Tunununut … tunununut …
Tanganku terulur keluar dari selimut tebal guna mematikan jam beker yang berdering semangat pagi ini.
05.00 KST
Mataku yang masih enggan terbuka aku paksa untuk terjaga demi menjalankan kewajibanku terhadap Tuhanku. Aku bangkit, menyibak selimut dan mengumpulkan nyawaku yang sebenarnya masih enggan untuk berkumpul.
“Ja … bangun, udah subuh, nih!”
Aku bangunkan teman seperjuanganku ini. Berkali-kali kuguncang badannya, tapi sepertinya belum berhasil.
“Ya Allah, Ja … cepet, ih, nanti telat.”
Oke, sepertinya suara serak yang aku paksakan pun tidak mencapai alam bawah sadarnya.
“AZA BANGUN! JANGAN JADI KOALA, JANGAN MALES. AYO SALAT!”
“Astaghfirullah, sakit Acha! Pelan-pelan aja kali!” seru Aza setelah lompat dari tidurnya.
Aku terkekeh melihat bagaimana terkejutnya orang satu ini. Aku turun dari ranjang dan mulai melipat selimut.
“Kamu suruh aku pelan-pelan? Kalau gitu, kayaknya kamu bakal salat subuh jam sepuluh,” sindirku. Aza masih betah memeluk selimutnya.
“Ck, ya udah, deh. Makasih, ya, udah bangunin aku,” balasnya. Aku terkekeh lagi karena wajah kesalnya.
“Ayo buruan, kita salat berjamaah. Kamu jadi imam, hehe,” kataku sambil buru-buru melesat ke kamar mandi.
“Gitu, ya, Cha? Enggak mau, pokoknya kamu! Aku udah jadi imam kemarin!”
Teriakan Aza terdengar sampai kamar mandi, dan aku terbahak karena omelannya.
*******************
Dentingan sendok yang berkolaborasi dengan piring, bergema di ruang makan sederhana ini. Masing-masing dari kami menyatap sarapan dengan khidmat. Lantunan ayat-ayat suci Al-quran mengudara melalui radio, memenuhi apartemen kecil ini.
“Eh, Cha.”
“Hmmm,” jawabku yang terus asik mengyunyah makanan.
“Abis ngampus, kita ke Persian Palace¹, aku traktir,” lanjut Aza.
Mulutku berhenti mengunyah dan mataku terbuka lebar tanpa perintah. Aku tatap kawan di depanku itu.
“Heh, apa liat-liat? Kenapa kaget, sih?” sentak Aza setelah sadar bahwa aku mengamatinya.
“Aku enggak salah denger, nih? Kamu mau traktir aku? Yang bener? Ah, masa?” cerocosku. Helaan napas keluar dari hidung Aza. Ia balik menatapku.
“Ya, enggak masalah, sih, kalau kamu enggak mau. Alhamdulillah kalau gitu, uang aku utuh,” ucapnya enteng. Ia meletakkan piring kosongnya ke dapur. Aku mengejarnya dengan segelas air di tangan.
“Eh, enggak gitu konsepnya, Ja! Kalau aku, sih, percaya sama kata orang, kalau rejeki itu enggak boleh ditolak, hehe,” dalihku setelah meneguk air hingga setengah.
“Alah, gitu aja terus dalilnya!” cibir Aza sambil tersenyum. Aku tertawa sambil memukul bahunya.
“Ya, udah, ayo berangkat, keburu ditinggal bus,” lanjutnya.
“Let’s get it!” seruku sambil melompat girang.
********************
Hembusan hawa dingin membuat semua orang berlomba-lomba untuk menggosokkan telapak tangannya. Jutaan butiran salju yang tak lelah berterbangan hingga memenuhi setiap sudut kota ini, meramaikan suasana. Mereka pun sukses mengubah pohon-pohon besar menjadi pohon kapas yang menjulang tinggi. Deretan panjang kedai-kedai minuman panas juga tak mau ketinggalan untuk melengkapi suasana bulan ini.
Jaket tebal, hijab panjang, dan sepatu bot selalu melekat di badan kami. Berulang kali kami tersenyum dan bertukar sapa dengan orang-orang yang kami temui. Menyusuri jalan yang sama setelah berkutat dengan mata kuliah, aku dengan sastra inggris dan Aza dengan seni lukis orientalnya.
Kameraku yang setia menggantung di leher, selalu sempurna mengabadikan setiap objek yang aku temui. Sedangkan Aza, ia sibuk dengan dunianya bersama pensil dan buku sketsa. Menggambar dan memotret di jalan adalah kegiatan mengasikkan versi kami.
“Kamu gambar apa, Ja?” tanyaku sambil tetap fokus pada hasil jepretanku.
“Hmm … apa, ya? Enggak tau, nih, aku corat-coret doang,” jawabnya asal.
Sabar adalah keputusanku yang paling tepat sekarang. Karena setelah ini, entah kapan, gadis itu akan menunjukkan hasil coretannya kepadaku. Dan hasilnya … oh, ayo lah, sudah dipastikan sangat keren!
“Ayo balik, aku mau tidur.” Tiba-tiba, telingaku berdenging hebat setelah mendengar ajakan Aza.
“Eh, balik, Ja? Yah … gagal, dong, makan enak!”
“Ya Allah, hahaha … kan, aku janji traktir kamu, ya, Cha. Sumpah, aku lupa astaghfirullah. Mianhe ²!” Aza tertawa sampai jongkok. Beberapa orang menoleh ke arah kami. Malu.
“Ih, malu, Ja, dilihat sama orang-orang! Ya udah kalau enggak jadi, kebetulan aku puasa, kok,” kataku menenangkan diri. Aza berusaha berdiri di sela-sela tawanya.
“Apaan puasa? Tadi aja sarapan. Ayo berangkat, keburu lupa lagi, nih, haha.”
Aza langsung menarik tanganku, berlari mengejar bus yang hampir meninggalkan kami.
**********************
Penghangat ruangan yang nonstop bekerja membuat para pengunjung merasa nyaman. Nuansa restoran dengan dekorasi timur tengah, menjadikan siapa pun yang memasukinya akan merasa dirinya seperti bangsawan. Lampu hias, kursi, dan meja yang didesain sedemikian rupa akan menghipnotis mata yang memandangnya.
Dua porsi makanan yang kami pesan, akhirnya datang juga. Semangkuk sup panas dan segelas yuzu menjadi pilihan Aza. Sedangkan aku, memilih sepiring nasi bryani dengan campuran daging kambing dan acar, serta segelas teh krisan favoritku. Jujur, aku tidak kuat kalau harus makan siang hanya dengan sup seperti Aza, hehe.
“Alhamdulillah, enak banget supnya. Enggak kaleng-kaleng makanan di sini,” komen Aza. Walau sering berkunjung dan memesan makanan yang hampir sama, tapi, dirinya tak bosan-bosan memujinya.
“Racikan nasi bryani di sini juga enggak kaleng-kaleng. Teh krisan yang seger banget, pas pokoknya. Perfecto!” timpalku dengan gaya seorang koki handal. Aza terkekeh melihat tingkahku.
“Eh, Cha, tau enggak?” tanya Aza sebelum kembali menyuap supnya.
Kalian tau? Bentuk pertanyaan seperti Aza ini, pasti akan berujung kepada … kepada ….
“Apa? Wah, ini pasti mau ngomongin sesuatu, kan?”
Sudah hafal, kan, kebiasaan manusia setelah kalimat ‘kamu tau enggak’ ? Jangan bohong kalian, haha.
“Si Taehyung, jadi model Vogue lagi bulan ini, tau!” seru Aza. Ia sedikit menutup mulutnya saat sadar bahwa suaranya terlalu besar.
“Hah? Seriusan? Kok, aku ketinggalan, sih?” balasku tak kalah semangat. Akupun ikut menutup mulutku saat melihat seorang pelayan yang menyuruhku diam dengan isyarat. Malu part kedua.
“Kamu, sih, sibuk sama kamera. Buka HP cepet!” suruh Aza.
Aku buru-buru mengeluarkan ponselku dari tas. Entahlah, karena kesibukkan, apa sampai aku harus ketinggalan kabar tentang pria tampan dan bertalenta satu itu. Bahkan, Aza yang sudah tau pun, ikut membuka ponselnya.
“Ya Allah … Maa syaa Allah … Tabarakallahu … Allahu akbar! Ganteng banget, Ja!” Aku menahan teriakkanku sambil terus men-scroll layar ponsel.
“Ya Allah, jika seorang Kim Taehyung adalah jodoh hamba, maka datangkanlah,” doa Aza.
“Aam – eh! Apa-apaan, enggak boleh! Aku doang, Ja, yang cocok sama Taehyung. Hamba saja Ya Allah, Aza jangan. Aamiin,” seruku sebelum berhasil menyelesaikan aminku.
“Syut … Taehyung paling cocok emang kalau sama aku, Cha. Jangan iri kamu,” balas Aza tak kalah sengit. Aku tertawa pelan menanggapi ucapannya.
“Sudahi halumu, Ja. Jangan keterusan, nanti makin enggak waras kamu,” ingatku sambil memasukan ponsel kembali ke dalam tas.
“Nah, kan, nasinya udah dingin!” Setelah sadar, aku langsung menyuap dua sendok ke mulutku.
“Yah, sup aku juga!” timpal Aza. Kami tertawa saat lidah kami menyentuh makanan yang sudah tak lagi panas itu.
Sekarang, makanan sudah berpindah total ke dalam perut kami. Piring dan mangkuk kosong menjadi penutupnya. Dua minuman yang belum habis sempurna, menjadi teman berbincang kami. Mulai dari kuliah, hal-hal random, sampai nostalgia pun tak luput dari ingatan kami. Oh, ya, nama-nama Oppa-oppa Korea juga tidak ketinggalan tentunya.
“Excuse me, can I join you?”
Obrolan kami langsung terhenti saat suara bariton yang lembut menyalami rungu kami. Begitu hangat bagai diterpa mentari pagi. Kami menoleh bersamaan, dan ….
“A–Acha.”
“I–iya, Ja.”
Suara kami tak kunjung keluar, terus tercekat di tenggorokan. Sosok yang berdiri di depan kami malah tersenyum kikuk saat melihat respon kami.
“Hmmm … hello, I’m sorry, girls. Are you okay? Can I join here with you?” lanjut sosok itu sambil mengibaskan tangannya di depan muka kami.
“Ah, yeah of course, yeah sure!” Akhirnya suaraku keluar. Kulihat Aza yang masih terbengong di kursinya.
“Woi, Ja, istighfar kamu!” bisikku. Orang itu terkekeh meihat kelakuan kami. Lalu, seorang pelayan datang dan memberikan daftar menu kepada orang itu.
“Acha, itu … Kim Taehyung, Cha? Aku enggak mimpi, Cha? Beneran, Cha?” bisik Aza. Aku yakin ia deg-degan, karena suara yang keluar sangat kentara.
“Ya Allah, Ja … aku enggak tau. Kali aja dia orang lain, terus operasi muka biar mirip Taehyung gitu,” balasku tak kalah panik. Bagaimana tidak? Orang yang kami elu-elukan namanya sekarang duduk di hadapan kami.
“Oke, kita husnuzhon, dia bukan Taehyung,” putus Aza.
“Are you calling me?”
“ASTAGHFIRULLA HAL AZHIM!” teriak Aza. Ia terkejut bukan main. Suaraku hilang sempurna. Karena sekarang, aku hanya mampu membuka mulut dan mataku berbarengan. Orang itu kembali tertawa.
“What’s going on? Am I shocking you? Nice to meet you, girls,” sapanya dengan senyuman khasnya, senyum kotak yang menampilkan deretan gigi putih yang rapih. Aku berusaha menetralisir jiwaku. Malu part ketiga.
“No–no problem. It’s okay, and all going well,” balasku yang diakhiri cengiran.
“Ya Allah, kalau ini mimpi, jangan bangun dulu, Ya Allah,” desis Aza. Aku menoleh ke arahnya.
“Ja, ini bukan mimpi, aku abis ngobrol. Dia Taehyung asli, bukan kaleng-kaleng. Senyumnya kotak, Ja,” balasku berusaha meyakinkan.
“I’m so sorry for disturbing you. But, I need a friend for talking, I’m so bored,” adu orang yang sudah kami yakini sebagai … Ya Allah, jadi, ini beneran Kim Taehyung?
“No, you really don’t disturb us. Believe it!” sambar Aza. Alhamdulillah, dia udah sadar. Aku kembali fokus untuk meyakinkan diriku bahwa ini bukan mimpi.
Sejurus kemudian, pelayan datang membawakan pesanan orang–eh, bukan, pesanan Taehyung Oppa.
“Gimana, nih, punya kita udah abis, tapi, dia baru dateng?”
“Apa, sih, Cha? Lihat dia depan mata, aku udah seneng, makin kenyang malah.”
“Hey, don’t you deliver for more?”
“Ah, eh, eh, apa?” gagap Aza sambil menyikut sikuku. Ia malu karena terciduk menatap pria itu.
“No, we’ve eaten for fifteen minutes. Just enjoy,” jawabku berusaha tenang.
Entahlah, seperti air sungai yang mengalir, obrolan kami pun mengalir dengan lancar. Taehyung yang bercerita tentang kehidupannya bersama sang nenek, bagaimana ia selalu dibully di sekolahnya, asal usul ia bisa lolos audisi, bertemu dengan keenam sahabatnya, menjadi penyanyi terkenal, hingga sukses dan menjadi 1st Most World Handsome in The World seperi saat ini. Sesekali ia melempar lelucon hingga kami tertawa bersama.
Tak terasa piringnya sudah kosong. Ia membersihkan tangan dan mulutnya dengan lap yang telah disediakan.
“Thank you for your time you spent with me,” ujarnya tulus. Aku dan Aza tersenyum bersama.
“No reason for that, Oppa. And we thank you for this precious time. Glad to see you,” balasku.
“I’m so happy when know your history, it’s my motivation,” sambung Aza. Taehyung tersenyum lebar. Ya Allah.
“Ah, what do you think about take a photo before we apart?” tawarnya.
Aku dan Aza terperangah. Seorang artis papan atas menawarkan foto bersama dengan kami?
“This meet will be my memorize. I met a hijabi girl that I believe you’re hiding you other beauty thing inside it. I’ll tell the other member about you,” lanjutnya.
“Ya Allah, Cha. Aku mau nangis,” desis Aza.
“Hmm … hehe, sure. If you want it, we can do it.”
Lalu, Taehyung mengambil posisi dengan membelakangi kami. Jari telunjuk dan jari tengah yang berlambang peace sudah menjadi gaya andalan seorang Kim Taehyung. Sedangkan aku dan Aza, kami membentuk sebuah love dengan menggabungkan dua tangan kami.
“Okay, are you ready? One, two ….
~~~~~~~
“ASTAGHFIRULLAH … ACHA BANGUN! Kamu udah telat setoran Al-quran, belum salat subuh juga, kan!”
“Ya Allah, Aza … kamu, kok, enggak bangunin aku, sih? Hoamm ….”
“Kok, aku yang salah? Tuh, Ustazah Rahmah nungguin kamu. Udah, ya, aku duluan. Buruan salat kamu, terus ke masjid setoran!”
Ya Allah … ternyata semua kisah indah tadi cuma mimpi. Lalu, apa benar, kalau mau ketemu sama Kim Taehyung juga cuma mimpi?
******************
Guys, percayalah!
Semua coretan ini, cuma hiburan buat aku dan-semoga-kalian juga terhibur.
Aku bukan fangirl fanatik, bukan juga cewek yang menghabiskan waktu buat halu tentang Oppa-oppa Korea sana. Tapi, aku pernah di posisi itu.
Sekarang, aku udah mulai hijrah, mulai jauh-jauh dan mengurangi semua hal tentang korea. Enggak banyak scroll sosmed tentang mereka dan enggak post status lagi tentang mereka. Tapi, motivasi-motivasi mereka yang aku baca dulu, masih dan akan selalu jadi penyemangat hidup aku.
Allah kasih kita hati dan pikiran, agar kita bisa berpikir dan memilah mana yang baik buat kita dan mana yang harus kita buang.
Jadi, guys … apapun pilihan kita, kemana pun kita mau melangkah, itu semua ada di tangan kita.
Kita hidup untuk menjadi nyata, bukan menjadi sempurna. Kalau kalian lagi capek jalanin hidup ini, coba berhenti sebentar, tengok ke belakang, dan lihat sudah sejauh mana kalian melangkah. Jangan putus asa mencari kebenaran. Jangan sampai kejamnya dunia mengambil senyum manis kita.
Sekali lagi. Coretan diatas hanya sebagai pengingat, ya. Bukan berarti aku merasa paling benar dan paling suci.
Hwaiting, guys! Fighting!
------------------------------------
¹ Salah satu restoran di Seoul yang menyajikan makanan halal khas Iran.
² Maaf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H