"masak apa, mom?"
"ini, kesukaan kita." Jawab wanita itu santai, sedikit mengerling ke mahluk kecil yang tampak ingin mengintip isi penggorengan. "papa kapan pulang?" tanya anak itu, polos. Beberapa detik fokus ibu muda itu tersirap ke arah penggorengan. setelah diam sesaat, dia tersenyum kepada anaknya sambil berkata, "hari ini papamu ga pulang, nak.. Dia di rumah mama kamu yang lain. Kasian mama kamu di rumahnya sendirian. Kalo mamah kan, ada adek disini."
Paragraf diatas adalah cuplik sederhana kehidupan anak dengan ayah yang berpoligami. Benar-salah, baik-buruk, tepat-tidak tepat, atau bebas nilai, penulis serahkan pada pembaca yang menilai perbuatan si ayah. Yang jelas, poligami sendiri memiliki dasar hukum di Indonesia, yang diatur dalam KHI tentang perkawinan.
DEFINISI
Munakahat secara sederhana adalah perkawinan. Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam), ketentuan tentang Munakahat diatur dalam Buku I Hukum Perkawinan. Pasal 2 KHI berbunyi : "Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah."
Mitssaqan ghalidzan atau akad yang sangat kuat dapat ditemukan dalam an-nisa 21 yang juga dapat dilihat dalam Al-quran versi Kemenag. Pada intinya, membicarakan tentang suatu ikatan yang sangat kuat dan bukan suatu hubungan keperdataan, dimana tujuannya adalah untuk menaati perintah Allah, sekaligus bentuk ibadah.
SYARAT MENIKAH
Ada Calon mempelai
Dalam hal ini, dipertegas bahwa calon mempelai adalah seorang pria dan seorang wanita. Untuk usia, calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri berumur 16 tahun. Keduanya harus Agama Islam dan setuju untuk kawin.
Ada Wali.
Wali disini harus memenuhi syarat setidaknya seorang laki-laki, muslim, aqil (memahami), dan baliq (dewasa dan mencapai usia yang disyaratkan).
Ada Saksi.
Merupakan yang menyaksikan perkawinan itu. Perkawinan minimal disaksikan dua orang. Wali dalam KHI adalah seorang lelaki muslim yang sudah akil baligh.
Ada Ijab dan Kabul (sighat)
Merujuk pada pengucapan Akad Nikah. Akad Nikah ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi. Pengucapan akad nikah dilakukan secara jelas, beruntun dan tidak berjeda, dilaksanakan sendiri oleh wali nikah.
Ijab adalah bagian yang diucapkan oleh pihak perempuan, yang berbentuk penyerahan Perempuan terhadap pihak laki-laki. Penerimaan penyerahan tersebut disebut kabul. Kabul diucapkan calon mempelai pria, kabul dapat diwakilkan dalam keadaan tertentu, dan bila kabul ditolak maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan. Dalam pengucapan Akad Nikah sendiri, biasanya terdengar kata 'maskawin' atau yang dikenal sebagai Mahar.
MAHAR
Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada wanita, yang berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum islam. Pada dasarnya merupakan suatu bentuk apresiasi kepada calon wanita dalam bentuk benda. Mahar ini umumnya bersifat wajib, dan harus disebutkan dalam akad nikah.
Pasal 34 Buku I tentang Perkawinan KHI, cukup terang dikatakan bahwa Mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan. Artinya, bukan suatu komponen utama pembentuk perkawinan itu sendiri, sehingga walau secara lalai karena nilai Mahar itu tidak disebutkan, tidak berarti perkawinan itu batal. Proses perkawinan tersebut hanya batal bila ada penolakan ketika sighat, atau ketika mengalami cacat prosesi (misal, tidak ada wali sama sekali, dan sebagainya), diluar dari itu perkawinan dapat diteruskan dan disahkan.
LARANGAN
Terdapat beberapa larangan untuk menikah, yang pada intinya disebabkan oleh hubungan pertalian (masih saudara kandung), hubungan semenda(masih saudara semenda), hubungan persusuan(masih disusui oleh orang yang sama).
Larangan menikah lain berlaku pada wanita yang bukan Islam, masih menikah dengan orang lain, atau janda dalam masa iddah (yang baru ditinggalkan suami kurang dari 130 hari, baik karena bercerai atau karena kematian). Bagi pria larangan menikah adalah ketika sedang memiliki 4 istri, dengan wanita yang telah ditalak tiga kali, atau yang telah mengalami li'an (dituduh berzina oleh suaminya).
TAKLIK-TALAK dan LIAN
Taklik-talak merupakan perjanjian yang dilakukan setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa Janji Talak yang digantungkan pada keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.
Talak sendiri merupakan ikrar suami di hadapan sidang pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. KHI menuangkan beberapa bentuk talak meliputi:
Talak Raj'I
intinya ketentuan rujuk suami selama istri dalam masa iddah. Artinya, istri tersebut baru ditinggal suami karena bercerai, kemudian suami yang menceraikannya boleh meminta rujuk kepada istrinya diceraikan, dengan tata cara yang diatur KHI.
Talak Ba'in Shughraa
Merupakan talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru, selama dengan orang yang sama meskipun dilakukan saat masa iddah. Dengan syarat talak yang terjadi qabla al dukhul, khuluk (cerai atas permintaan istri dengan tebusan), atau talak dijatuhkan pengadilan.
Talak Ba'in Kubraa
Merupakan talak yang terjadi ketiga kali. Talak Ba'in Kubraa tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan lagi, kecuali dengan cara istri menikah dengan orang lain lebih dahulu, kemudian cerai atas dasar ba'da al dukhul dan habis masa iddah.
Sedikit tambahan, qabla al dukhul adalah bentuk pernikahan dimana suami dan istri belum pernah saling bersetubuh, dan ba'da al dukhul adalah suami-istri yang sudah saling bersetubuh atau sudah memiliki anak hasil persetubuhan.
Talak Sunni
Merupakan bentuk talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut. Maksudnya istri yang sedang suci adalah yang sedang dalam masa diantara dua haid. Masa ini diyakini terjadi selama 15 hari.
Talak bid'iy
Merupakan bentuk talak yang dilarang, yang dijatuhkan pada waktu istri sedang haid, sedang suci tetapi dicampuri pada masa itu.
Pada intinya, ketentuan Talak mengatur tentang kapan atau keadaan apa yang memperbolehkan perceraian dilakukan, baik dalam konteks kemungkinan rujukan, atau dalam konteks keadaan sang istri untuk diperlakukan demikian. Ketentuan Talak ini terikat dengan putusnya perkawinan.
Adapun putusnya perkawinan juga dapat disebabkan karena li'an. Li'an terjadi karena suami menuduh istri berbuat zinah atau mengingkari anak dalam kandungan, atau mengingkari anaknya, dimana istri menolak hal tersebut, serta menyebabkan putus perkawinan untuk selama-lamanya.
PUTUS KAWIN.
Putus Kawin memiliki dampak yang juga diatur secara konkret. Bila putus dikarenakan Talak, maka setidaknya suami wajib memberi mut'ah, memberi nafkah, melunasi mahar, atau memberikan biaya hadhanan(pemeliharaan anak), dengan pengesampingan tertentu yang disesuaikan konteks talaknya. Bila putus karena perceraian, maka secara garis besar pembagian Peranan para pihak ditentukan oleh Pengadilan Agama.
Dalam hal terjadi Putus Kawin, anak berhak mendapatkan Hadhanah (pemeliharaan anak). Secara sederhana, Hadhanah dilakukan oleh ibu bila anak dianggap belum dewasa. Bila sudah dewasa, anak dapat memilih kepada siapa Hadhanah itu diminta, dengan syarat harus ada perselisihan untuk merawat dirinya. Dalam hal ini, Pengadilan Agama juga memainkan peran penting.
Dalam hal Putus Kawin, juga ada beberapa klasifikasi selain daripada Talak dan Li'an, yaitu Khuluk, Fasakh, Zhihar, Ila'. Secara sederhana, Khuluk bicara tentang putus kawin karena permintaan istri dengan memberikan tebusan. Fasakh adalah Putus Kawin karena putusan pengadilan.
Zhihar adalah Putus Kawin karena tidak ada keinginan jasmani dalam ikatan tersebut, ditandai dengan suami yang menganggap istrinya seperti ibunya. Dalam beberapa pendapat, hal ini merupakan Putus Kawin yang haram karena dianggap mempermainkan ikatan perkawinan itu sendiri.
Kemudian ila'. Ila' merupakan sumpah suami untuk tidak menggauli istri. Mengapa masuk ke dalam unsur Putus Kawin? karena dengan demikian tidak ada konektivitas jasmani kedua insan tersebut yang lahir karena sesuatu. Ila biasa dilakukan sebelum suami memutuskan melakukan talak atau meneruskan pernikahan. Putus kawin Ila' ini harus datang dari pihak pria dan tidak berlaku dari pihak wanita.
JENIS-JENIS PERKAWINAN
Dalam KHI, ada beberapa jenis perkawinan yang dapat dilakukan. Hal tersebut meliputi :
Monogami.
Monogami adalah hal yang universal berlaku dalam urusan perkawinan. Hal yang sama juga berlaku dalam perkawinan Islam. Dalam Penjelasan pasal 3 ayat 1 KHI juga menerangkan bahwa KHI merupakan undang-undang yang menganut asas monogami, kecuali atas hal yang diperbolehkan oleh hukum dan agama orang tersebut, seorang dapat beristri lebih dari seorang.
Poligami.
Dalam bahasa hukum, poligami dikenal dengan terma Beristri Lebih Satu Orang. Merupakan jenis pernikahan yang diperbolehkan. Kebolehan poligami dilakukan dengan syarat yang meliputi:
- Mendapat izin dari pengadilan.
- Memiliki harta kekayaan yang banyak.
- Memperlakukan semua istrinya dan anaknya dengan adil.
- Maksimal empat orang istri.
- Mendapat persetujuan dari istri pertama.
- Terdapat kendala dalam hubungan perkawinan, misal istri cacat badan, tidak melahirkan keturunan, dan sebagainya.
Nikah Sirri
Merupakan bentuk pernikahan diam-diam. Diam-diam disini maksudnya pernikahan tersebut bersifat rahasia dan tertutup, dimana pihak pemerintah tidak mengetahuinya. Secara legalitas, bentuk pernikahan ini dianggap bermasalah karena memiliki akibat berkepanjangan, terutama bila pasangan memiliki anak, karena secara administratif anak terhitung sebagai warga negara.
Kawin Hamil
Merupakan bentuk kawin yang terjadi karena persetubuhan di luar nikah, menyebabkan wanita tersebut hamil. Dalam konteks ini, wanita tersebut dapat dikawinkan dengan pria yang menghamili. Biasa dilakukan untuk mengatasi zina, sekaligus bentuk pertanggungjawaban si pria.
Nikah Mut'ah
Merupakan bentuk perkawinan sementara waktu. Mut'ah wajib diberikan bekas suami dengan syarat perceraian atas kehendak suami atau belum ada ketetapan mahar bagi istri ba'da al dukhul, dan besaran Mut'ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami. Terkait nikah mut'ah ini, tidak dikonkretisasi dalam KHI itu sendiri, walaupun produk tersebut menyentuh definisinya dalam halaman 47.
Demikianlah sedikit tentang Perkawinan dalam Hukum Islam. Penulis menyadari banyaknya kekurangan terhadap paparan, terutama dalam berbagai teori dan penggunaan sumber yang lebih tinggi dari KHI, misal pengutipan ayat Al-quran, hadist, fiqh, dan sebagainya.
Hal ini karena penulis percaya KHI paling tepat digunakan untuk mengimpelementasikan Hukum Islam di Indonesia. Bilapun KHI memiliki kekurangan, itu wajar. Namun pada muaranya, sebanyak apapun teori, dalil, fiqh, fatwa, perbedatan pandangan, semua itu kembali pada KHI yang menjadi payung keberlakuan Hukum Islam di Indonesia dalam spektrum yudikatif. Dan mungkin, adalah tanggung jawab para cendekiawan Islam saat ini, untuk menelisik kembali KHI tersebut. Akhir kata, semoga berkenan dan tetap semangat.
Tulisan ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.
Peraturan Perundangan :
Kompilasi Hukum Islam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H