Mohon tunggu...
Juli Antonius Sihotang
Juli Antonius Sihotang Mohon Tunggu... Lainnya - Perantau-Peziarah Hidup

Spiritualitas, Iman Katolik, Kaum Muda Katolik Artikel saya yang lain dapat dilihat di: https://scholar.google.co.id/citations?user=_HhzkJ8AAAAJ&hl=en

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Upacara Mangongkal Holi dan Perintah Keempat Dalam Gereja Katolik

6 Juni 2023   18:49 Diperbarui: 6 Juni 2023   19:19 892
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: youtube.com/ancas wisata

Menurut (almarhum) Mgr. Anicetus Bongsu Sinaga, OFMCap kedatangan agama Katolik dengan cara hidup membiara (tidak kawin), membawa dampak yang besar (krisis) dalam keseluruhan pandangan hidup orang Batak. Di mana hidup membiara (tidak kawin) secara tidak langsung bertentangan dengan falsafah hidup orang Batak yang terdiri dari hasangapon (kemuliaan),[55] hagabeon (keturunan banyak),[56] dan hamoraon (kekayaan).[57] 

Padahal kenyataannya apabila orang Batak berhasil mewujudkan ketiga falsafah tersebuh ia akan disebut martua (bahagia), hidupnya tidak kekurangan apapun, sudah sirsir (lengkap), sehingga ketika ia meninggal ada kemungkinan tondi-nya (rohnya) menjadi sombaon (patut dihormati). Dengan kata lain, hasangapon (kemuliaan), hagabeon (keturunan banyak), dan hamoraon (kekayaan) adalah tujuan satu-satunya (paling utama) bagi setiap orang Batak. Di luar ketiga falsafah tersebut, orang Batak belum mengenal (belum memahami) konsep hidup surgawi atau hidup sesudah kematian.[58]

Pada masa lalu, ketika adat Batak masih jauh dari tindakan iman dan bernafaskan kekafiran, Nomensen (1875) mendirikan huta dame di daerah Tarutung (Sumatera Utara), yang menjadi perkampungan Kristen pertama di Tanah Batak. Di mana dalam hidup sehari-hari, hidup umat Kristen dipisahkan dari cara hidup orang-orang Batak pada umumnya, karena iman kekristenan melihat bahwa cara hidup keduanya memiliki perbedaaan satu sama lain.[59] 

Dengan berjalannya waktu, terutama ketika orang Batak telah menjadi Kristen,[60] upacara mangongkal holi bagi orang Batak dipahami sebagai penghormatan kepada orang tua (leluhur) seperti yang dilakukan oleh bangsa Israel (Perjanjian Lama). 

Namun, harus diakui bahwa dalam upacara mangongkal holi, pembangunan tugu dan penggalian tulang-belulang leluhur masih menimbulkan masalah dan perdebatan dalam hubungannya dengan iman kekristenan. Upacara adat ini kemudian dihubungkan Gereja dengan apa yang dilakukan oleh bangsa Israel ketika membawa tulang-belulang Yakub dan Yusuf dari Mesir menuju Tanah Kanaan. Dengan persetujuan bahwa upacara penggalian leluhur (mangongkal holi) harus dilaksanakan dalam terang iman Kristiani.[61]

Pengalaman bangsa Israel (Perjanjian Lama) yang menerima sepuluh perintah Tuhan (dekalog), terutama mengenai perintah keempat untuk menghormati ayah dan ibu (leluhur), menunjukkan bahwa Allah menuntut setiap orang (manusia) supaya menghormati dan mengasihi ayah dan ibu (leluhurnya) masing-masing, sehingga setiap orang dianugerahi umur yang panjang, diberkati, dan dikasihi oleh Tuhan Allah selama hidupnya di dunia. 

Penghormatan kepada orang tua (leluhur) juga merupakan sikap yang sangat penting dan mendasar dalam budaya orang Batak. Kenyataan ini terlihat dari upacara mangongkal holi yang masih dihayati dan diwariskan oleh orang Batak hingga saat ini. Bahkan, upacara adat ini dapat dikatakan sebagai upacara adat tertinggi dan terbesar dari seluruh upacara adat yang ada dalam budaya orang Batak.[62]

Upacara mangongkal holi dengan demikian apabila dilakukan dalam terang iman Kristiani adalah sebagai berikut:[63] apabila upacara yang dimulai dengan penggalian leluhur dari dalam kuburan, disertai dengan iringan gondang,[64] maka di tempat penggalian leluhur tersebut harus dimulai dengan nyanyian pembuka (rohani), dan ditutup dengan doa yang diajarkan dalam agama kekristenan. 

Dengan kata lain, penggalian dilakukan dalam suasana kekerabatan, bukan lagi kebiasaan adat sebelum kekristenan (kebudayaan Batak asli). Adapun tulang-beluluang leluhur tidak boleh diberikan makan sirih atau disulangi.[65] Ritual selanjutnya, tulang-belulang leluhur tidak diperkenankan dibawa oleh keturunannya ke salah satu kampung, dan dibuat menari selama acara pesta berlangsung.[66]

Pada ritual selanjutnya, diadakan penggalian terhadap leluhur, lalu dibersihkan dengan air sirih, air kunyit, dan diuras dengan air pangir (jeruk purut), kemudian dimasukkan ke dalam tugu. Adapun saring-saring (tulang-belulang) leluhur tidak perlu dipestakan lagi seperti biasanya, sebab acara pesta baru akan dilakukan ketika berada di daerah tugu. Acara pesta kemudian tidak dibuka oleh seorang Malim Raja Na Opat Bius,[67] melainkan dari salah satu utusan gereja, yang dibuka dengan nyanyian pembuka (rohani), dan ditutup dengan doa. 

Pengurus gereja diperbolehkan meminta iringan gondang, kemudian menari sebagai ungkapan adat yang tidak ada hubungannya dengan tradisi (kepercayaan) lama. Dengan kata lain, upacara adat yang dilakukan adalah upacara adat budaya, bukan sarana spiritual kepercayaan lama. Acara penutup upacara mangongkal holi juga harus dilakukan oleh salah satu (pihak) gereja, yang meminta iringan gondang hasahatan[68] digabung dengan sitio-tio,[69] yang kemudian ditutup dengan mengucapkan: horas, horas, horas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun