Entah mengapa, jiwaku terasa nyaman sekali. Rasa takut yang tadi kurasakan mendadak hilang. Tubuhku kini seperti sedang mengalami relaksasi yang hebat. Jiwaku seakan-akan sedang melayang jauh di antara ngarai dan air terjun yang dipenuhi ribuan burung warna-warni nan indah.
Tiba-tiba suara handphone-ku berdering mengagetkanku. Kulihat tak ada nama dilayar, hanya sebuah nomor yang tak kukenal.Â
"Ya ...halloo .....halooooo," suaraku terdengar memecah kesunyian.Â
Beberapa kali aku berteriak, tapi tak ada jawaban di seberang telepon. Hanya terdengar suara yang tak jelas, persis seperti suara handphone yang sinyalnya jelek. Ah, ada-ada saja. Sudahlah, lebih baik aku kembali mencari buku sejarah saja, pikirku dalam hati.  Â
Ruang perpustakaan lantai 3 ini jauh lebih luas dibandingkan dengan ruang perpustakaan di lantai 1. Tampak rak-rak buku berjajar rapi diberbagai sudut ruangan. Aku terus berjalan sambil mengamati beberapa buku yang berjajar rapi. Tujuanku menuju ke rak buku sejarah.Â
Suasana di sini jauh lebih sepi dibandingkan ruang di lantai 1. Aku hanya melihat sepasasang suami istri berumur sekitar 70-80 tahun yang tengah duduk berdua di pojok ruangan sedang membaca buku. Karena agak jauh, jadi tidak begitu jelas, mereka itu warga Indonesia atau warga asing. Namun, kalau kulihat sepintas tampaknya mereka juga orang bule.
Sudah sepuluh menit aku di ruangan ini, tapi buku rak buku sejarah yang kucari belum juga ditemukan. Tanpa sengaja, tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah buku tua berwarna coklat dan cukup tebal yang tergeletak di meja baca yang kosong. Entahlah, aku sepertinya tertarik untuk melihat buku itu. Sepertinya ada kekuatan gaib yang mendorongku untuk segera melangkah ke sana.
Tanpa kusadari, aku sudah berada di meja itu. Kemudian secara perlahan aku mengambil kursi dan duduk di sana. Sebelum menyentuhnya, aku mencoba membaca judul buku itu, tapi aku tetap tak mengerti. maklum, buku itu tertulis dalam bahasa Belanda. Cuma yang kutahu, pada bagian bawah cover buku  itu tertulis "1628".
Terus terang, buku tua itu membuatku penasaran. Rasa ingin tahuku semakin besar dan ingin segera mengetahui isinya. Seperti ada bisikan dalam telingaku yang memintaku untuk segera membukanya. Suara itu semakin jelas sekali, tapi halus dan lembut.Â
Secara perlahan mulai kubuka buku tua itu lembar demi lembar. Pada lembar ke lima, kulihat foto Jan Pieterszoon Coen, seorang Gubernur Jenderal Vereenigde Osdtindische Compagnie (VOC) atau Perusahaan Hindia Timur Belanda.
Petinggi Belanda itu terlihat gagah. Mukanya lonjong berdagu lancip. Kumisnya tipis panjang dengan sorot mata yang tajam.  Dia memakai pakaian bangsawan yang mewah dengan jas kebesaran yang menempel di pundaknya, sementara  di pinggang kirinya terselip sebilah pedang yang panjang.