“Nggak, Dinda nggak mimpi. Dinda jalan sama Rina.”
Tentunya saya tidak mau cerita pada tahun berapa saya berjalan bersama Rina. Saya mencoba menduga-duga jangan-jangan saya jalan dengan nenek ketika masih seumur saya. Sama-sama anak yang kesepian. Pertanyaannya ada apa dengan Papa tidak mau menemui ibunya sendiri dan mengenalkan cucunya?
Esoknya Papanya kembali bekerja. Mamanya juga bekerja. Saya kembali tinggal dengan Bik Yayuk. Saya naik ke loteng sehabis sarapan dan membuka lemari tua itu. Uppsh! Sebuah album foto jatuh dari lemari itu. Album itu memuat puluhan foto hitam putih dan dia mengenali gadis berkepang dua itu dan kakaknya. Di lemari itu ada belasan album piringan hitam. Tiba-tiba dia tidak tertarik lagi pada Flora dan Fauni. Dia sudah punya teman namanya Rina.
“Kamu suka dengan Connie Francis?” Rina sudah di belakangnya memegang album Connie Francis. Suasana lotengnya sudah berbeda, seperti ketika Rina membangunkannya.
“Ayo ke bawah! Kita dansa!”
Piringan hitam itu diputar. Rina kembali mengajarkan seorang Dinda berdansa. Lagunya cukup enak, walau memang jadul. Sepertinya untuk menyanyikannya, Conie Francis mungkin bergaya genit.
Stupid Cupid you're a real mean guy
I'd like to clip your wings so you can't fly
I'm in love and it's a crying shame
And I know that you're the one to blame
Hey hey, set me free
Stupid Cupid stop picking on me
“Bung Karno tidak suka anak sekolah dansa rock n roll. Dia lebih suka kita menari Serampang Dua Belas!” cetus Rina.
Saya tak mengomentarinya. Masa saya cerita masa berikutnya musik Barat makin menjadi-jadi. Musik rock juga semakin maju. Kalau Rina memang nenek saya, ingin tahu apa memang pernah di Bandung.
“Sudah pernah ke Bandung?”
“ Iya. Saudara papa punya rumah di Kampung Ujungberung. Tetapi kalau di sana keluar malam hati-hati, suka ada gerombolan. Di Bandungnya ada saudara saya juga di Jalan Mawar. Bandung sejuk dan dingin. Kalau ke sana kami suka ke Maribaya atau Karangsetra.”