Aku berpikir kalau dia pasti berangkat lebih awal daripada aku. Jadi, untuk menemukan pemilik jejak sepatu itu, aku mengakalinya dengan berangkat ke pantai lebih pagi. Sampai-sampai Ibu mengerutkan dahinya, saat aku bergegas ke pantai, ketika toa masjid mulai menyuarakan Kalam Ilahi, tanda kalau setengah sampai satu jam lagi akan memasuki waktu Subuh.
"Berangkatnya setelah salat Subuh saja, Rana!" kata Ibu, yang kemudian menceramahiku untuk menjaga salat.
"Iya, Bu. Aku salat di mushala dekat pantai saja," jawabku, sambil menyalami Ibu.
"Tapi..."
Aku tahu, Ibu akan mengingatkan aku lagi kalau salat berjamaah itu memiliki keutamaan dua puluh tujuh derajat dibandingkan salat sendirian.
***
Angin laut menerpa tubuhku. Dengan sedikit penerangan di sekitarnya, aku menyapukan pandangan ke berbagai sudut. Kupicingkan mata, berharap bisa menangkap bayangan manusia yang kuharap dialah pemilik jejak sepatu misterius itu.Â
Kuberjalan pelan, tak fokus menikmati suasana pantai, kali ini. Kepala sedikit kutundukkan untuk menemukan jejak-jejak sepatu. Karena masih terlalu gelap, aku agak kesulitan menemukannya.
Tanpa kusadari gawaiku yang tadinya kupegang dan mau kumasukkan ke saku celana, malah jatuh.Â
"Ya Allah, kenapa aku ceroboh begini?" omelku.
Kuambil gawai segera. Daripada nanti terkena air laut di pantai ini. Saat mengambil gawai itulah, mataku menangkap jejak-jejak sepatu. Jejak sepatu yang bentuknya seperti kemarin-kemarin.