Penerangan di kamar ini juga tidak begitu terang, sehingga suasananya remang-remang. Sinarnya di kamarku ini sebenarnya merupakan pantulan dari cahaya lampu tempel yang ada diluar. Kulihat ada pintu berjeruji besi berada di arah depan, berjarak sekitar 1,5 meter dari tempatku berbaring.
Ya Allah, ada dimana aku sekarang? Rasanya ini lebih mirip sebuah penjara daripada sebuah kamar? Pikirku dalam hati.
Setengah tak percaya dengan apa yang terjadi, aku mencoba mengusap kedua mataku berkali-kali. Ah, mungkin saja ini cuma mimpi, pikirku dalam hati. Namun, pandangan mataku tak pernah berubah.
Aku kini benar-benar memang sedang berada dalam sebuah penjara. Tapi, ini penjara apa? Dimana? Mengapa aku dipenjara? Apa salahku? Bukankah aku masih sekolah? Banyak sekali pertanyaan berkecamuk dalam pikiranku.
Perasaanku kini menjadi semakin galau tak karuan. Rasa takut bercampur bingung menyeruak dalam pikiranku. Aku merasa seperti orang linglung dan tak tahu apa yang musti aku lakukan.
"Tuan Adipati! Tuan sudah bangun?" Tiba-tiba terdengar suara dari salah satu pria berpakaian prajurit kerajaan yang tidur sekamar denganku.Â
Adipati? Kok aku dipanggil Adipati? Aku namaku kan Deden Suhendar? Apa maksudnya? Tanyaku dalam hati.Â
"Sembah hormat Tuanku!" ujar kedua pria berpakaian prajurit itu sambil menundukkan kepala dan kedua telapak tangannya disatukan. Â
Aku masih terkejut dan belum menjawab pertanyaan mereka. Sementara mereka tetap dalam posisi setengah berjongkok sambil memberi salam hormat.
Lalu akau mulai memperhaikan pakaian yang kukenakan. Ternyata aku sepertinya sedang memakai pakaian seorang pembesar di zaman dulu. Meskipun pakaianku lusuh, tapi atribut yang kukenakan memang berbeda dengan kedua orang tak kukenal yang sedang memberi hormat padaku tersebut.
Kemudian aku menyuruh mereka bersikap biasa dan menanyakan siapa mereka. Ternyata mereka adalah prajurit dari Tatar Priangan yang selama ini setia mengawal Dipati Ukur dan anehnya, akulah yang dimaksud dengan Dipati ukur oleh mereka.