aku hendak mencarimu wahai kekasih, mengapa kau hanya hadir dalam mimpi? Aku lelah berjalan sendiri disini. Aku menatapmu dari jauh dan semakin pekat, tapi wajahmu semakin jelas nyata dalam ukiran mimpi. Jika Tuhan mengijinkan, bawalah aku bersamamu. Aku lelah dan hanya ingin bersamamu. Tapi bolehkah?"

***

"Hancur sudah semua. Semua yang kubangun dari nol. Lenyap dalam sekejap." Hendra menghantamkan kepalan tangannya ke meja.

Puniawati menundukkan kepalanya duduk di pojok.

"Gimana nggak habis. Sekarang kan berlian mahal." Sahut kakak iparnya sambil melirik tajam Puniawati.

Puniawati melirik suaminya meminta perlindungan, tapi nyerinya senikmat sembilu menyaksikan suaminya membisu.

"Makanya, jadi istri itu jangan kepinginan. Ngeliat teman, saudara, orang lain usaha ini dan itu, maunya ikut-ikutan. Kalau kayak gini kan jadi semua yang dirugikan. Bangkrut. Habis."

Ibu mertuanya menasehati dengan lembut, namun menusuk jauh ke kedalaman. Kembali Puniawati memandang suaminya ingin pembelaan, tapi berbalas kelu. Hendra memalingkan muka tak ingin berbagi kata.

"Nini nggak kasihan sama mas Hendra? Kerja mati-matian, merintis dari bawah, tapi hasilnya seperti ini." Balas ipar yang lain.

"Udah, sita aja rumahnya, paling tidak bisa untuk menutup modal yang pinjam bank." kakak ipar tertua memberikan solusi.

"Tidak bisa begitu Mas. Bima kan hanya menjalankan perusahaan, bukan pada tempatnya kalau dia yang harus menanggung semuanya. Mau tinggal dimana anak istrinya kalau rumahnya disita? Lagipula, dia kan sudah menyanggupi akan mengganti kerugian dengan mengangsurnya." Puniawati tak dapat menahan diri.

"Kalau nunggu diangsur, lalu darimana kalian dapatkan uang untuk membayar bank? Cafe dan toko kalian sudah ludes semua. Mau berharap darimana lagi?"

"Saya yakin Tuhan pasti akan memberikan jalan, seiring dengan cobaan yang diberikan."

"Nini bisa bilang begitu karena yang dihadapi saudara, tapi walaupun Bima itu saudara, seharusnyalah dia mengembalikan yang bukan haknya."

"Mohon maaf kalau yang saya katakan salah Mbak, sungguh saya tidak berniat untuk kurang ajar, tapi ada mas Hendra sebagai saksi hidup saya. Saya juga melarangnya memperkarakan uang yang dilarikan oleh temannya mbak Rina. Karena saya takut, jangan-jangan semua memang bukan hak kami."

Puniawati menatap sekali lagi suaminya yang masih membisu lalu menyembunyikan airmatanya dengan berlalu dari sana. Sekujur tubuhnya terasa perih. Dipanggilnya hatinya agar dirinya dapat memahami apa yang sedang dinikmatinya.

***

"Kamu yakin dengan keputusanmu ini?"

"Yakin Mas, tentu saja dengan ijin dan ridhoNya."

"Kalau nanti disana ada apa-apa gimana?"

"Selama Allah mengijinkan, aku pasti dilindungi dimana pun aku berada. Yang penting Mas juga bantu doa."

"Terus apa kata orang-orang nanti?"

"Mas, siapapun mengatakan apapun nggak akan mempengaruhi langkah dan hatiku. Yang aku butuhkan hanya ijinmu. Selama Mas ikhlas aku akan tenang dimanapun aku berada. Lagipula, aku kan belum berangkat. Visanya aja belum disetujui. Nggak usahlah terlalu dibahas dulu."

"Kamu nggak malu?"

"Kenapa harus malu?"

"Kamu kan sarjana, dari keluarga terhormat."

"Mas, kehormatan yang perlu kita pertahankan adalah kehormatan dimata Allah. Lebih baik aku berjuang walau harus mengucurkan darah dan menyeberangi lautan, daripada menyita rumah atau berseteru."

"Harusnya aku yang berangkat."

"Rumah ini harus ada imannya Mas. Kita berbagi tugas. Mas berjuang mempertahankan usaha yang ada, aku yang memetik buah plum. Agar permasalahan cepat selesai. Ok?"

"Aku tidak tahu lagi harus berkata apa Nini."

"Mas, sudah satu tahun tidak ada penyelesaian dari Bima. Aku tidak bisa memaksanya karena kondisinya memang tidak memungkinkan. Dari pada terus menunggu, lebih baik kita berbuat sesuatu."

"Harusnya Bima yang berangkat."

"Sudahlah Mas, kita tidak usah lagi membahas kesalahan orang lain. Kita benahin saja diri kita sendiri. Lagipula yang dibutuhkan di perkebunan itu kan perempuan, jadi mana bisa Mas yang berangkat?"

Puniawati tersenyum menenangkan, membiarkan suaminya berlalu dan kembali menekuni perjalanan batinnya. Ditatapnya kepulan asap terakhir lalu membiarkan jemarinya menari diatas papan berhuruf di depannya, menaburkan bait kehidupan dan perjalanan. Menuang kegelisahan malam.

~~~ *** ~~~

disana sudah tertera gelombang biru dan mendungnya

disana sudah tercatat cerah dan hujannya

dari rincian musim dan noktah

dan disana kau

ada

tak perlu lagi

kau memainkan tarian kuasmu

pada kanvas birunya yang sudah terbingkai

jika musim sedang berganti dan memang harus berganti

Itulah lukisanNya dan kau sudah ada di dalamnya. Maka hentikanlah tangismu saat matahari menghilang, agar air matamu tak menodai binar cahaya bintang dan indah lukisanNya. ^^^^kitrosekitrosekitrosekitrosekitrose^^^^

   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun