Hari sudah menunjukkan pukul lima sore. Ayah dan ibunya Rina belum pulang juga. Tetapi beberapa kakak sudah pulang dan membiarkan kami berdansa. Seorang kakak perempuannya sempat memperhatikan kami.
“Kamu dansa dengan siapa Rina?”
“ Uni ingin tahu saja!” jawab Rina seenaknya.
Kakaknya berlalu, sepertinya dia sudah kebal terhadap kelakukan Rina. Tetapi aneh juga ini kedua kalinya. Rina tidak mengenalkan saya dengan kakak-kakaknya. Rina mengajak saya ke kamarnya membantunya belajar Aljabar. Materinya ada yang pernah saya pelajari. Dia meminjamkan handuk dan mandi. Lalu saya menunggu di kamar hingga dia selesai mandi. Pas Azan mahgrib kami salat bersama. Kali ini saya menjadi imam.
“Dinda, kamu salat sampai tertidur yaa!” Suara Mama membangunkan saya. Ya, ampun saya terlelap di atas sejadah. Di belakang ada sejadah lain.
“Untuk apa sejadah dan mukenah nenek kamu pakai? Loh, untuk apa sejadah di belakangnya?’ Mama merasa ada yang aneh pada putri semata wayangnya. Dia juga memungut sehelai handuk di atas kursi dekat tempat tidur nenek.
“Kok bisa ada di sini ya? Kamu mengeluarkan dari lemari nenek?”
Saya tak menjawab. Mama memungut hal lain di lantai kamar. Sebuah album dan berapa lembar foto tercecer. “Kamu habis bongkar lemari nenek dan dari loteng ya? Ya, ampun kamu belajar aljabar tahun 1959 punya nenek kamu!”
Tetapi Mama tidak bertanya lagi. Dia tampak berbicara dengan Bik Yayuk. Saya menguping.
“Iya, Neng Dinda seharian ini menari sendirian pakai musik piringan hitam itu!”
“Kamar mandi ada yang mandi, setelah Dinda keluar!”