Angin laut membelai wajahku. Jilbab dan pakaianku menari tertiup oleh angin di pagi, selepas Subuh. Aku sendiri sering mencuri waktu ke pantai ini, saat tak ada seorang pun berkunjung.Â
Seperti biasa, dengan bertelanjang kaki, aku menyusuri pasir putih di bibir pantai. Kurasa berjalan kaki tanpa alas akan membuatku lebih rileks. Ya, kedamaian terasa di pagi hari. Dan itulah yang aku cari.Â
Air laut mencium bibir pantai dengan pelan. Ujung celana panjang sudah jelas basah, sekalipun sudah kusingsingkan sedikit.Â
Kuhirup udara pagi. Kurentangkan kedua tangan. Udara yang benar-benar menyehatkan. Wajar jika anak-anak yang menderita flek paru-paru, diterapi dengan udara pantai yang bersih.Â
Sejenak mataku menangkap hal yang beberapa hari mengusik tanya dalam hati. Kudekati jejak-jejak sepatu di sana.
"Apa memang ada orang lain yang juga berada di sini, sepagi ini?" gumamku.
Jejak sepatu di pasir putih itu sama dengan yang kulihat di hari-hari sebelumnya. Kuikuti jejak-jejak itu, hingga jejak tak lagi kulihat. Lagi-lagi, seperti kemarin-kemarin, aku tak menemukan seseorang pun di sekitar pantai.
"Siapa sebenarnya pemilik jejak sepatu ini?"
***
Beberapa hari berikutnya, aku yang sangat penasaran dengan pengunjung pantai ---yang hanya meninggalkan jejak sepatu, tanpa pernah kutemui--- memutuskan untuk ke pantai lebih awal daripada kemarin.
Aku berpikir kalau dia pasti berangkat lebih awal daripada aku. Jadi, untuk menemukan pemilik jejak sepatu itu, aku mengakalinya dengan berangkat ke pantai lebih pagi. Sampai-sampai Ibu mengerutkan dahinya, saat aku bergegas ke pantai, ketika toa masjid mulai menyuarakan Kalam Ilahi, tanda kalau setengah sampai satu jam lagi akan memasuki waktu Subuh.
"Berangkatnya setelah salat Subuh saja, Rana!" kata Ibu, yang kemudian menceramahiku untuk menjaga salat.
"Iya, Bu. Aku salat di mushala dekat pantai saja," jawabku, sambil menyalami Ibu.
"Tapi..."
Aku tahu, Ibu akan mengingatkan aku lagi kalau salat berjamaah itu memiliki keutamaan dua puluh tujuh derajat dibandingkan salat sendirian.
***
Angin laut menerpa tubuhku. Dengan sedikit penerangan di sekitarnya, aku menyapukan pandangan ke berbagai sudut. Kupicingkan mata, berharap bisa menangkap bayangan manusia yang kuharap dialah pemilik jejak sepatu misterius itu.Â
Kuberjalan pelan, tak fokus menikmati suasana pantai, kali ini. Kepala sedikit kutundukkan untuk menemukan jejak-jejak sepatu. Karena masih terlalu gelap, aku agak kesulitan menemukannya.
Tanpa kusadari gawaiku yang tadinya kupegang dan mau kumasukkan ke saku celana, malah jatuh.Â
"Ya Allah, kenapa aku ceroboh begini?" omelku.
Kuambil gawai segera. Daripada nanti terkena air laut di pantai ini. Saat mengambil gawai itulah, mataku menangkap jejak-jejak sepatu. Jejak sepatu yang bentuknya seperti kemarin-kemarin.
Kembali kuikuti jejak-jejak itu. Kuyakin si pemilik jejak itu masih ada di sekitar tempatku berada.Â
Langkah kakiku terhenti begitu jejak sepatu tak lagi terlihat. Jejak itu berujung di dekat musala. Dari tempatku berdiri, samar-samar terlihat bayangan dari dalam musala.
Kulihat sekitar musala, tak ada orang lagi yang kulihat. Akhirnya kuberanikan diri untuk memasuki area musala. Karena waktu salat Subuh hampir tiba, aku ke tempat wudhu.
Saat aku berwudhu, kudengar suara lelaki yang mengumandangkan azan, tanpa pengeras suara. Suaranya membelah sunyi di sekitar pantai.
Setelah wudhu, aku bergegas masuk musala. Lelaki yang sudah selesai azan, kini tengah salat rawatib. Aku pun mendirikan salat tahiyatul masjid.Â
"Nona mau jamaah dengan saya?" tanya lelaki itu, setelah aku selesai salat tahiyatul masjid.
***
"Anda sering ke sini, ya?"
Aku mengejar lelaki yang mengimami salat Subuh tadi. Dia sudah mengenakan sepatunya yang berada di ujung batas suci, di luar musala.
Lelaki itu menengok ke arahku. Tanpa menjawab pertanyaanku, dia berlalu. Langkah pelan lelaki itu bisa kuikuti dengan langkah lebarku. Aku tak peduli kalau dia akan marah karena aku mengikutinya.
Sambil mengikuti lelaki yang kuperkirakan berusia dua puluh enam atau dua puluh tujuhan, aku iseng melihat jejaknya. Ya, jejak sepatu yang sama dengan jejak misterius di pasir.
"Hei, saya tanya, kok Anda nggak jawab?" tanyaku keras.
Lelaki itu menghentikan langkahnya sejenak. Dia melanjutkan langkahnya, setelah aku berada di sampingnya.
"Saya Abimanyu, Nona. Biasa disapa Bima."
Kuulurkan tangan kananku. Namun Bima tak menyambutnya.Â
"Aku Rana. Kirana Hapsari."
Bima hanya diam dengan tatap mata ke depan. Aku pun tak berani lagi bersuara.
"Kamu itu perempuan. Hati-hati kalau bertemu lelaki," ucapnya mengagetkanku.
Kutatap sejenak wajah dingin Bima.
"Kenapa? Apa Anda penjahat?"
Senyum sinis kulihat dari bibirnya.
"Kalau..."
"Aku rasa Anda nggak jahat. Kalau jahat, ngapain di musala?" sahutku.
Kami berjalan, hingga sampai di bibir pantai. Tanpa perbincangan lagi. Aku pun tak tertarik lagi untuk mengorek informasi dari Bima. Menemukan pemilik jejak misterius di pantai itu sudah cukup.Â
Kini aku tinggal menikmati suasana tenang di pantai, seperti biasanya. Sebelum aku menjalani rutinitas bersama para siswa.
"Kamu nggak kuliah?" Tiba-tiba suara Bima kudengar. Aku terkejut, tak menyadari kalau dia berada di belakangku.
"Aku sudah kerja."
"Nggak siap-siap?"
"Sebentar lagi."
"Kamu di sini..."
"Aku sering ke pantai ini. Ingin menikmati suasana hening dan udara bersih saja."
"Aku ke sini karena ingin meninggalkan jejak sepatu di pasir pantai. Sepatu yang kukenakan, pemberian tunanganku. Dia senang dengan suasana pantai seperti ini."
"Oh..."
Kurasa Bima ini aneh sekali. Kalau sudah punya tunangan, kenapa mau meninggalkan jejak di pasir? Bukankah cukup bertemu dengan tunangannya?
"Melihat jejak sepatu di pasir pantai ini, seolah aku bisa kembali bersama Riana."
"Maksud Anda?"
"Dia sudah tak bersamaku," ucap Bima dengan wajah menghadap ke arahku.
"Selingkuh?" tanyaku dengan menggerakkan bibir tanpa suara dan mata melihat ke arahnya.Â
Tak kusangka pertanyaan itu membuat sorot matanya tajam. Ada amarah di sana. Aku merasa ngeri melihatnya.
"Maaf, aku lancang..."
Kubalikkan tubuh dan meninggalkan Bima.
"Dia sudah di surga," ucapnya dengan suara lantang. Kutahu, dia menahan marah.
Aku berhenti dan membalikkan tubuh.
"Maafkan aku. Aku turut berduka cita."
Setelah permintaan maaf itu aku pulang, mengingat matahari sudah menyapa langit hingga warna biru mulai terlihat. Kusesali atas ucapanku tadi.
***
Pagi berikutnya, aku ke pantai lebih siang. Aku sengaja berangkat saat langit sudah cerah. Apalagi hari ini aku menikmati cuti kerja. Lagipula, aku tak mau memancing kemarahan Ibu. Kemarin beliau murka padaku karena nasihatnya tak kuhiraukan.
Sesampai di pantai, aku tak lagi memerhatikan pasir, adakah jejak sepatu atau tidak. Tak penasaran lagi dengan jejak kaki yang beberapa minggu mengusik hati.
Melihat dan menikmati pantai saat sudah terang seperti kali ini, tak kalah menyenangkan dan menenangkan. Kokohnya karang yang disapu riak atau hantaman ombak jelas di mataku. Aku bisa mengabadikan sekitar pantai sepuasnya. Kurasa sesekali aku memang harus ke pantai kalau sudah terang.Â
"Assalamu'alaikum, Kirana."
Suara Bima terdengar di telingaku. Kujawab salamnya. Bersamaan itu, dia berdiri di sampingku.
"Maafkan aku, Kirana."
Aku tak menanggapi ucapan Bima. Hatiku merasa tak enak karena mengeluarkan kata-kata yang tak pantas pada mendiang tunangannya.
"Aku merasa bersalah padamu. Makanya aku sengaja menunggumu," ucapnya.
Aku tersenyum tanpa melihat ke arahnya.
"Kita baru bertemu kemarin. Aku bercerita tak lengkap tentang Riana, kamu tanya karena ketidaktahuanmu, aku marah," lanjutnya.
"Iya. Nggak apa-apa. Aku yang lancang. Aku yang harus minta maaf."
"Aku keterlaluan."
"Sudahlah. Aku nggak kenapa-kenapa kok."
Kutinggalkan Bima. Aku berjalan ke arah gazebo yang berada jauh dari bibir pantai.
"Kamu nggak mau ketemu aku lagi kan? Itu tandanya aku menyakitimu." Kurasa, tak penting bagiku untuk menanggapi ucapan Bima.
"Kemarin kamu salat di musala bersamaku. Hari ini kamu ke sini siang begini," lanjutnya.
Aku tertawa kecil dan berjalan lebih cepat agar segera sampai gazebo. Bagaimana bisa dia pikir kalau aku tak mau bertemu dengannya lagi hanya karena ke pantai lebih siang.Â
"Maksud Anda?"
Bima terdiam. Tak menjelaskan maksud dari perkataannya untuk beberapa saat.
"Mulai hari ini, aku bertekad untuk melupakan pikiran konyolku, seakan bisa berbincang dan bercengkrama bersama Riana, dengan meninggalkan jejak di pasir."
Suasana hening. Sesekali hembusan angin laut terasa lebih kencang.
"Jejak itu tak bisa membisikkan suara Riana. Hanya meninggalkan luka yang semakin menganga karena harapanku yang tak pernah bisa terwujud dengannya."
___
Branjang, 7-8 Januari 2025
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H