"Waah,Om Kenal. Dua hari yang lalu telepon, katanya dalam dua minggu dia mau ke Bandung. Katanya  sepupunya ada yang mau lamaran? Salam  dari Daniel anak Tomohon."
Ah, lamaran? Â Siapa yang lamaran? Setahu Syafri, dia tinggal di Bandung bersama adik perempuannya yang masih SMP. Â Adik laki-laki ada di Jakarta masih kuliah di Fakultas Ekonomi. Â Anak pamannya di Dago atas dua perempuan duduk di bangku SMP dan SD.
Apa Bustanil sepupunya yang ikut crossboy itu? Oh, tidak, Â dia jarang berkumpul. Lagipula dia luntang-lantung, pekerjaannya tukang catut karcis dan pernah masuk penjara. Ayah dan ibunya malas mengurusnya. Â Kini dia kabarnya dia ada di Bogor bersama kekasihnya.
Syafri kemudian melirik Widy. Â Anak itu tersenyum. "Kemarin ayah dan ibumu ketemu ayah dan ibuku di Rumah Makan Naga Mas di Alun-alun."
Dia ingat ucapan ayahnya. "Apa yang bisa menghentikan Wahang jadi wartawan di negeri yang penuh bahaya ini? Wahang malah memperpanjang kerjanya sebagai wartawan, katanya berhenti Maret."
Walau dia juga bekerja di pertanian, tetapi dia lebih banyak ada di kantor media. Â Ayah dan ibunya sudah tahu hanya satu yang bisa menghentikannya.
Sekitar pukul sembilan malam pertunjukkan selesai. Â Mereka keluar. Daniel mengajak Syafri mengobrol. Apalagi setelah tahu pekerjaannya wartawan.
"Kamu tahu nggak Kabinet Ali Sastroamidjojo akan jatuh? Kamu tahu 2 Maret lalu  ada Deklarasi Permesta? Oleh Letkol Vetje Samuel. Bekas Pangdam Siliwangi Kawilarang kabarnya juga ikut."
"Ali Sastroamidjojo tahu. Â Tapi kalau Permesta belum tahu," kata Syafrie.
"Kamu dari Minang kan? Â Bagaimana situasi di sana?"
"Bapak tidak cerita. Setahu aku di Sumatera Barat para tokohnya tidak suka pada komunis, termasuk Syafrudin Prawiranegara."