Setelah permintaan maaf itu aku pulang, mengingat matahari sudah menyapa langit hingga warna biru mulai terlihat. Kusesali atas ucapanku tadi.
***
Pagi berikutnya, aku ke pantai lebih siang. Aku sengaja berangkat saat langit sudah cerah. Apalagi hari ini aku menikmati cuti kerja. Lagipula, aku tak mau memancing kemarahan Ibu. Kemarin beliau murka padaku karena nasihatnya tak kuhiraukan.
Sesampai di pantai, aku tak lagi memerhatikan pasir, adakah jejak sepatu atau tidak. Tak penasaran lagi dengan jejak kaki yang beberapa minggu mengusik hati.
Melihat dan menikmati pantai saat sudah terang seperti kali ini, tak kalah menyenangkan dan menenangkan. Kokohnya karang yang disapu riak atau hantaman ombak jelas di mataku. Aku bisa mengabadikan sekitar pantai sepuasnya. Kurasa sesekali aku memang harus ke pantai kalau sudah terang.Â
"Assalamu'alaikum, Kirana."
Suara Bima terdengar di telingaku. Kujawab salamnya. Bersamaan itu, dia berdiri di sampingku.
"Maafkan aku, Kirana."
Aku tak menanggapi ucapan Bima. Hatiku merasa tak enak karena mengeluarkan kata-kata yang tak pantas pada mendiang tunangannya.
"Aku merasa bersalah padamu. Makanya aku sengaja menunggumu," ucapnya.
Aku tersenyum tanpa melihat ke arahnya.