Udara Kota Bandung hari ini cukup panas, tidak seperti biasanya. Aku melaju kencang dengan motor bebek tua kesayanganku, Honda C-70. Motor ini hadiah dari mendiang kakekku yang wafat persis setahun lalu.
Aku berangkat dari Jalan Cijagra sekitar pukul 10 pagi, lalu menelusuri Jalan Buah Batu yang cukup padat. Setelah ketemu lampu merah di prapatan Jalan Soekarno-Hatta, aku belok kiri ke arah Timur menuju prapatan Kiara Condong.
Motorku sempat terhenti sejenak karena tertahan lampu merah. Setelah lampu berganti hijau, kuteruskan mengendari motor bututku ke arah Jalan Kawaluyaan yang posisinya tak jauh dari Rumah Makan Ampera.
Tak lama kemudian Kantor Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah (Dipusipda) Jawa Barat mulai terlihat dari kejauhan. Memang tujuanku ingin ke perpustakaan yang letaknya di kantor tersebut.
Aku ada tugas dari guruku untuk membuat tulisan tentang sejarah tokoh di Jawa Barat. Aku dan tema-teman memang suka ke perpustakaan ini karena pelayanannya yang baik dan koleksi buku-bukunya cukup lengkap.
Setelah memarkirkan motor di sebelah Utara, aku langsung masuk ke gedung perpustakaan melalui pintu Selatan. Ada dua orang petugas berpakaian kebaya sedang berjaga di meja front office.
Salah seorang di antara mereka yaitu seorang wanita berambut panjang yang dikepang dua langsung menyodorkan buku tamu padaku. Wajahnya dingin tanpa ekspresi. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Tak biasanya mereka begini. Biasanya mereka ramah dan suka menyapa tamu. Lagian bajunya juga kok aneh. Para petugas perpustakaan ini biasanya mengenakan pakaian dinas, tapi hari ini kok beda ya? Ah, peduli amat. Mungkin saja mereka sedang ada acara khusus bertema tempo dulu sehingga penampiannya begitu, pikirku dalam hati sambil menghibur diri.Â
Aku segera menulis buku tamu itu dan membubuhi tanda tangan. Kemudian terus berjalan menuju salah satu rak buku yang berjajar rapi di sana. Suasana di perpustakaan hari ini begitu sunyi. Entah mengapa jumlah pengunjungnya sedikit.
Hanya ada beberapa orang tua paruh baya yang terlihat sedang asyik duduk membaca buku di sisi Barat . Seorang pria tua berambut putih, kurus tinggi, dan berpakaian kemeja lengan panjang sedang memilih-milih buku di lorong rak buku sambil berdiri. Â
Dekat rak buku hukum, ada lagi dua orang wanita tua berkulit putih berpakain rok motif bunga yang sedang duduk sambil menyandar di kursi. Rambut mereka ikal, pendek sebahu. Keduanya asyik sedang membaca bukunya masing-masing.
Namun dilihat dari bentuk wajahnya, sepertinya mereka bangsa Eropa. Satu lagi pria berumur sekitar empat puluhan berkemeja putih dan celana panjang hitam terlihat sedang mencatat sesuatu dari buku yang dibacanya di sebuah sudut tempat baca yang terbuat dari kayu dan kaca.
Mengapa tak ada seorang pun remaja seusiaku yang hadir di sini ya? Ah, mereka ini mungkin saja turis asing yang sedang ada kunjungan ke perpustakaan. Tapi rasanya belum pernah deh aku melihat bule ada di sisni. Ah, sudahlah! Peduli amat. Mendingan aku fokus mencari buku yang aku cari, pikirku dalam hati.
Ada beberapa rak buku yang berjajar di perpustakaan ini. Koleksinya cukup banyak. Walau sudah sering ke sini, tapi aku suka bingung kalau datang  lagi. Maklum posisi rak buku suka berubah-ubah. Mungkin maksud petugas supaya pengunjung tidak bosan. Kalau sering berubah terus mah bikin bingung, bukan bikin nyaman, gumamku dalam hati.
Setelah beberapa kali mengelilingi rak buku yang ada di lantai 1 dan tak menemukan buku yang aku cari, maka aku pun bermaksud mencarinya di lantai 3. Kakiku segera melangkah menuju lift yang posisinya terletak di pinggir ruangan arah Selatan, tak jauh dari pintu masuk.
Tombol naik lift kupencet dengan tangan kiriku, sementara tangan kananku memegang handphone. Pintu lift terbuka, segera aku masuk dan menekan tombol angka 3. Pintu lift segera menutup dan mulai bergerak ke lantai 3.
Hanya hitungan detik, lift berhenti kembali dan lampu indikator yang ada di atas pintu lift terlihat menyala merah, pertanda sudah sampai di lantai 3. Saat keluar lift, aku berpapasan dengan dua orang gadis remaja bule berpakaian suster.
Wajah mereka terlihat cantik, tapi tampak dingin dan pucat. Tak ada senyum di wajah mereka. Semuanya tampak kaku, seperti mayat hidup saja. Terasa ada desiran angin dingin saat mereka melintasiku. Bikin semua bulu kudukku jadi berdiri.
Mendadak aku jadi menghentikan langkahku dan diam sesaat. Aku penasaran ingin menoleh ke belakang dan melihat mereka kembali. Namun anehnya, leherku justru terasa berat.
Aku tak mampu menoleh ke belakang. Saat aku berhasil menoleh, justru pintu lift itu sudah mulai menutup dan sekilas kulihat kaki kedua suster itu mengambang tak menyentuh lantai.
Perasaanku mulai tak karuan. Aku masih tetap berdiri mematung di pinggir rak buku sambil pandangan tetap menuju ke arah lift. Namun, bunyi lagu lembut yang tiba-tiba mengalun di ruangan itu telah menyadarkanku. Lagu itu sepertinya lagu lama berbahasa Belanda. Aku sama sekali tak mengerti maknanya. Namun, lagu itu membuat aku terbuai dengan nadanya yang merdu.Â
Entah mengapa, jiwaku terasa nyaman sekali. Rasa takut yang tadi kurasakan mendadak hilang. Tubuhku kini seperti sedang mengalami relaksasi yang hebat. Jiwaku seakan-akan sedang melayang jauh di antara ngarai dan air terjun yang dipenuhi ribuan burung warna-warni nan indah.
Tiba-tiba suara handphone-ku berdering mengagetkanku. Kulihat tak ada nama dilayar, hanya sebuah nomor yang tak kukenal.Â
"Ya ...halloo .....halooooo," suaraku terdengar memecah kesunyian.Â
Beberapa kali aku berteriak, tapi tak ada jawaban di seberang telepon. Hanya terdengar suara yang tak jelas, persis seperti suara handphone yang sinyalnya jelek. Ah, ada-ada saja. Sudahlah, lebih baik aku kembali mencari buku sejarah saja, pikirku dalam hati.  Â
Ruang perpustakaan lantai 3 ini jauh lebih luas dibandingkan dengan ruang perpustakaan di lantai 1. Tampak rak-rak buku berjajar rapi diberbagai sudut ruangan. Aku terus berjalan sambil mengamati beberapa buku yang berjajar rapi. Tujuanku menuju ke rak buku sejarah.Â
Suasana di sini jauh lebih sepi dibandingkan ruang di lantai 1. Aku hanya melihat sepasasang suami istri berumur sekitar 70-80 tahun yang tengah duduk berdua di pojok ruangan sedang membaca buku. Karena agak jauh, jadi tidak begitu jelas, mereka itu warga Indonesia atau warga asing. Namun, kalau kulihat sepintas tampaknya mereka juga orang bule.
Sudah sepuluh menit aku di ruangan ini, tapi buku rak buku sejarah yang kucari belum juga ditemukan. Tanpa sengaja, tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah buku tua berwarna coklat dan cukup tebal yang tergeletak di meja baca yang kosong. Entahlah, aku sepertinya tertarik untuk melihat buku itu. Sepertinya ada kekuatan gaib yang mendorongku untuk segera melangkah ke sana.
Tanpa kusadari, aku sudah berada di meja itu. Kemudian secara perlahan aku mengambil kursi dan duduk di sana. Sebelum menyentuhnya, aku mencoba membaca judul buku itu, tapi aku tetap tak mengerti. maklum, buku itu tertulis dalam bahasa Belanda. Cuma yang kutahu, pada bagian bawah cover buku  itu tertulis "1628".
Terus terang, buku tua itu membuatku penasaran. Rasa ingin tahuku semakin besar dan ingin segera mengetahui isinya. Seperti ada bisikan dalam telingaku yang memintaku untuk segera membukanya. Suara itu semakin jelas sekali, tapi halus dan lembut.Â
Secara perlahan mulai kubuka buku tua itu lembar demi lembar. Pada lembar ke lima, kulihat foto Jan Pieterszoon Coen, seorang Gubernur Jenderal Vereenigde Osdtindische Compagnie (VOC) atau Perusahaan Hindia Timur Belanda.
Petinggi Belanda itu terlihat gagah. Mukanya lonjong berdagu lancip. Kumisnya tipis panjang dengan sorot mata yang tajam.  Dia memakai pakaian bangsawan yang mewah dengan jas kebesaran yang menempel di pundaknya, sementara  di pinggang kirinya terselip sebilah pedang yang panjang.
Aku sempat terpukau sejenak memerhatikan sosok pria yang menjengkelkan ini. Betapa tidak, perbuatannya zaman dulu telah menyusahkan bangsa kita. Setidaknya itu yang pernah kutahu dalam buku sejarah. Â Â
Halaman itu pun segera kulipat dan kuteruskan dengan halaman yang lain. Lembar demi lembar buku itu aku buka. Namun, aku sama sekali tak mengerti apa maksud tulisannya.
Semakin aku buka lebar berikutnya, tanganku semakin terasa berat. Sepertinya ada sebuah energi besar yang menahan lembaran itu agar tidak bergerak menuju lembar selanjutnya. Jujur, aku sebenarnya mulai terasa takut. Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori kulitku.
Tentu saja aku semakin penasaran. Rasa ingin tahuku mengalahkan rasa takutku. Terus saja kupaksa agar lembaran buku tua itu terus terbuka. Saat memasuki halaman 13, aku melihat foto sebuah bangunan tua di tengah hutan. Bangunan itu berbentuk rumah bangsa Eropa beratap kerujut berpintu tinggi sekitar dua meter dengan banyak jendela, lebih mirip sebuah villa.
Saat sampai ke halaman ini, sekujur tubuhku terasa merinding. Bulu kudukku mulai berdiri. Dalam hitungan detik, tiba-tiba sebuah tangan keriput berkuku panjang keluar dari dalam buku itu dan langsung mencengkeram kedua pergelangan tanganku dengan kuat. Aku terperanjat, tapi sudah terlambat. Tangan itu seakan menempel kuat dan tak mau dilepaskan.
Aku berusaha sekuat tenaga menahan tangan aneh tersebut, tapi tarikannya terasa kuat sekali. Ingin sekali aku berteriak, tapi mulutku seperti terkunci rapat. Aku mencoba menahan tubuhku dengan  menyandarkan kedua kakiku ditiang meja. Namun usahaku tetap sia-sia. Separuh tanganku sudah mulai masuk ke dalam buku tua itu.Â
Terjadilah tarik menarik antara aku dan tangan misterius tersebut. Tenagaku semakin melemah, tapi aku tak mau menyerah. Tiba-tiba aku merasakan tubuhku semakin lembut dan mengempis, seperti sebuah balon yang tertusuk jarum dan kehilangan anginnya.
Kepalaku terasa pusing sekali. Dadaku terasa sesak dan susah bernapas. Tubuhku terasa seperti sedang diremas dengan kekuatan yang sangat dahsyat. Kemudian pandanganku semakin kabur. Semuanya menjadi semakin gelap, sunyi, dan hening sekali. Aku seperti terbuai dalam mimpi dan tak ingat apa-apa lagi.
***Â
Entah sudah berapa lama tak sadarkan diri. Saat kubuka mataku, aku terkejut. Betapa tidak, suasana tempat ini sama sekali tak kukenal. Ternyata aku tertidur dilantai tanpa alas. Pantesan saja aku merasa agak kedinginan dan meringkuk di tempat itu.
Aku mencoba melihat kondisi di sekeliling ku sambil tetap berada di tempatku berbaring. Ternyata aku sedang berada dalam ruangan tembok yang sempit, berukuran sekitar 2 x 2,5 m dengan tinggi sekitar 3 m. Ternyata aku tidak sendiri. Di sampingku terdapat dua orang berpakaian agak lusuh. Tampaknya seperti pakaian prajurit zaman dulu. Keduanya masih terlelap tak jauh dari tempatku.
Penerangan di kamar ini juga tidak begitu terang, sehingga suasananya remang-remang. Sinarnya di kamarku ini sebenarnya merupakan pantulan dari cahaya lampu tempel yang ada diluar. Kulihat ada pintu berjeruji besi berada di arah depan, berjarak sekitar 1,5 meter dari tempatku berbaring.
Ya Allah, ada dimana aku sekarang? Rasanya ini lebih mirip sebuah penjara daripada sebuah kamar? Pikirku dalam hati.
Setengah tak percaya dengan apa yang terjadi, aku mencoba mengusap kedua mataku berkali-kali. Ah, mungkin saja ini cuma mimpi, pikirku dalam hati. Namun, pandangan mataku tak pernah berubah.
Aku kini benar-benar memang sedang berada dalam sebuah penjara. Tapi, ini penjara apa? Dimana? Mengapa aku dipenjara? Apa salahku? Bukankah aku masih sekolah? Banyak sekali pertanyaan berkecamuk dalam pikiranku.
Perasaanku kini menjadi semakin galau tak karuan. Rasa takut bercampur bingung menyeruak dalam pikiranku. Aku merasa seperti orang linglung dan tak tahu apa yang musti aku lakukan.
"Tuan Adipati! Tuan sudah bangun?" Tiba-tiba terdengar suara dari salah satu pria berpakaian prajurit kerajaan yang tidur sekamar denganku.Â
Adipati? Kok aku dipanggil Adipati? Aku namaku kan Deden Suhendar? Apa maksudnya? Tanyaku dalam hati.Â
"Sembah hormat Tuanku!" ujar kedua pria berpakaian prajurit itu sambil menundukkan kepala dan kedua telapak tangannya disatukan. Â
Aku masih terkejut dan belum menjawab pertanyaan mereka. Sementara mereka tetap dalam posisi setengah berjongkok sambil memberi salam hormat.
Lalu akau mulai memperhaikan pakaian yang kukenakan. Ternyata aku sepertinya sedang memakai pakaian seorang pembesar di zaman dulu. Meskipun pakaianku lusuh, tapi atribut yang kukenakan memang berbeda dengan kedua orang tak kukenal yang sedang memberi hormat padaku tersebut.
Kemudian aku menyuruh mereka bersikap biasa dan menanyakan siapa mereka. Ternyata mereka adalah prajurit dari Tatar Priangan yang selama ini setia mengawal Dipati Ukur dan anehnya, akulah yang dimaksud dengan Dipati ukur oleh mereka.
Tentu saja aku tak percaya dan masih meragukan pengakuan mereka. Aku sengaja tak membuka rahasiaku kalau aku ini berasal dari zaman milenial di tahun 2019. Â
"Hai prajurit, kita sekarang sedang berada dimana?" tanyaku pada mereka.
"Begini Tuan. Selepas penyerangan terhadap markas VOC di Batavia, pasukan kita kalah. Banyak prajurit yang gugur. Saat itu pasukan kita terpojok. kami berdua dan Tuanku mendapat serangan gencar dari pasukan VOC.
Dalam pertempuran jarak dekat, kita terkepung dan Tuanku terkena pukulan bertubi-tubi dari pasukan VOC. Tuanku pingsan dan kami pun menyerah. Sekarang kita menjadi tawanan VOC Tuanku," kata salah seorang yang berpakaian prajurit itu menjelaskan. Â Â Â
"Ya, Tuanku. Menurut desas-desus yang kami terima, besok kita akan dihukum mati Tuanku," kata orang berpakaian prajurit yang satu lagi.
"Begini saja. Malam ini kita kabur," ujarku tiba-tiba pada mereka.
Ide itu muncul begitu saja tanpa aku pikirkan sebelumnya. Â
"Tapi Tuanku, penjagaan di sini ketat sekali. Bagaimana kita bisa kabur tanpa senjata dan bala bantuan?" jawab salah seorang dari berpakaian prajurit itu.
"Aku punya ide. Â Nanti aku akan pura-pura sakit. Lalu kalian memanggil petugas jaga. Saat mereka datang, kita bunuh mereka dan kita rebut senjatanya," ujarku pada mereka.
Mereka berdua mematuhi apa yang kuperintahkan. Tampaknya aku sekarang benar-benar merasa menjadi seorang pembesar negeri. Buktinya omonganku dituruti mereka dengan rasa hormat selayaknya aku ini memang benar-benar Dipati Ukur.Â
Aku pun pura-pura mengerang seolah-olah sedang kesakitan, sambil terbaring dan memegang perutku. Suasana tentu sedikit gaduh. Kedua prajurit itu memanggil-manggil petugas dengan bahasa Belanda yang kumengerti.Â
Dua orang petugas penjara datang dengan senjata laras panjangnya. Aku cuma bisa mengintip sekilas dari balik tanganku yang terpelungkup. Pakaiannya persis seperti prajurit Belanda tempo dulu yang sering aku lihat di buku-buku sejarah. Mereka segera membuka kunci penjara dan salah seorang di antara mereka datang menghampiriku dan bermaksud memeriksaku dengan cara membalikkankan tubuhku.Â
Dalam hitungan detik, seperti pasukan komando baret merah yang terkenal hebat, tangan kiriku langsung meraih leher prajurit Belanda itu. Dia kaget sekali karena tak menyangka akan mendapat serangan menddadak.
Sebelum tersadar lebih jauh, tangan kananku sudah berhasil meraih belati yang menempel di pinggangnya dan menghujamkan ke tubuh pria besar itu berkali-kali, sehingga dia langsung terkapar dan tubuhku bersimpah darah segar.
Sementara itu dalam waktu yang hampir bersamaan, kedua prajuritku pun menyerang dan membunuh seorang prajurit yang berjaga dipinggir pintu penjara. Semuanya berlangsung dengan cepat. Senjata mereka kami rebut dan kami pun mengendap-endap menuju pintu keluar.
Namun sialnya, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, pelarian kami ketahuan. Prajurit yang berada di dekat pintu keluar melihat gerakan kami dan melepaskan tembakan. Sirine penjara pun dinyalakan sehingga bunyinya terdengar meraung-raung.
Sebuah bidikan jitu berhasil aku lakukan. Dor, peluru menyalak dari senjata laras panjang yang kupegang. Entah dari mana aku belajar, tiba-tiba saja aku bisa menembakkan senjata itu. Prajurit Belanda itu pun terkapar bersimbah darah.Â
Aku dan kedua prajuritku bergegas lari keluar sambil melangkahi mayat prajurit Belanda yang terlentang di tengah pintu keluar. Terdengar rentetan tembakan dari arah samping yang langsung membuat dua prajuritku tersungkur.
Aku terus berlari ke arah jalan komplek penjara itu  yang dipenuhi pohon-pohon besar menuju hutan. Aku mencoba bersembunyi dari kejaran beberapa prajurit Belanda.
Posisiku semakin terdesak. Aku berlindung dibalik semak-semak tak jauh dari pohon besar. Suasana remang-remang. Beberapa prajurit terlihat mendekat ke arahku.Â
Dor .... Dor .....Dor ...... Bunyi tembakan dari senjataku. Dua prajurit Belanda itu roboh terkena tembakanku. Aku menyelinap menjaduh dari pohon besar itu menuju parit di pinggir jalan.
Namun kini giliranku yang bernasib sial. Beberapa tembakan terdengar menuju ke tubuhku. Terasa sekali ada butiran timah panas yang mnyeruak masuk ke dalam kulitku dan salah satunya bertengger tepat di dadaku sebelah kiri.
Aku langsung terjerembab di tepian parit. Senjata yang ada di tanganku pun terpental dari genggaanku. Sayup-sayup terdengar langkah sepatu boot mendekatiku dan suara orang berbahasa Belanda yang tak kumengerti artinya.  Pandanganku tiba-tiba gelap dan jiwaku seperti terlepas melayang ke angkasa. Selanjutnya aku sudah tak ingat apa-apa lagi.
***Â
"Dedeeeen, banguuuun .....Ayo banguuuuun!" terdengar suara beberapa orang yang memekakkan telingaku.
Ya Allah, dimana aku sekarang? Bukankah aku tadi sudah mati? pikirku dalam hati sambil mengusap-usap kedua mataku.  Â
"Eh, ini dimana" Ada pa kok rame-rame begini?" ujarku bingung pada sekelompok remaja berpakaian SMA yang mengelilingiku.
"Makanya kalau dikasih tugas itu kerjakan dengan benar. Jangan tidur melulu Den!" ujar Ajeng, teman sekelasku yang berparas paling cantik.
"Cuci muka sana ...hua..ha..ha...," ledek Asep, ketua kelasku dengan banyolannya yang khas.
Aku mencoba bangkit dari tempatku duduk. Kulihat buku tua berwarna coklat berbahasa Belanda itu masih ada dimeja. Sejak tadi kata mereka aku tertidur beralaskan buku itu.
Aku pun tak bisa berkata-kata apa-apa lagi, kecuali diam dan merahasiakan apa yang kualami ini. Aku tidak mau dianggap gila dan banyak menghayal oleh teman-temanku sendiri.
***Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H