Dua orang petugas penjara datang dengan senjata laras panjangnya. Aku cuma bisa mengintip sekilas dari balik tanganku yang terpelungkup. Pakaiannya persis seperti prajurit Belanda tempo dulu yang sering aku lihat di buku-buku sejarah. Mereka segera membuka kunci penjara dan salah seorang di antara mereka datang menghampiriku dan bermaksud memeriksaku dengan cara membalikkankan tubuhku.Â
Dalam hitungan detik, seperti pasukan komando baret merah yang terkenal hebat, tangan kiriku langsung meraih leher prajurit Belanda itu. Dia kaget sekali karena tak menyangka akan mendapat serangan menddadak.
Sebelum tersadar lebih jauh, tangan kananku sudah berhasil meraih belati yang menempel di pinggangnya dan menghujamkan ke tubuh pria besar itu berkali-kali, sehingga dia langsung terkapar dan tubuhku bersimpah darah segar.
Sementara itu dalam waktu yang hampir bersamaan, kedua prajuritku pun menyerang dan membunuh seorang prajurit yang berjaga dipinggir pintu penjara. Semuanya berlangsung dengan cepat. Senjata mereka kami rebut dan kami pun mengendap-endap menuju pintu keluar.
Namun sialnya, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, pelarian kami ketahuan. Prajurit yang berada di dekat pintu keluar melihat gerakan kami dan melepaskan tembakan. Sirine penjara pun dinyalakan sehingga bunyinya terdengar meraung-raung.
Sebuah bidikan jitu berhasil aku lakukan. Dor, peluru menyalak dari senjata laras panjang yang kupegang. Entah dari mana aku belajar, tiba-tiba saja aku bisa menembakkan senjata itu. Prajurit Belanda itu pun terkapar bersimbah darah.Â
Aku dan kedua prajuritku bergegas lari keluar sambil melangkahi mayat prajurit Belanda yang terlentang di tengah pintu keluar. Terdengar rentetan tembakan dari arah samping yang langsung membuat dua prajuritku tersungkur.
Aku terus berlari ke arah jalan komplek penjara itu  yang dipenuhi pohon-pohon besar menuju hutan. Aku mencoba bersembunyi dari kejaran beberapa prajurit Belanda.
Posisiku semakin terdesak. Aku berlindung dibalik semak-semak tak jauh dari pohon besar. Suasana remang-remang. Beberapa prajurit terlihat mendekat ke arahku.Â
Dor .... Dor .....Dor ...... Bunyi tembakan dari senjataku. Dua prajurit Belanda itu roboh terkena tembakanku. Aku menyelinap menjaduh dari pohon besar itu menuju parit di pinggir jalan.
Namun kini giliranku yang bernasib sial. Beberapa tembakan terdengar menuju ke tubuhku. Terasa sekali ada butiran timah panas yang mnyeruak masuk ke dalam kulitku dan salah satunya bertengger tepat di dadaku sebelah kiri.