Merupakan bentuk perkawinan sementara waktu. Mut'ah wajib diberikan bekas suami dengan syarat perceraian atas kehendak suami atau belum ada ketetapan mahar bagi istri ba'da al dukhul, dan besaran Mut'ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami. Terkait nikah mut'ah ini, tidak dikonkretisasi dalam KHI itu sendiri, walaupun produk tersebut menyentuh definisinya dalam halaman 47.
Demikianlah sedikit tentang Perkawinan dalam Hukum Islam. Penulis menyadari banyaknya kekurangan terhadap paparan, terutama dalam berbagai teori dan penggunaan sumber yang lebih tinggi dari KHI, misal pengutipan ayat Al-quran, hadist, fiqh, dan sebagainya.
Hal ini karena penulis percaya KHI paling tepat digunakan untuk mengimpelementasikan Hukum Islam di Indonesia. Bilapun KHI memiliki kekurangan, itu wajar. Namun pada muaranya, sebanyak apapun teori, dalil, fiqh, fatwa, perbedatan pandangan, semua itu kembali pada KHI yang menjadi payung keberlakuan Hukum Islam di Indonesia dalam spektrum yudikatif. Dan mungkin, adalah tanggung jawab para cendekiawan Islam saat ini, untuk menelisik kembali KHI tersebut. Akhir kata, semoga berkenan dan tetap semangat.
Tulisan ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.
Peraturan Perundangan :
Kompilasi Hukum Islam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H