"Iya, nantilah.."
Mereka makan siang bersama.  Hidangannya campuran Minang-Sunda Plus Manado dan Belanda. Kok bisa? Ya,bisa Hein dan Rinitje  menyumbang makanan.
Mereka yang muslim salat berjamaah bersama di musala dekat rumah Widy. Namun rupanya itu permintaan Widy.
"Aku masih punya satu permintaan untuk Kang Syafri. Kan Kang Syafri pemuja Sukarno.  Kalau yang  Kang Syafri ucapkan di Sasak Bereum itu kan seperti proklamasi? Deklarasinya ini dong seperti Pembukaan Undang-undang Dasar 1945."
Widy menyodorkan Quran dengan halaman surat Arrahman. Â "Kita baca bersama."
Syafri terperanjat tetapi dia menurut. Â Keduanya membaca saling sambung-menyambung. Â Hadirin juga terperanjat. Tetapi mereka mendengarkan. Syafri agak gugup awalnya, tetapi Widy lancar. Baru pada pertengahan lancar.
"Apa maksudnya?" bisik Yoga pada Angga.
"Widy ingin Syafri tidak berdusta atas ucapannya. Â Bukankah kalimat tidak berdusta itu sering disebut?" Â Seorang kerabat Syafri ada di sampingnya menjawab. Dia guru agama di Padang.
"Lebih kuat dari sumpah di alam?"
"Cobalah Wahang melakukannya lalu melanggar," kerabat itu tersenyum. "Itu urusan dunia dan akherat."
Setelah itu Widy menarik tangan Syafri kembali ke rumah. Dia melambaikan tangan ke arah kawan-kawannya.