"Kita baru bertemu kemarin. Aku bercerita tak lengkap tentang Riana, kamu tanya karena ketidaktahuanmu, aku marah," lanjutnya.
"Iya. Nggak apa-apa. Aku yang lancang. Aku yang harus minta maaf."
"Aku keterlaluan."
"Sudahlah. Aku nggak kenapa-kenapa kok."
Kutinggalkan Bima. Aku berjalan ke arah gazebo yang berada jauh dari bibir pantai.
"Kamu nggak mau ketemu aku lagi kan? Itu tandanya aku menyakitimu." Kurasa, tak penting bagiku untuk menanggapi ucapan Bima.
"Kemarin kamu salat di musala bersamaku. Hari ini kamu ke sini siang begini," lanjutnya.
Aku tertawa kecil dan berjalan lebih cepat agar segera sampai gazebo. Bagaimana bisa dia pikir kalau aku tak mau bertemu dengannya lagi hanya karena ke pantai lebih siang.Â
"Maksud Anda?"
Bima terdiam. Tak menjelaskan maksud dari perkataannya untuk beberapa saat.
"Mulai hari ini, aku bertekad untuk melupakan pikiran konyolku, seakan bisa berbincang dan bercengkrama bersama Riana, dengan meninggalkan jejak di pasir."