Puniawati memandang suaminya ragu dan penuh tanya. Apakah suaminya akan malu, ataukah marah, jika dikatakannya bahwa dia telah tahu kemana dia hendak pergi esok. Apa yang harus kulakukan ya Hatiku? Aku tak ingin melangkah menjejakkan kakiku lagi di bumiMu yang menyengat ini. Aku ingin bersamaMu saja disana. Agar tak perlu menyakitinya dengan pertanyaan yang ingin kusampaikan.
Lalu menyibukkan diri dengan mawar-mawarnya di taman belakang. Mencari ketenangan. Tapi tangannya gemetar oleh pertikaian antara amarah dan irama surgawi. Matanya nanar memandang setangkai mawar yang merah merekah.
"Seandainya engkau bisa berubah menjadi hitam, tentu kau akan tampak lebih indah," bisiknya dalam hati, lalu menengadah.
"Aku sangat menginginkan kebahagiaan untuk suamiku ya Maha Pemberi. Dan aku sungguh rela menerima semua hukuman yang merajam habis hatiku ini, tapi aku tidak tahan jika kelak harus melihatnya meratapi kerajaannya yang hancur." Lalu memejamkan mata sambil bersandar pada sebatang cemara yang hampir kering, menatap wajah yang setia menemaninya dalam tiap malam lelapnya.
"Kemana aku hendak mencarimu wahai kekasih, mengapa kau hanya hadir dalam mimpi? Aku lelah berjalan sendiri disini. Aku menatapmu dari jauh dan semakin pekat, tapi wajahmu semakin jelas nyata dalam ukiran mimpi. Jika Tuhan mengijinkan, bawalah aku bersamamu. Aku lelah dan hanya ingin bersamamu. Tapi bolehkah?"
***
"Hancur sudah semua. Semua yang kubangun dari nol. Lenyap dalam sekejap." Hendra menghantamkan kepalan tangannya ke meja.
Puniawati menundukkan kepalanya duduk di pojok.
"Gimana nggak habis. Sekarang kan berlian mahal." Sahut kakak iparnya sambil melirik tajam Puniawati.
Puniawati melirik suaminya meminta perlindungan, tapi nyerinya senikmat sembilu menyaksikan suaminya membisu.
"Makanya, jadi istri itu jangan kepinginan. Ngeliat teman, saudara, orang lain usaha ini dan itu, maunya ikut-ikutan. Kalau kayak gini kan jadi semua yang dirugikan. Bangkrut. Habis."