Mohon tunggu...
Juli Antonius Sihotang
Juli Antonius Sihotang Mohon Tunggu... Lainnya - Perantau-Peziarah Hidup

Spiritualitas, Iman Katolik, Kaum Muda Katolik Artikel saya yang lain dapat dilihat di: https://scholar.google.co.id/citations?user=_HhzkJ8AAAAJ&hl=en

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Upacara Mangongkal Holi dan Perintah Keempat Dalam Gereja Katolik

6 Juni 2023   18:49 Diperbarui: 6 Juni 2023   19:19 892
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: youtube.com/ancas wisata

Pendahuluan

Latar belakang riset penelitian studi ini menaruh perhatian pada penghormatan anak-anak (keturunan) terhadap orang tua (leluhur) melalui budaya lokal (Batak): upacara mangongkal holi dan perintah keempat dalam Gereja Katolik. 

Penelitian ini memiliki relasi dengan kedudukan manusia dalam kebudayaan, yang memiliki peran sentral. Manusia bukan semata-mata sebagai orang, melainkan sebagai pribadi. Kepadanya segala kegiatan diarahkan sebagai tujuan.[1] 

Kebudayaan dengan demikian mengacu pada pengetahuan bersama, di mana pada akar gagasan ini terdapat konsep mengajarkan, memelirhara, dan mewariskan sesuatu. Pengetahuan yang dimiliki bersama tersebut kemudian dipergunakan untuk menafsirkan dan menilai berbagai cara masing-masing individu maupun kelompok dalam hubungannya satu sama lain, dan juga dengan lingkungan mereka.[2] 

Dalam dunia yang terus berkembang seperti sekarang, manusia mau tidak mau dihadapkan pada berbagai pertanyaan mengenai perkembangan dunia (modern), mengenai tempat, pengaruh (peran) manusia dalam alam semesta, makna dari segala usahanya yang baik secara perorangan maupun bersama-sama, dan akhirnya tentang tujuan terakhir dunia sekaligus manusia itu sendiri. 

Kita berada di mana, dan akan dibawa kemana kehidupan ini selanjutnya? Apakah masih ada tempat untuk saya/kita untuk hidup? Apakah manusia ditakdirkan untuk ikut-ikutan saja, sekalipun tidak mengetahui tujuan hidupnya? Masih adakah rasa persaudaraan di antara seluruh umat manusia?[3]

Arti hidup tentunya memiliki relasi yang erat dengan arti dunia, sebab seluruh hidup manusia bersatu dengan alam semesta. Manusia tidak hanya penghuni dunia dan alam semesta, ia juga memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menjaga, memelihara, dan mewariskan alam yang indah dan mengagunkan ini kepada generasi selanjutnya. 

Diperlukan kesadaran bahwa dunia harus selalu baru-baik, dan semakin sesuai dengan tujuan hidup manusia yang sebenarnya. Manusia nyatanya memiliki relasi dengan Tuhannya, dengan sesama manusia secara individual, bersama-sama, dan masyarakat. Manusia juga memiliki ketergantungan dengan dunia material di sekitarnya, dan akhirnya manusia itu mempunyai relasi dengan dirinya sendiri. Frame work relasi tersebutlah, yang dimaksudkan dengan kebudayaan.

Dalam kehidupan manusia itu sendiri, terdapat empat unsur yang dipandang Gereja sebagai poros (kerangka) kebudayaan. Pertama, Tuhan atau yang lebih umum disebut Yang Transenden. Kedua, kebudayaan manusia yang terbentuk karena kegiatan di masa lampau sampai sekarang ini, yang terus menghubungkan manusia satu sama lain. Ketiga, dunia material, karena tanpanya manusia tidak dapat hidup dan bergerak. Keempat, diri manusia itu sendiri, sebab ia dilahirkan dan berkembang dalam ikatan kebudayaan.[4]

Warisan kebudayaan lokal adalah salah satu sarana yang seharusnya disadari, dipelihara, dan diwariskan secara terus-menerus oleh seluruh masyarakat dari satu generasi ke generasi selanjutnya sebagai ungkapan cinta yang menyeluruh dalam hidup, terutama dalam hubungannya dengan cinta anak (keturuanan) kepada orang tua (leluhur). 

Dalam budaya Batak, cinta) kepada orang tua (leluhur) diwujudkan melalui upacara mangongkal holi. Di mana upacara adat tersebut dilakukan sebagai ungkapan cinta cinta anak (keturuanan) kepada orang tua (leluhur) mereka yang telah meninggal dunia. Dengan demikian leluhur yang telah meninggal tetap dikenang, dihormati, dan dimuliakan, sekalipun ia telah meninggal dunia.

Di sisi lain, penelitian yang dilakukan oleh berbagai pihak dalam studi-studi sebelumnya mengenai tema upacara mangongkal holi sudah cukup banyak. Adapun berbagai penelitian tersebut antara lain: Makna Simbolik Upacara Mangongkal Holi bagi Masyarakat Batak Toba di Desa Simanindo, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir Provinsi Sumatera Utara,[5] Mangongkal Holi as The highest Level of Tradition in Batak Toba Society,[6] Perkembangan Ritual Adat Mangongkal Holi Batak Toba dalam Kekristenan di Tanah Local Wisdom Found in Mangongkal Holi Tradition Batak,[7] Mangongkal Holi dan Relasi kuasa Apparatus Adat dan Agama,[8] The Communicative Functions of Ulaon Poguni Alaman in Exhumation (Mangongkal Holi) a Funeral Ceremony in Toba Batak.[9]

Penulis melihat bahwa secara garis besar berbagai penemuan dan studi sebelumnya yang mereka lakukan hampir sama satu sama lain, mengungkapkan bahwa upacara mangongkal holi bagi orang Batak adalah suatu upacara penghormatan anak kepada orang tua (leluhur) yang telah meninggal. Di mana dalam upacara mangongkal holi, jenazah leluhur dikeluarkan dari makam, tulang-belulangnya kemudian dibersihkan, yang diakhiri dengan pemindahan tulang-belulang leluhur ke dalam suatu Tugu Marga. 

Namun, dalam upacara adat tersebut terungkap juga upacara adat Batak lainnya, yang disebut dengan dalihan na tolu.[10] Dalihan na tolu[11] merupakan sistem kemasyarakat orang Batak yang menunjukkan kedudukan pihak hula-hula yang berada pada posisi terdepan (paling dihormati). Posisi selanjutnya adalah pihak dongan tubu yang posisinya sejajar dengan pihak hula-hula. 

Sementara posisi terakhir adalah pihak parboru yang biasanya bertugas untuk melayani dalam suatu kegiatan atau upacara adat. Berbagai kedudukan tersebut sangat erat hubungannya dengan penerapan adat-istiadat serta berbagai ritus adat dalam budaya orang Batak. Itulah mengapa selain sebagai upacara untuk menghormati orang tua (leluhur), upacara mangongkal holi adalah juga perwujudan dari tiga falsafah hidup orang Batak: hasangapon (kemuliaan), hamoraon (kekayaan), dan hagabeon (keturunan yang banyak).

Landasan Teologis (Perintah Keempat): Hormatilah Ayah dan Ibumu

Dalam Perjanjian Lama, Allah Israel memberikan sepuluh perintah (dekalog)[12] kepada bangsa Israel di atas gunung Sinai melalui Musa.[13] Sepuluh perintah Allah tersebut merupakan lambang dari perjanjian Allah dengan bangsa Israel, sehingga bangsa Israel hanya menyembah Allah yang benar dan satu-satunya, yakni Yahweh dalam hidup mereka.[14] 

Pada perintah keempat, Allah memerintahkan kepada bangsa Israel, "Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu."[15] Allah meminta supaya bangsa Israel senantiasa menghormati dan mengasihi orang tua mereka, sebab orang tualah yang pertama-tama menjaga, memelihara, dan mengajarkan iman dan segala yang baik-benar kepada anak-anaknya. Itulah mengapa, setiap anak (bangsa Israel) memiliki kewajiban untuk mengasihi, menghargai, dan menghormati orang tua mereka masing-masing selama hidup di dunia ini, bahkan mungkin setelah maninggal.

Yesus sendiri pernah menyinggung perintah keempat dalam Perjanjian Baru ketika menegur sekaligus mengkritisi penghayatan hukum Taurat dalam kehidupan sehari-hari orang-orang Farisi dan Ahli-ahli Taurat dalam menghayati adat istiadat orang Yahudi (perintah keempat). Yesus dengan tegas mengatakan kepada mereka, "Karena Musa telah berkata: hormatilah ayah dan ibumu. 

Siapa yang mengutuki ayah dan ibunya harus mati, tetapi kamu berkata: kalau seorang berkata kepada bapanya atau ibunya: apa yang ada padaku, yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu sudah digunakan untuk kurban, yaitu persembahan kepada Allah. Maka, kamu tidak membiarkannya lagi berbuat sesuatu pun untuk bapanya atau ibunya. Dengan demikian Firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadat yang kamu ikuti itu."[16] 

Penghormatan kepada orang tua (leluhur) yang terungkap dalam perintah keempat ditegaskan kembali oleh rasul Paulus ketika menuliskan suratnya kepada jemaat di Efesus dengan berkata, "Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu. Ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi."[17] 

Kenyataan ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa dihadapan Allah hubungan anak dengan orang tua maupun penghormatan anak kepada orang tua adalah suatu hal yang sangat penting dan mendasar dalam kehidupan manusia. Allah menghendaki agar setiap anak menunjukkan penghormatan, kasih sayang, dan ucapan syukur kepada orang tua (leluhur, nenek moyang) mereka. Dengan kata lain, menghormati dan mengasihi orang tua adalah prinsip umum dalam hidup manusia,[18] sehingga membawa pengaruh yang baik apabila dilakukan, dan akan mengakibatkan pengaruh yang buruk apabila tidak dilakukan oleh manusia.

Budaya Lokal: Upacara Mangongkal Holi 

Mangongkal holi[19]adalah upacara adat dalam budaya orang Batak. Upacara adat ini adalah proses menggali kembali tulang-belulang seorang leluhur suatu keluarga dari kuburan yang lama untuk dipindahkan ke atas tugu karena para keturunannya ingin menghormati dan memuliakan leluhur mereka tersebut. Upacara mangongkal holi dirayakan dengan iring-iringan, gondang, tari-tarian dan barisan ibu-ibu yang membawa beras. 

Tulang-belulang yang sudah digali kemudian dimasukkan ke dalam sarkofagus.[20] Di mana pada zaman dahulu, upacara adat ini[21] biasanya dilakukan sampai berhari-hari, bahkan sampai berbulan-bulan. Upacara mangongkal holi juga tergantung dari kedudukan setiap leluhur di masa hidupnya, serta kemampuan para keturunannya untuk menyelenggarakan pesta upacara adat tersebut. Dalam upacara mangongkal holi, seluruh keluarga turut menghadiri kegiatan, begitu juga dengan masyarakat desa, dan satu galur.[22]

Upacara mangongkal holi dapat dilakukan dalam dua cara, yakni perayaan yang sederhana dan besar-besaran. Upacara yang dilakukan dalam perayaan yang sederhana, proses upacara terlebih dahulu diawali dengan dipersembahkan kurban berupa makanan kepada leluhur, dewa-dewa alam, raja dari kedelapan mata angin dan kepada tondi (arwah/roh).[23] orang yang turut dalam suatu pesta upacara adat. 

Semua orang yang hadir, kemudian menaburkan beras dia atas kepalanya masing-masing yang disebut parbue santi. Selanjutnya, seorang datu[24] mempersembahkan kurban sebagai tanda sukacita sambil memohon agar seluruh keturunan dari leluhur bertambah banyak, dan diberi umur yang panjang. 

Upacara Mangongkal holi dalam perayaan yang dilakukan secara besar-besaran, diawali dengan pelaksana harus mendirikan tonggak borotan[25] dalam melakukan horja sita.[26] Sehari sebelum pesta dimulai, seluruh yang hadir dalam perayaan menari-nari sepanjang hari sampai dini hari. Pagi hari acara diakhiri dengan makan bersama, di mana dihidangkan makanan dan sagu-sagu sitompion[27] beserta sirih persembahan. 

Selanjutnya, dipersembahkan beras, itak gur-gur,[28] sirih dan seekor ayam kecil kepada leluhur serta para dewa yang berada di halaman kampung. Di tempat tersebut kemudian digali sebuah borotan[29] berdiri tegak, seekor kerbau dibawa masuk, dan diikatkan pada sebuah tonggak. Selanjutnya datu menari mengelilingi kerbau sebanyak empat kali, sementara tangannya memegang tongkat dan pedang. Kemudian seorang yang sudah ditugaskan datang mendekat, lalu menusuk tombaknya ke tubuh kerbau tersebut.

Penghormatan besar yang demikian diberikan kepada sumangot[30], yaitu leluhur yang salur keturunannya sudah berkembang menjadi suatu kelompok suku maupun suatu marga yang besar. Pada waktu upacara berlangsung sering juga dilakukan penobatan tondi[31] leluhur menjadi sombaon[32] yang dirayakan dengan sangat meriah, hal ini disebut santirea. 

Setelah leluhur dinobatkan menjadi sombaon, kedudukannya kemudian diyakini oleh orang Batak hampir mendekati tingkatan para dewa. Pada waktu itu sombaon melalui sibaso[33] mengumumkan nama baru untuk leluhur, kemudian sombaon mencari tempat bersemayam yang baru. Adakalanya leluhur tersebut berada di puncak gunung, di hutan belantara, maupun di sebuah sungai yang deras.[34] Selanjutnya, para keturunannya akan menghormati tempat bersemayam sombaon sebagai tempat suci, dan pada hari-hari tertentu mereka mempersembahkan kurban baginya.

Proses Upacara Mangongkal Holi Pra-Kekristenan

Upacara mangongkal holi dimulai dengan kegiatan yang dilakukan di tambak.[35] Pembongkaran dimulai dengan acara ibadat yang dipimpin oleh seorang perwakilan dari gereja setempat. Selanjutnya, pintu tambak diketuk sebanyak tiga kali, kemudian perwakilan gereja mengingatkan bahwa pemindahan tersebut harus dilakukan dengan maksud yang benar dan sesuai dengan ajaran Tuhan. 

Setelah itu, proses upacara dalam tahap selanjutnya diserahkan kembali kepada raja parhata.[36] Namun sebelum melanjutkannya, raja parhata terlebih dahulu menanyakan prosesi yang diinginkan oleh pihak hula-hula.[37] Setelah mendapatkan arahan, hula-hula tertua dari keluarga leluhur kembali mengetuk pintu tambak sekali lagi. Kemudian beberapa tukang yang sudah disewa, langsung mengambil alih pembongkaran pintu batu tambak. 

Para perwakilan keluarga kemudian masuk ke dalam untuk mengumpulkan tulang-belulang leluhur mereka. Kemudian Sattabi da oppung[38] diucapkan oleh salah seorang keluarga leluhur yang mengumpulkan tulang-belulang ke dalam suatu ember. Setelah tulang-belulang selesai dikumpulkan semuanya, ember yang berisi tulang-belulang kemudian dibawa ke luar tambak. 

Selanjutnya pihak boru[39] langsung mengambilnya untuk dibersihkan, yang kemudian diikuti oleh isak dan teriak tangis para keturunan yang hadir dalam proses pembersihan tulang-belulang. Adapun proses pembersihan tulang-belulang leluhur tersebut biasanya dilakukan dalam tiga tahap. Di mana tahap pertama, adalah pembersihan dengan air. Tahap kedua, dengan pangir (jeruk purut).[40] Tahap ketiga, dengan air kunyit.

Tulang-belulang leluhur yang sudah dibersihkan dan dikeringkan, kemudian disusun ke dalam suatu peti kecil. Sebelum di bawa ke atas tugu, peti terlebih dahulu diulosi oleh pihak hula-hula. Setelah itu, baru di hutti[41] parumaen[42] ke atas tugu. Sementara perwakilan keluarga yang lain sudah siap menerima menantu yang meng-hutti untuk mengambil ulos[43] dengan perlahan. Dengan demikian, yang dimasukkan ke dalam tugu itu hanya peti yang berisi tulang-belulang leluhur.  

Pada zaman dahulu dalam kehidupan dan kebiasaan orang Batak, setiap ada suatu keluarga yang marulaon,[44] dongan sahuta[45] biasanya bekerja untuk menyiapkan tempat, perlengkapan, dan makanan. Namun, sekarang semua serba mudah dengan adanya katering maupun jasa pembuat tenda maupun perlengkapan lain yang dibutuhkan. 

Meskipun begitu, semangat gotong-royong masih tetap dihayati oleh orang Batak setiap kali ada pihak keluarga yang marulaon. Salah satu buktinya adalah ketika acara makan bersama, sekalipun pihak keluarga yang berpesta menggunakan jasa katering, namun pihak boru tetap ikut bergegas untuk melayani pihak hula-hula. Pihak parboru langsung menyusun formasi satu barisan ke arah tenda, tempat pihak para hula-hula berada atau duduk. Selanjutnya, piring yang sudah berisi berbagai makanan tinggal di geser dari parboru yang satu ke parboru lainnya sampai ke pihak hula-hula. 

Dalam upacara mangongkal holi ini, dapat juga ditemukan tradisi Batak yang disebut dengan nama dalihan na tolu.[46] Di mana yang paling dihormati dan berada pada posisi terdepan adalah pihak hula-hula, yang kemudian posisi selanjutnya adalah pihak dongan tubu[47] yang memiliki posisi sejajar dengan pihak hula-hula. Sementara posisi terakhir adalah pihak parboru yang biasanya bertugas untuk melayani dalam suatu kegiatan atau upacara adat. Posisi-posisi tersebut sangat erat kaitannya dengan penerapan adat-istiadat serta ritus-ritus adat dalam budaya orang Batak. 

Di mana hubungan pihak parboru dengan pihak hula-hula berlaku nilai dasar somba marhula-hula.[48] Sikap somba atau hormat yang ditetapkan terhadap pihak hula-hula didasarkan kepada pemikiran bahwa putri hula-hula adalah ibu yang melahirkan keturunan yang disebut hagabeon,[49] yang merupakan cita-cita utama dan paling didambakan oleh setiap orang Batak. 

Sementara sikap elek[50] terhadap pihak boru didasarkan pada suasana kasih sayang yang biasa diterima oleh seorang putri dari orang tuanya sebelum ia menikah dengan seorang pria dari marga yang lain.[51]  Sebaliknya, nilai dasar hubungan pihak hula-hula terhadap pihak parboru adalah elek marboru.[52] Sementara nilai dasar hubungan hula-hula dengan pihak dongan tubu[53] adalah manat mardongan tubu.[54]

Upacara Mangongkal Holi dalam Terang Iman Kristiani

Menurut (almarhum) Mgr. Anicetus Bongsu Sinaga, OFMCap kedatangan agama Katolik dengan cara hidup membiara (tidak kawin), membawa dampak yang besar (krisis) dalam keseluruhan pandangan hidup orang Batak. Di mana hidup membiara (tidak kawin) secara tidak langsung bertentangan dengan falsafah hidup orang Batak yang terdiri dari hasangapon (kemuliaan),[55] hagabeon (keturunan banyak),[56] dan hamoraon (kekayaan).[57] 

Padahal kenyataannya apabila orang Batak berhasil mewujudkan ketiga falsafah tersebuh ia akan disebut martua (bahagia), hidupnya tidak kekurangan apapun, sudah sirsir (lengkap), sehingga ketika ia meninggal ada kemungkinan tondi-nya (rohnya) menjadi sombaon (patut dihormati). Dengan kata lain, hasangapon (kemuliaan), hagabeon (keturunan banyak), dan hamoraon (kekayaan) adalah tujuan satu-satunya (paling utama) bagi setiap orang Batak. Di luar ketiga falsafah tersebut, orang Batak belum mengenal (belum memahami) konsep hidup surgawi atau hidup sesudah kematian.[58]

Pada masa lalu, ketika adat Batak masih jauh dari tindakan iman dan bernafaskan kekafiran, Nomensen (1875) mendirikan huta dame di daerah Tarutung (Sumatera Utara), yang menjadi perkampungan Kristen pertama di Tanah Batak. Di mana dalam hidup sehari-hari, hidup umat Kristen dipisahkan dari cara hidup orang-orang Batak pada umumnya, karena iman kekristenan melihat bahwa cara hidup keduanya memiliki perbedaaan satu sama lain.[59] 

Dengan berjalannya waktu, terutama ketika orang Batak telah menjadi Kristen,[60] upacara mangongkal holi bagi orang Batak dipahami sebagai penghormatan kepada orang tua (leluhur) seperti yang dilakukan oleh bangsa Israel (Perjanjian Lama). 

Namun, harus diakui bahwa dalam upacara mangongkal holi, pembangunan tugu dan penggalian tulang-belulang leluhur masih menimbulkan masalah dan perdebatan dalam hubungannya dengan iman kekristenan. Upacara adat ini kemudian dihubungkan Gereja dengan apa yang dilakukan oleh bangsa Israel ketika membawa tulang-belulang Yakub dan Yusuf dari Mesir menuju Tanah Kanaan. Dengan persetujuan bahwa upacara penggalian leluhur (mangongkal holi) harus dilaksanakan dalam terang iman Kristiani.[61]

Pengalaman bangsa Israel (Perjanjian Lama) yang menerima sepuluh perintah Tuhan (dekalog), terutama mengenai perintah keempat untuk menghormati ayah dan ibu (leluhur), menunjukkan bahwa Allah menuntut setiap orang (manusia) supaya menghormati dan mengasihi ayah dan ibu (leluhurnya) masing-masing, sehingga setiap orang dianugerahi umur yang panjang, diberkati, dan dikasihi oleh Tuhan Allah selama hidupnya di dunia. 

Penghormatan kepada orang tua (leluhur) juga merupakan sikap yang sangat penting dan mendasar dalam budaya orang Batak. Kenyataan ini terlihat dari upacara mangongkal holi yang masih dihayati dan diwariskan oleh orang Batak hingga saat ini. Bahkan, upacara adat ini dapat dikatakan sebagai upacara adat tertinggi dan terbesar dari seluruh upacara adat yang ada dalam budaya orang Batak.[62]

Upacara mangongkal holi dengan demikian apabila dilakukan dalam terang iman Kristiani adalah sebagai berikut:[63] apabila upacara yang dimulai dengan penggalian leluhur dari dalam kuburan, disertai dengan iringan gondang,[64] maka di tempat penggalian leluhur tersebut harus dimulai dengan nyanyian pembuka (rohani), dan ditutup dengan doa yang diajarkan dalam agama kekristenan. 

Dengan kata lain, penggalian dilakukan dalam suasana kekerabatan, bukan lagi kebiasaan adat sebelum kekristenan (kebudayaan Batak asli). Adapun tulang-beluluang leluhur tidak boleh diberikan makan sirih atau disulangi.[65] Ritual selanjutnya, tulang-belulang leluhur tidak diperkenankan dibawa oleh keturunannya ke salah satu kampung, dan dibuat menari selama acara pesta berlangsung.[66]

Pada ritual selanjutnya, diadakan penggalian terhadap leluhur, lalu dibersihkan dengan air sirih, air kunyit, dan diuras dengan air pangir (jeruk purut), kemudian dimasukkan ke dalam tugu. Adapun saring-saring (tulang-belulang) leluhur tidak perlu dipestakan lagi seperti biasanya, sebab acara pesta baru akan dilakukan ketika berada di daerah tugu. Acara pesta kemudian tidak dibuka oleh seorang Malim Raja Na Opat Bius,[67] melainkan dari salah satu utusan gereja, yang dibuka dengan nyanyian pembuka (rohani), dan ditutup dengan doa. 

Pengurus gereja diperbolehkan meminta iringan gondang, kemudian menari sebagai ungkapan adat yang tidak ada hubungannya dengan tradisi (kepercayaan) lama. Dengan kata lain, upacara adat yang dilakukan adalah upacara adat budaya, bukan sarana spiritual kepercayaan lama. Acara penutup upacara mangongkal holi juga harus dilakukan oleh salah satu (pihak) gereja, yang meminta iringan gondang hasahatan[68] digabung dengan sitio-tio,[69] yang kemudian ditutup dengan mengucapkan: horas, horas, horas.

Upacara mangongkal holi dalam budaya orang Batak sebagai wujud cinta dan penghormatan kepada orang tua dengan demikian memiliki relasi yang erat dengan perintah keempat (hormatilah ayah-ibumu) dalam Gereja Katolik.[70] Relasi upacara mangongkal holi dengan perintah keempat dalam Gereja Katolik merupakan gambaran akan inkulturasi iman dan budaya. 

Kenyataan ini sebenarnya telah disampaikan oleh (almarhum) Mgr. Anicetus Bongsu Sinaga, OFMCap dalam bukunya Tempat Para Religius dalam Adat Batak,[71] di mana beliau menuliskan dalam bukunya tersebut bahwa sangatlah penting ada suatu liturgi mangongkal holi dalam terang iman Gereja Katolik, yang kenyataannya sampai saat ini masih sangat terbatas dan sulit ditemukan. 

Namun, melalui penelitian yang sedang dibahas saat ini, penulis memiliki keyakinan bahwa tema upacara mangongkal holi dalam relasinya dengan perintah keempat dalam Gereja Katolik merupakan tema yang sangat baik dan terbuka untuk didalami selanjutnya oleh siapapun, pihak, dan penulis lainnya, terutama oleh orang Batak sendiri.

Di samping relasi iman dan budaya seperti di atas, upacara mangongkal holi juga merupakan gambaran dari apa yang diajarkan oleh Gereja Katolik mengenai relasi antara orang hidup dengan orang mati.[72] Dalam KGK No. 958, Gereja mengajarkan kepada seluruh umat beriman mengenai persekutuan dengan yang telah meninggal. Gereja dalam terang iman senantiasa merayakan kemenangan orang-orang yang telah meninggal dan mempersembahkan silih kurban-kurban bagi mereka.[73] Ajaran iman ini dengan jelas terlihat dari Peringatan Arwah Semua Orang Beriman yang dirayakan oleh Gereja Universal setiap 2 November. 

Gereja mengajarkan kepada seluruh umat beriman mengenai tradisi iman bahwa seluruh doa yang dipanjatkan kepada mereka yang telah meninggal, tidak hanya menolong mereka yang telah meninggal, tetapi juga sangat berguna bagi orang-orang yang masih hidup di dunia, sebab Gereja mengajarkan bahwa apabila orang yang telah meninggal didoakan, dan telah masuk ke rumah Bapa (sorga), maka doa-doa mereka juga sangat berguna bagi orang-orang yang masih hiudp (berziarah) di dunia ini. Dengan kata lain, orang hidup dan mati sekalipun tidak tinggal bersama lagi di dunia, namun relasi di antara keduanya harus senantiasa terjalin dalam terang iman.

Makna Upacara Mangongkal Holi

Upacara mangongkal holi [74] biasanya dilakukan oleh para keturunan yang telah berhasil[75] dari seorang leluhur yang telah meninggal dunia. Di mana mereka berusaha untuk membahagiakan, menghormati, dan memuliakan leluhur mereka yang telah meninggal dunia melalui upacara mangongkal holi. 

Melalui upacara adat tersebut dengan kata lain dapat diketahui bahwa keturunan dari seorang leluhur telah berhasil atau tidak? Itulah mengapa setiap orang Batak selalu berusaha untuk mencapai kesuksesan, supaya mampu mengadakan upacara mangongkal holi serta membuat tugu marga sebagai tanda bahwa keturunan seorang leluhur telah berhasil, sehingga mampu menghormati dan membahagiakan arwah dari leluhur mereka. 

Upacara mangongkal holi selain sebagai ungkapan dari para keturunan yang telah berhasil, memiliki makna juga sebagai sarana untuk mempererat hubungan antar keluarga maupun yang satu marga yang terlihat dalam dalihan na tolu, dan sering terungkap dalam suatu pesta keluarga. Makna lain dari upacara adat ini adalah usaha untuk membuat suatu "tugu marga", dimana orang-orang akan mengenal setiap keturunan dari leluhur yang telah meninggal, sehingga kelak jika ada keturunan dari leluhur yang meninggal akan dikuburkan juga disana beserta dengan keturunan yang lainnya.

Upacara mangongkal holi menurut orang Batak juga adalah suatu wujud dari kesadaran akan pentingnya memelihara, menghayati, dan mewariskan budaya lokal kepada seluruh keturunan mereka yang masih hidup di dunia ini. Dengan demikian setiap keturunan menyadari, mengetahui, memelihara dan mencintai budaya mereka sendiri. Dengan kata lain, mereka hidup, bergaul, dan menghargai budaya sendiri, dan juga budaya orang lain sebagai warisan yang berharga dan patut dilestarikan dalam kehidupan sehari-hari selama mereka masih hidup di dunia ini.

Pemahaman akan makna dari upacara mangongkal holi ini tidak lepas dari tujuan hidup setiap orang Batak. Di mana mereka memiliki tiga falsafah hidup, yakni hasangapon, hagabeon, dan hamoraon. Pencapaian tiga falsafah hidup tersebut dipandang oleh setiap orang Batak sebagai kesempurnaan dan tujuan hidup selama berziarah di dunia ini. Itulah mengapa ketiga unsur dari tujuan hidup tersebut bagi pemahaman setiap orang Batak saling terikat, mendukung, dan sama pentingnya. 

Akan tetapi, kedua unsur yang disebut pertama merupakan faktor penentu untuk mencapai kehormatan dan kemuliaan. Hal ini dikarenakan orang Batak menyadari bahwa kekayaan dan kemuliaan merupakan tujuan hidup tertinggi yang ingin dicapai pada saat mereka hidup dan juga sesudah mati.[76]

Di sisi lain, dalam upacara mangongkal holi terlihat juga berlangsung upacara seperti liturgis, yakni partangiangan (Kebaktian Syukur)[77] yang sebenarnya. Di mana proses kegiatan upacara liturgis ini sebagian dipimpin oleh seorang penatua atau pejabat gerejawi. Semua orang yang berada di dalamnya bernyanyi, berdoa, dan memohon berkat Tuhan bersama atas orang-orang yang masih hidup dan orang-orang yang telah meninggal. Melalui arwah leluhur, orang-orang yang masih hidup kemudian memohon berkat sebagai balas jasa atas tempat terhormat yang telah disediakan oleh keturunan bagi arwah leluhur.[78

Penghormatan Kepada Orang Tua (Leluhur) dan Perintah Keempat Gereja

Pada saat pertama kali mengikuti upacara mangongkal holi, saya masih duduk di Sekolah Dasar, sehingga saya sungguh belum mengerti sedikit pun mengenai makna kegiatan apa yang sedang saya ikuti pada waktu itu. Namun, saya masih mengingat dengan baik bahwa pada saat itu upacara mangongkal holi tersebut dilakukan di daerah Kabupaten Muara, Tapanuli Utara. 

Upacara tersebut berjalan dengan baik, dan diikuti oleh banyak orang Batak, terutama keluarga besar dari leluhur yang sedang dipestakan. Pada awalnya semua tindakan dan ekspresi orang banyak yang hadir pada saat itu hanya biasa-biasa saja, sebelum kami tiba di suatu tambak. Beberapa orang yang sudah ditugaskan untuk membongkar tambak, kemudian membongkar bangunan kuburan dari leluhur keluarga yang mengadakan upacara.

Peti mati kemudian dikeluarkan, dibuka, dan diletakkan dihadapan para keturunan leluhur. Peti mati yang telah dibuka dan berada dihadapan seluruh keturunan leluhur yang telah meninggal, tiba-tiba membuat suasana menjadi hening, setelah itu mulailah isak dan teriakan tangis yang cukup keras dari para keturunan leluhur pada saat itu. 

Mereka menangis sembari mengungkapkan kerinduan, pujian dengan menyanyi, mengungkapkan kisah-kisah leluhur semasa hidupnya dan suatu penghormatan yang mendalam dengan memeluk tulang-belulang leluhur. Tulang-belulang leluhur, kemudian dibersihkan dan disusun dengan sangat rapi dalam suatu peti berukuran kecil, sebelum akhirnya diangkat ke atas tugu bagian tertinggi.

Perwakilan dari salah satu keturunan leluhur kemudian mengucapakan banyak terima kasih kepada leluhur akan segala sesuatu yang sudah ia perbuat selama hidupnya, dan berharap supaya leluhur terus melindungi dan mendoakan semua keturunannya yang masih hidup di dunia. 

Sementara itu, dari setiap keturunan leluhur diharapkan untuk senantiasa memelihara dan mewariskan budaya upacara mangongkal holi secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya, sehingga mereka pun kelak akan diperlakukan dengan tradisi yang sama oleh para keturunan mereka sendiri.

Apa yang telah saya alami dalam upacara mangongkal holi, kemudian menyadarkan saya bahwa keindahan hidup itu memang bukan semata-mata pada saat seseorang memiliki harta dan nama baik ketika masih hidup di dunia ini, tetapi dapat juga dirasakan dalam diri seseorang yang telah meninggal ketika ia diingat, dihormati, dan dimuliakan oleh para keturunannya. Apalagi cita-cita dasar pola fundamental kebudayaan dan kerinduan terdalam dari manusia Indonesia adalah keselarasan, keseimbangan, kecocokan, kesesuaian, kerukunan, harmoni, dan damai.

Inilah nilai-nilai yang dicita-citakan dan ingin diwujudkan dalam sikap budi pekerti, perasaan, tata krama sosial, alam raya dan dunia religius [79]. Dengan kata lain, keindahan hidup menurut saya bukanlah semata-mata terletak pada pujian, apa yang kelihatan indah, dan tertata dengan baik dalam pandangan mata, melainkan juga terletak pada apa yang menjadi ungkapan batin seseorang maupun golongan untuk mengenang, menghormati, dan memuliakan arwah orang tua (leluhurnya) sendiri. 

Seorang leluhur yang sudah tidak lagi hidup dan berada dengan para keturunannya di dunia tetap dihadirkan dalam ingatan, hati, dan batin para keturunannya melalui kebudayaan, yang sering diwujudkan melalui tradisi/upacara adat yang dimiliki dalam hidup sehari-hari. Oleh sebab itu, dapat dilihat dan dipahami mengapa proses kehadiran seorang manusia adalah keindahan itu sendiri, sebab tidak ada yang lebih indah daripada realitas manusiawi.

Keindahan hidup itu tidak dijumpai dalam ideologi atau keyakinan apa pun, sebab kenyataannya Tuhan tidak menciptakan ideologi, melainkan seorang manusia. Itulah mengapa perlu disadari bahwa segala sesuatu yang dimaksudkan sebagai kebenaran politis atau keyakinan religius mengabdi kepada kehadiran seorang manusia. Dengan demikian, cinta adalah ekspresi tertinggi dan puncak dari keindahan hidup manusia itu.[80] Keindahan hidup itu dengan demikian adalah bahwa hidup itu menghasilkan buah, lama sesudah hidup itu sendiri berakhir.[81]

Penutup

Keindahan dan makna hidup tentunya hadir dalam seluruh aspek kehidupan, istimewanya dalam adat-istiadat setiap kelompok manusia. Kenyataan ini menunjukkan bahwa keindahan hidup itu lahir dari cinta akan Tuhan, sesama, dan alam semesta. Cinta harus diwujudkan secara menyeluruh dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari. 

Warisan kebudayaan lokal adalah salah satu sarana yang hendaknya disadari, dipelihara, dan diwariskan secara terus-menerus oleh masyarakat setempat, sebab jikalau bukan mereka yang menghayatinya, siapa lagi yang akan bertanggung jawab atas kekayaan dan makna dari suatu kebudayaan yang mereka miliki, serta meneruskannya kepada generasi selanjutnya?? Apa yang akan diterima dan diketahui oleh keturunan selanjutnya mengenai budaya mereka, apabila sejak dini mereka tidak diajak akrab, mengenal, dan mencintai budaya mereka masing-masing??

Saya kemudian menemukan bahwa upacara mangongkal holi merupakan penghormatan tertinggi orang Batak kepada orang tua (leluhurnya), sebab setelah upacara mangongkal holi maupun tradisi Batak tidak lagi memiliki upacara adat lain untuk menghormati leluhur mereka yang telah meninggal, sekalipun orang Batak biasanya melakukan ziarah kepada leluhur mereka dalam hari, bulan, maupun tahun-tahun tertentu. Namun, penghormatan tersebut tidak lebih besar maupun lebih meriah daripada upacara mangongkal holi.

Dalam terang iman Kristiani, upacara mangongkal holi adalah perwujudan perintah keempat, yakni penghormatan terhadap orang tua (leluhur) dan penghayatan ajaran iman mengenai relasi antara orang hidup dengan orang mati (persekutuan dengan yang telah meninggal), yang dirayakan oleh Gereja universal setiap 2 November sebagai Peringatan Arwah Semua Orang Beriman. Ajaran iman Kristiani menunjukkan bahwa sekalipun orang hidup dan mati sudah berada di tempat yang berbeda, namun relasi di antara keduanya harus senantiasa terjalin dalam terang iman (doa).

DOKUMEN GEREJA

Gereja, Konferensi Wali. 1996. Iman Katolik. Kanisius.

---------. 2014. Katekismus Gereja Katolik. Diedit oleh P. Herman Enbuiru. III. Ende: Nusa Indah.

Hardawiryana, R., ed. 1993a. "Gaudium et Spes." In Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta5: OBOR.

---------. , ed. 1993b. "Lumen Gentium." In Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta: OBOR.

 

BUKU-BUKU

Bakker, J.W.M. 1984. Filsafat Kebudayaan. Kanisius dan BPK Gunung Mulia.

Hesselgrave, David J. dan Rommen, Edward. 1994. Kontekstualisasi Makna, Metode, dan Model. BPK Gunung Mulia.

Maslow, Abraham H. 2000. Agama, Nilai, dan Pengalaman Puncak. LPBAJ.

Nainggolan, Herman Togar. 2010. "Fenomena Imam Batak Toba: Tinjauan Antropologis tentang Keberadaan dan Fungsi Mereka." In Spiritualitas Dialog: Narasi Teologis tentang Kearifan Religius, diedit oleh A. eddy Kristiyanto. Yogyakarta: Kanisius.

Nouwen, Henri J. M. 2012. Our Greatest Gift. OBOR.

Rajamarpodang, Gultom. 1992. Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak. Medan: CV. Armanda.

Riyanto, Armada. 2013. Menjadi Mencintai. Yogyakarta: Kanisius.

Schreiner, Lothar. 2000. Adat dan Injil; Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Siahaan, Bisuk. 2011. BATAK Satu Abad Perjalanan Anak Bangsa. PT. Glory Offset Press,.

Simanjuntak, Bungaran Antonius. 2009. Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba. OBOR.

Sinaga, Anicetus B. n.d. Tempat Para Religius dalam Adat Batak.

---------. 2004. Dendang Bakti; Inkulturasi Teologi dalam Budaya Batak. Bina Media Perintis.

Situmeang, Doangsa P.L. 2007. Dalihan Natolu Sistem Sosial Kemasyarakatan Batak Toba. KERABAT.

Situmorang, Sitor. 2009. Toba Na Sae. Depok: Komunitas Bambu.

 Vergouwen, J.C. 1986. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. Jakarta: Pustaka Azet.  

 

ARTIKEL JURNAL

Hutagaol, Firman Oktavianus dan Prayitno, Iky Sumarthina P. 2020. "Perkembangan Ritual Adat Mangongkal Holi Batak Toba dalam Kekristenan di Tanah Batak." Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya. https://doi.org/10.24114/antro.v6i1.16822.

Putri, Fransiska Dessy. 2015. "Makna Simbolik Upacara Mangongkal Holi Bagi Masyarakat Batak Toba Di Desa Simanindo Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir Provinsi Sumatera Utara." Jom FISIP Volume 2 N.

Silalahi, Charles David M dan Sibarani, Robert, dan Setia, Eddy. 2019. "Local Wisdom Found in Mangongkal Holi Tradition." Jurnal Knowledge E Volume 201.

Silalahi, Charles David Marudut dan Sibarani, Robert. 2015. "Mangongkal Holi As The highest Level of Tradition In Batak Toba Society." Majalah Ilmiah Methoda, 2015.

Simanjuntak, Osti Elisabeth dan Sinaga, Lidiman Sahat dan Bahri, Syamsul. 2020. "The Communicative Functions of Ulaon Poguni Alaman In Exhumation (Mangongkalholi) A Funeral Ceremony In Toba Batak." Jurnal Linguistica Vol. 09, N.

Tobing, Suzen HR. 2020. "Mangongkal Holi dan Relasi kuasa Apparatus Adat dan Agama." Jurnal Seni Nasional CIKINI Volume 6.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun