Mohon tunggu...
Jumat Tuniah
Jumat Tuniah Mohon Tunggu... Guru - Simple Person

Tebar Kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat Cinta untuk Ayah

20 Mei 2022   15:57 Diperbarui: 20 Mei 2022   16:19 825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tubuhku lemas, seakan semua tenagaku tiba-tiba menghilang.

"Ibuuuu... " Aku memanggil ibu dengan suara lemah. Ibu segera menghampiriku.

"Suster... Suster!! " Ibu sedikit berteriak memanggil Suster. Tidak lama suster pun datang.

Suster tersebut melakukan tugasnya. Suster juga membantu membersihkan dan berusaha menghentikan darah yang mengalir dari hidungku. Aku terkulai lemah di ranjangku. Sambil berbaring, aku bertanya pada suster "Suster, apakah penyakitku parah?"

Suster kemudian memandang pada ibu. Ibu tidak memberikan satu kata pun. Hal ini membuatku semakin bertanya-tanya. Ada apa denganku? Selesai melaksanakan tugasnya, suster tersebut keluar ruangan.

Setelah suster berlalu, aku menoleh dan menatap ibu dengan penuh rasa ingin tahu, aku kenapa? Ibu menggenggam erat tanganku. Ingin aku berteriak rasanya, kenapa mereka diam. Aku berhak tau tentang kondisiku saat ini.
"Ibu??! " Ada air mata mengalir dipipiku. 

"Tolong jawab, bu. Nara sebenarnya kenapa? Apa penyakit Nara parah, bu? Tolong kasih tau Nara?" Pintaku sambil membalas pegangan erat ibuku.

Sambil menangis, ibu bilang padaku "Ra, kamu mengidap leukemia akut"

Usai mengucapkan kalimat itu, tubuh ibu bergetar. Ia mencoba menahan tangisnya. Tapi itu sia-sia. Aku pun terkejut mendengarnya. Seketika aku tidak mempercayai ini semua. Akankan semuanya usai? Apakah aku akan mati? Aku akan meninggalkan orang-orang yang aku sayang? Secepat inikah aku...

Aku membisu dan terpaku. Air mataku berderai tak berhenti. Ibu menangis sejadi-jadinya, kemudian berdiri di samping ranjangku dan meraih pundakku, memelukku. "Sayang, yang sabar ya. Kuatkan dirimu. " Terdengar suara ibu di telingaku seperti setengah berbisik.

Dokter menyarankan untuk melakukan kemoterapi. Seketika itu, aku membayangkan biaya yang ditanggung untuk pengobatan ini. Aku benar-benar serasa runtuh. Terbayang seketika wajah ibu dan ayah. Aliran air mataku kembali membanjiri pipiku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun