Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Gemini Syndrome, Berdansa di Kota Romantis Bagian Sepuluh

17 Juli 2024   21:10 Diperbarui: 17 Juli 2024   21:17 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasar Baru 1950-an.Sumber Foto: https://koransulindo.com/pasar-baru-jakarta-dalam-lembar-sejarah//Troppen Museum

Malioboro Yogyakarta, 8 Agustus 2014, malam

Mereka menamakan diri sebagai Calunk Funk.  Kelompok musisi  jalanan ini memainkan alat musik tradisional tetapi dengan lagu-lagu aransemen modern yang dibuat oleh mereka sendiri, di antaranya lagu Terajana.  Para penonton memenuhi trotoar dekat Dagen Jalan Malioboro.

Aku dan empat bule dari Belanda di antara penonton memberikan aplaus.  Kami menonton diselengi oleh delman dan becak yang kerap berseliweran mengangkut wisatawan, hingga berapa kali harus minggir.   Aku tidak membayangkan kota ini tanpa pedagang kaki lima Malioboro yang justru menjadi bagian daya tarik wisatawan.

Para turis bule banyak menyerbu Yogyakarta dan sebetulnya juga Kota Bandung yang aku kunjungi berapa waktu lalu.  Para turis itu mencari tempat liburan musim panas di luar negeri mereka. 

Keduanya sama-sama kota yang romantis dalam bentuk yang berbeda.  Bandung romantis  yang kreatif karena warganya didukung lingkungannya di antara pegunungan.   Sementara Yogyakarta  romantis karena bersahaja.

"Cantikan mana perempuan Bandung atau perempuan Yogyakarta?" ada suara menyapaku yang sedang asyik memotret  suasana jalanan dengan kamera poket digital.

"Kalau yang di Bandung Geulis, kalau yang di Yogya itu Ayu," jawab aku seenaknya.

Suara itu tertawa. "Gendis!"

"Kalau perempuan pasti jawabnya Rancak!"

Aku mengacungkan jempol. "Nah kau tahu itu!"

Rupanya dia melihatku. Tadi sore sudah mengobrol banyak tentang Widy waktu nongkrong di Wijilan. Namun masih banyak yang belum dia ceritakan.  

"Sendirian? Harbowo dan Ayu?"

"Sama teman-temannya dari Jakarta yang baru datang," katanya. "Mau gabung? Atau ngobrol lagi lanjutan tentang Widy? Kalau seandai Mas hidup di zaman itu pasti jatuh cinta sama dia."

"Kamu memang tahu tipe aku?"

"Tebak-tebak saja.  Tetapi Mas terpesona ketika Aku cerita soal Widy yang menggemari hutan, sawah dan lautan. Kata Ayu saudaranya "R"  tahu Mas menyukai perempuan tangguh?  Sekarang lagi tertarik sama yang dari Malang itu? Sopo, Cah Ayu, apakah dia perempuan tangguh?"

"Kepo! Dia juga curhat pada aku! Nggaklah aku hanya kasihan!"

"Cinta bisa mulai dari kasihan, ya?"

Aku diselidiki rupanya. "R"  bercerita banyak pada Ayu.  Setahu aku  cewek Malang yang dia maksud  juga menyelidiki aku dan tahu aku terpesona  pada perempuan keturunan Sunda dan Arab itu.

 "Nikmatilah musisi jalanan Yogyakarta, mereka juga kreatif seperti musisi Bandung."  Aku mencoba mengalihkan perhatian.

"Kalau musisi indie yang Mas suka siapa?"

"Aku suka Yura Yunita," jawabku pendek.

"Mengapa?"

"Aku suka lagu Kataji  menarik membayangkan versi cowoknya? Bagaimana kalau aku jatuh cinta pada murid aku sendiri atau sama cewek curhat sama aku, kemudian dia punya banyak cowok, hati dipermainkan?"

"Aku mengalami hal sama. Kalau aku yang curhat, masa Mas langsung jatuh cinta?" sindirnya.

Gendis menemani aku menikmati berapa lagu, lalu kami mencari warung wedang untuk mengobrol.  Gendis cerita bahwa suami Widy punya kerabat di daerah Menteng.

"Kakek aku juga pernah tinggal di sana bersama  ibu aku dan kakak-kakaknya. Sayang aku tidak kenal sama kakek!"

"Mas jadi tertarik kan?"

Kami menikmati wedang.

Pasarbaru,  Menteng,  Jakarta,   21 Maret 1957

"Widy!  Dari mana anjeun  tahu ada bakmi gerobakan enak di daerah Pasarbaru?" tanya Syafri.

"Aku dapat info dari murid angklung aku. Kang Syafri baru tahu?"

"Pasti baru, Bakmi gerobakan banyak di daerah kota dan Pasar Baru, tetapi yang ini enak benar, ayam dan jamurnya, baksonya juga kenyal dagingnya?"

Sejumlah pelajar perempuan berseragam sekolah memenuhi kursi.  Mata Syafri sempat melirik.  Widy menyentil pipinya.

"Ada lalat nakal," katanya tersenyum.

Syafri sadar bahwa Widy memperhatikan.  Wajar, tadi dia tidak suka ada laki-laki melirik Widy. 

"Itu pelajar SMA Santa Ursula. Di Jakarta, sekolah swasta lebih digemari dibanding sekolah negeri. Kualitasnya lebih bagus, kata tanteku."

"Sekolah untuk perempuan semua."

"Untuk laki-lakinya ada di SMA Kanisius," ucap Syafri.

"Kang Syafri sekolah di sana?"

"Nggak,! negeri juga. Sekolah peninggalan Belanda daerah sini juga, sama seperti sekolah negeri. "

Selesai makan mereka berkeliling Pasar Baru.  Widy berhenti melihat Toko Kain Bombay.

"Ya, pemiliknya orang India.  Aku pernah membeli baju di sini.  Setahu aku masyarakat keturunan India Indonesia antara lain di Pasar Baru atau di Medan?"

Pasar Baru 1950-an.Sumber Foto: https://koransulindo.com/pasar-baru-jakarta-dalam-lembar-sejarah//Troppen Museum
Pasar Baru 1950-an.Sumber Foto: https://koransulindo.com/pasar-baru-jakarta-dalam-lembar-sejarah//Troppen Museum
Mereka kemudian mencari masjid dan salat.  Kemudian kembali ke Cikini.  Syafri dan Widy mengepak baju bersiap untuk ke Menteng.  Sebuah oto menjemput. 

Syafri mengenali pengemudinya."Azrul!"  Mereka berpelukan.   Lalu dia mengenalkan ke Widy. "Ini sepupuku. Dia tidak bisa datang ke pernikahan kita kemarin."

Azrul pria berbadan jangkung kurus dengan rambut keriting gondrong. Namun rapi dengan kemeja putih dan celana panjang hitam, serta pentopel hitam.

"Aku juga baru datang dari Medan," katanya ketika keduanya sudah masuk mobil.

"Medan? Kata Kang Syafri banyak orang India di sana ya?" celetuk Widy.

"Wah, Medan itu Indonesia kecil. Semua suku dan ras ada di sana. Kapan-kapan kalian ke sana hubungi aku, bisa menginap di losmen milik aku," kata Azrul.

"Uda Azrul punya losmen?" tanya Widy. "Bisa berpetualang di sana. Aku ingin lihat  Danau Toba."

"Maklum Uda, istri aku ini hobinya jalan-jalan, rasanya dia ingin menjelajahi seluruh dunia. Tapi aku baru tahu kau punya losmen?"

"Ya, baru tiga tahun ini. Oper dari seorang Tionghoa.  Aku kongsi sama orang India, namanya Arjun.  Dia pengagum Nehru. Kalau kalian main ke sana silahkan aku kenalin."

Widy duduk di belakang kemudian melihat panorama perjalanan menuju Menteng yang tak jauh dari sana.

"Jadi bagaimana nih, Yogyakarta atau Medan nih? Biar bisa nabung?"

"Pokoknya kalau urusan  jalan-jalan aku yang menentukan Kang Syafri. Sisanya aku nurut sama kamu," pinta Widy.

"Siap melayani anjeun, cintaku!" kata Syafri.

Azrul tersenyum. "Istrimu mengingatkan aku pada istriku Norma Ginting, yang aku jatuh cinta bukan main."

"Wah istri kau Batak ya?"

"Norma menolak  disebut Batak. Dia merasa dirinya   orang Karo," jawab Azrul.

Mereka tiba di Jalan Lembang.  Seorang laki-laki tua bersarung menyambut mereka.  Itu Angku Mansyur.  Dia sudah lama menunggu.

"Iko bininya Syafri. Onde rancak juo," kata Angku Mansyur.

Syafri dan Widy hanya membawa ransel kecil masuk bersama rombongan. Mereka sudah disediakan kamar.  Seorang perempuan usia 20 tahun tak jauh di atas Widy menggendong bayi menyambut Azrul. Berlawanan dengan Azrul yang rambut gondrong, Norma berambut pendek mirip laki-laki.

"Norma, istriku, ini Uda Syafri dan ini Teteh Widy!"

"Kita sudah Indonesia ya? Bukan Minang semua!" seru Syafri.

"Iyolah," kata Angku Mansyur. "Ini perjuangan Bung Karno, Bung Hatta, Bung Natsir, Bung Syahrir."

"Nanti malam keluarga yang di Jakarta kumpul. Biar mereka yang tidak bisa datang ke Bandung tahu istri kamu!," kata Angku.

 Setelah Syafri dan Widy meletakan ranselnya di kamar, Angku mengajak Azrul, Syafri, Widy, Normal dan Lutfi, anaknya Angku Salat Asar  berjamaah di ruang keluarga.  Mereka minum teh bersama dan menikmati kue-kue.

Lutfi badannya besar walau masih duduk di bangku SMA. Rambutnya lebat.

"Kita keliling naik sepeda, kalian belum letih kan? Istrimu itu sama dengan istriku punya energi lebih!"

"Punya sepeda lebih"

"Ada  tiga sepeda onthel, kau boncengan sama Widy, aku sama Norma dan Lutfi biar sendiri."

"Ke mana kita?"

"Kuningan, lihat peternakan sapi? Istrimu kan belum tahu bahwa di Jakarta ada peternakan sapi?"

"Ah?" celetuk Widy. "Kalau di Bandung ada di Pengalengan dan Lembang."

"Aku kenal, Babe Jun." kata Lutfi. "Anaknya teman main layangan aku."

"Kita main layangan saja di sana!" Sorak Widy.

Angku Mansyur menoleh pada Syafri.

"Maklum dia masih remaja," bisik Syafri.

"Ayo!! Norma bawa beberapa layangan!"

Tak lama kemudian mereka meluncur menuju kawasan Kuningan di jalanan Menteng. Dari Jalan Lembang ada sepeda lain yang dkemudian seorang pemuda dan seorang remaja putri.

"Itu tetangga kami Ridwan Arifin dan Anny Arifin, kakak adik. Sang adik itu masih SMP di Santa Ursula!" ucap Lutfi.

"Kang Syafri lirik-lirik anak Santa Ursula," celetuk Widy.

"Jangan anggap mereka kalem,  walau perempuan semua," kata Lutfi.  "Coba Kang Syafrimu itu nyasar ke sekolah, sulit keluar kalau tidak ada susternya!"

"Dasar anak nakal, Uda Azrul tuh kau jebak di sana.  Untuk ada Suster Theresia susah payah melerai."

"Memangnya kau disuruh apa oleh anak nakal ini?"

"Mengantarkan sekotak cokelat untuk pacarnya Cecilia, Tionghoa Cantik katanya, tapi dia nggak berani."

"Di jam sekolah?"

"Nggak juga jam 12 siang sudah Jam istirahat. Tapi aku mengantarkan juga  katering pesanan Suster Theresia masakan istriku, lontong Medan. Dia pernah masakan Norma waktu di Medan.  Suster itu kenal aku juga. Makanya oleh suster disuruh masuk."

"Terus, mengapa kau tidak bilang Suster itu untuk kawal kamu?"

"Ndaklah, Cuma antar bungkusan cokelat ke kelas III SMA, apa salahnya? Masa aku izin suster? Cuma antar lalu pergi, Aku pikir mudah! Tidak sampai satu menit!"

"Lalu?"

"Ternyata tidak mudah.  Oleh temannya disuruh masuk ke dalam kelas. Kata temannya  Caecilia ada di dalam malas keluar. Aku bilang dari Lutfi.  Eh, pintunya dikunci dari dalam.   Walau rambut aku gondrong, pakaian aku parlente mirip Belanda. Di dalam kelas banak siswi Indo! Mereka sih  cuma nanya aku pakai Bahasa Belanda. Punya pacar atau tidak...begitu-begitu saja. Tetapi cerewet!"

Norma tertawa terbahak. Diikuti Widy.  "Kamu bukannya senang?"

"Keringat dingin yang ada," kata Azrul. "Untung Susternya curiga, ini kok satu kelas jam istirahat tidak keluar. Dia mendapat firasat buruk dan akhirnya aku bebas! Aku ditegur karena kotak cokelat tidak dititip saja ke dia! Kamu juga dicari Tuh Lutfi!"

Norma  tertawa. 

"Seperti Perjaka di Sarang Penyamun Perempuan! Sialan kau Lutfi!  Cecilia itu pacarmu Ya?"

"Ha..ha..ha. Belum jadi pacar, kenalan di Metropole sama gengnya Nura dan Vivi."

Mereka tiba di sebuah peternakan Kuningan.  Seorang anak laki-laki menyambut mereka.

"Somad, jadi kita main layangan!"

"Jadi!"

Kuningan, Sekitar Pukul 16.00

Widy terpukau melihat sejumlah kandang sapi.  Beberapa orang sedang memerah. Pemiliknya ayahnya Somad, namanya Babe Djuanaedi.  Badannya gemuk dan dia ramah menyambut mereka. "Pulang habis maghrib ya, nanti ajak kawan-kawanmu minum susu  segar!"

 Somad dan Lutfi mengajak Syafri, Azrul, Widy dan Norma ke lapangan.  Di sana sudah ada beberapa anak main layangan.  

"Lah itu kan anak yang tadi sepedaan dari jalan Lembang?" tanya Widy.

"Iya, itu Ridwan, anak bandel juga sama anak itu!" kata Azrul.

"Memangnya dia sering mengajak main layangan," celetuk Syafri,

"Waduh, jangan-jangan memperalat lagi," kata Azrul.

Tetapi selama tiga puluh menit tidak apa-apa. Widy  dan Norma tampaknya menikmati main layangan.  Mereka tak henti-hentinya bersorak ketika berhasil menjatuhkan berapa layangan.

"Kamu menyesal nggak menikahi gadis remaja?" tanya Azrul pada Syafri.

"Nggak tuh! Asyik malah. Bulan madu aku malah main, main dan main!"

"Nah, di Medan Norma juga begitu.  Bulan Madu kami dihabiskan di kebun tembakau, Brastagi, menyerempet bahaya ke daerah Aceh naik jip, hingga tentara marah sekali ketika gara-gara kami terpaksa bentrok dengan anak buahnya Daud Bereueh!"

Firasat Azrul benar, anak-anak berkulit hitam datang menghampiri anak-anak yang main layangan itu. Mereka minta uang.

"Anak---anak eks KNIL," kata Azrul. "Sialan! Lutfi dan teman-temannya di Menteng punya story  sama mereka."

Melihat Lutfi dan Ridwan, anak-anak yang berbadan besar itu menghampiri. "Ini anak-anak Jalan Lembang yang hajar Thomas dan Philip!"

Enam orang menyerang Lutfi, Ridwan dan seorang anak lainnya."

Melihat itu Somad tidak tinggal diam, ikut campur.

"Kok mereka tahu Lutfi ada di sini?"

Syafri menunjuk layangan milik Lutfi dengan gambar lambang Harimau Menginjak Ikan Pari lambang sebuah geng remaja di Jakarta.

"Dasar kampret, supaya kita ikut berkelahi, umur segini!"

"Ya, masa kita diam. Tuh!" tunjuk Syafri.

Ternyata Norma dan Widy ikut campur  terjun ke dalam perkelahian. Mereka tidak bicara lagi langsung ikut.   

"Ya, kita mungkin merasa lebih tua. Tetapi istri kita kan nggak!"

"Norma itu tukang berkelahi di Medan. Makanya aku jatuh cinta!"

"Kalau Widy aku pernah dengar dia pernah berkelahi waktu SMP."

Syafri dan Azrul tidak perlu ikut campur, seorang anak kampung situ temannya Somad juga ikut hingga 6 lawan 6.  Di luar dugaan Norma dan Widy mampu melawan anak geng yang berbadan besar.  Widy memperlihatkan kemampuan bermain pencak dan jiujutsu, sementara Norma  memperlihatkan gerakan judo.

"Waduh, untung aku nggak pernah dibanting!" kata Azrul.

Hanya lima menitan berkelahi. Beberapa bapak dari anak geng itu datang.  Juga Haji Djuanedi dan beberapa sesepuh.  Bapak dari anak yang berkelahi dengan Norma dan Widy lebih marah lagi.

"Kau berkelahi dengan perempuan pula!"

Perkelahian dan main layangan pun bubar.

Muka Norma dan Widy tidak lebam. Hanya kulit tangan mereka lecet-lecet. Rupanya anak geng ini berpikir kalau sampai menciderai.  Hanya saja wajah Lutfi lebam.

Babe Djunaedi mengajak mereka ke rumah dulu. Istrinya mengobati luka lecet Widy dan Norma, serta Lutfi dan Somad.    

"Sudah itu minum susu lalu siap-siap Salat Magrib sana!"

Lalu Babe Djun menghampiri Syafri dan Azrul sambil mengacungkan jempol. "Kalian punya istri hebat!"

Mereka pulang habis maghrib.  Syari dan Azrul masih terperangah.  Istri mereka berdua hanya tersenyum saja penuh kemenangan.

"Memangnya anjeun tidak takut berkelahi?" tanya Syafri.

"Tidak, aku membayangkan sedang menghajar Hardja! Kebetulan wajahnya mirip dan badannya sebesar itu juga!"

"Kalau aku, ingin kasih tahu mereka perempuan Karo gagah dan galak!" celetuk Norma.

Angku Mansyur berkacak pinggang menyaksikan Lutfi pulang dengan wajah lebam. Juga melihat Widy dan Norma."Pasti Wahang, yang buat gara-gara!"

"Sudah mandi sana, habis Isya tamu-tamu pada datang!" kata Istri Angku.

Syafri pucat. Dia mendekati Widy ketika mereka di kamar. "Anjeun nggak apa-apa?" Dia merasa malu tidak membela Widy kali ini.

Widy diam. Tapi kemudian mencium pipinya. "Aku justru takut kalau kamu berkelahi untuk aku lagi."

Lalu dia mengambil handuk dari ranselnya.

"Ada yang tidak aku katakan pada kamu. Bukan Hardja yang memulai perkelahian di malam tahun baru dengan di Hotel Preanger. Tetapi aku yang menghajar crossboy yang menggedor mobil Kang Hardja.Crossboy itu terjatuh dan aku menendang muka dan membantingnya.  Crossboy itu marah kepada Kang Hardja karena adiknya dihajarnya di Dago karena melewati dia tanpa berpisah sebagai seorang berdarah bangsawan."

"Kenapa crossboy tidak lapor polisi?"

"Ayah Kang Hardja punya pengaruh besar di Kota Bandung. Lagian posisi mereka dianggap berandalan!"

"Pantas anjeun tidak bisa menuntut Hardja!"

"Nggak mau!" jawab Widy. "Dia tidak menghargai perempuan!"

"Jangan-jangan waktu di Cianjur?"

"Tebakan Akang benar. Aku juga yang membela  Kang Hardja,  ketika dia berkelahi dengan seorang anggota gerombolan dengan sepeda motor menyerempet mobilnya.  Ketika kami ma uke Cianjur. Kang Hardja menabrak motor dan anggota gerombolan itu terjatuh.

Kawannya  yang boncengan mengambil pistol tetapi aku memukulnya dengan pukulan kasti di mukanya. Mereka kabur. Itu sebabnya mereka menyerang desa itu sebetulnya sasaran utamanya Kang Hardja dan aku ditinggal di situ."

Syafri menahan kesedihannya. Pantas saja Widy sangat marah Hardja selingkuh.

"Ayo kita mandi. Aku bangga sama anjeun!"

Begitu mereka keluar Norma menarik tangan Widy. "Sini aku mau cakap dulu sama kamu! Pinjam istrimu!"

Asrul menghampiri Syafri. "Dia punya sekutu sekarang! Istrimu Aquarius ya?"

"Kamu Gemini ya, istrimu Aquarius? Ya?"

Asrul tertawa. "Iya, kita punya dua sisi. Satu merasa dirinya kuat dan satu lagi rapuh, entah mengapa perempuan Aquarius cocok dengan kita."

"Mereka sedang membicarakan apa?"

"Mudah-mudahan bukan tentang rencana nakal mereka. Kamu tahu kan kalau dua orang sejenisnya berkumpul."

"Aku mandi dulu Srul!" (Bersambung)

Irvan Sjafari

 

https://koransulindo.com/pasar-baru-jakarta-dalam-lembar-sejarah/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun