“Heh, apa liat-liat? Kenapa kaget, sih?” sentak Aza setelah sadar bahwa aku mengamatinya.
“Aku enggak salah denger, nih? Kamu mau traktir aku? Yang bener? Ah, masa?” cerocosku. Helaan napas keluar dari hidung Aza. Ia balik menatapku.
“Ya, enggak masalah, sih, kalau kamu enggak mau. Alhamdulillah kalau gitu, uang aku utuh,” ucapnya enteng. Ia meletakkan piring kosongnya ke dapur. Aku mengejarnya dengan segelas air di tangan.
“Eh, enggak gitu konsepnya, Ja! Kalau aku, sih, percaya sama kata orang, kalau rejeki itu enggak boleh ditolak, hehe,” dalihku setelah meneguk air hingga setengah.
“Alah, gitu aja terus dalilnya!” cibir Aza sambil tersenyum. Aku tertawa sambil memukul bahunya.
“Ya, udah, ayo berangkat, keburu ditinggal bus,” lanjutnya.
“Let’s get it!” seruku sambil melompat girang.
********************
Hembusan hawa dingin membuat semua orang berlomba-lomba untuk menggosokkan telapak tangannya. Jutaan butiran salju yang tak lelah berterbangan hingga memenuhi setiap sudut kota ini, meramaikan suasana. Mereka pun sukses mengubah pohon-pohon besar menjadi pohon kapas yang menjulang tinggi. Deretan panjang kedai-kedai minuman panas juga tak mau ketinggalan untuk melengkapi suasana bulan ini.
Jaket tebal, hijab panjang, dan sepatu bot selalu melekat di badan kami. Berulang kali kami tersenyum dan bertukar sapa dengan orang-orang yang kami temui. Menyusuri jalan yang sama setelah berkutat dengan mata kuliah, aku dengan sastra inggris dan Aza dengan seni lukis orientalnya.
Kameraku yang setia menggantung di leher, selalu sempurna mengabadikan setiap objek yang aku temui. Sedangkan Aza, ia sibuk dengan dunianya bersama pensil dan buku sketsa. Menggambar dan memotret di jalan adalah kegiatan mengasikkan versi kami.