Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Angdu dan Lema

22 Januari 2020   08:33 Diperbarui: 22 Januari 2020   08:36 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: flickr.com

Hai, aku Angdu. Aku adalah anak beruang madu. Aku termasuk hewan langka saat ini. Oh iya, aku menjadi maskot Bengkulu lho.

Kesukaanku adalah makan madu. Untuk makanku itu aku rela mencari berjam-jam di dalam hutan. Kalau aku tak menemukan madu, aku makan apa saja yang kutemukan di dalam hutan. 

Buah-buahan juga kunikmati. Cempedak, durian kumakan. Namun aku hanya menelan saja buah-buah itu. Jadi kalau aku mengeluarkan kotoran, pasti masih utuh biji-bijinya. Seperti luwak yang menelan buah kopi itu. Heheh...

Sepertinya itu menjijikkan ya. Tetapi kalau luwak biji-biji yang dikeluarkan nantinya akan diolah manusia menjadi kopi luwak yang sangat terkenal kenikmatannya. 

Nah kalau aku, biji-biji buah yang aku keluarkan dalam kotoran nantinya bisa tumbuh lho. Jadi tumbuhan di hutan akan terus ada. Pohon cempedak, durian akan tumbuh dengan baik. Akhirnya hutan tetap lestari. Bisa dinikmati siapa saja nantinya.

**

Saat ini aku sedang berjalan mencari makan juga. Tak kenal lelah aku mencari makan. Tentu aku bersama teman akrabku, Lema. Dia adalah lebah madu.

Aku menjaga lema dan keluarganya. Tak pernah menyakiti mereka. Apalagi mereka sangat baik kepadaku. Madu yang berada di sarang mereka sering dibagikan untukku.

Karenanya jika aku tak mendapatkan madu, aku juga sering berbagi buah agar dinikmatinya. Kasihan kalau Lema dan keluarganya lapar.

Aku menjadi sahabat Lema sejak aku lahir. Maklum begitu aku lahir, ibuku menjadi korban pemburuan hewan langka. Manusia itu sungguh jahat. Padahal kami tak pernah mengganggunya.

Tak hanya memburu ibu, manusia ada juga yang membabati tempat tinggal kami. Hutan yang tadinya teduh dan sejuk, kini menjadi lebih gersang. 

Pohon-pohon buah yang tumbuh dari kotoran ibu juga habis. Rasanya sangat sedih. Aku hanya menangis. Tak tahu harus bagaimana, padahal aku sangat kehausan dan kelaparan.

Akhirnya aku dibantu oleh keluarga Lema.

"Ke sinilah, Angdu. Kamu pasti kelaparan..."

Aku diberi madu yang sangat lezat. Aku diajari untuk bisa bertahan hidup oleh keluarga Lema.

"Kalau madu kami sedang habis, kamu mencari buah-buah yang manis ya, Angdu..." jelas ibu Lema.

"Buah yang manis?" tanya Angdu.

"Iya. Nanti biar Lema yang membantumu..."

"Oh...ya, bu. Terima kasih..."

*

Sepanjang jalan mencari buah-buahan manis, aku kembali mengenang kisah persahabatanku dengan keluarga Lema.

"Hutan sudah banyak berubah ya, Lema..." 

Lema yang duduk di dekat telingaku menjadi terkejut. Rupanya dia tertidur di tubuhku. Mungkin dia kelelahan. Kalau kepanasan, dia bisa bersembunyi atau berteduh di balik bulu-bulu hitam di tubuhku.

"Maaf, aku tertidur, Angdu..."

Aku tertawa. 

"Nggak apa-apa, Lema. Kita memang berjalan terlalu jauh. Kamu pasti lelah..."

Lema tersipu.

Kembali aku bertanya tentang hutan yang sudah berbeda saat ini.

"Ah... iya, Angdu. Aku juga merasakan. Hawa menjadi lebih panas. Untuk mencari makanpun sulit..."

**

Akhirnya kami menemukan pohon cempedak di dekat sungai yang airnya masih jernih. Berada di sana. Baru saja kami akan mengambil buah cempedak, tiba-tiba dari balik batu di sebelah pohon cempedak muncul manusia berkacamata hitam.

Kami hendak berlari, tapi manusia itu mengeluarkan senjata api. Kami panik sekali.

"Ibu... Lema... bagaimana ini?" seruku dengan panik.

Lema juga tak kalah panik. Dia menangis sambil menyebut ibunya.

"Ibu...ibuuuu!! Aku takuuuut!"

Manusia itu segera menembakkan senjata apinya ke arah kami. Aku berusaha mengelak. Beberapa kali aku berhasil lolos dari tembakan itu.

Manusia itu akhirnya berhasil menembakkan peluru ke tubuhku. Lenganku terasa sakit. Aku berteriak kesakitan. 

Lema semakin takut. Dia terbang, mengelilingiku yang kesakitan.

"Lema... pergilah! Tinggalkan aku!" teriakku.

Lema tak mau meninggalkan aku.

"Tidak! Aku tidak akan meninggalkanmu!"

"Kamu bisa celaka!"

"Aku tidak peduli!"

Lema tetap saja bertahan. Sementara aku semakin merasakan sakit. Manusia itu kembali menembakkan peluru ke kakiku.

Aku terjatuh. Aku kesulitan untuk berdiri. Tubuhku tak kuat lagi menahan sakit. Pandanganku menjadi gelap.

**

"Angdu, bangun!" 

Tubuhku ditepuk-tepuk sayap Lema. Mataku terasa berat. Sekilas kulihat Lema tersenyum. Dia mendekati dan mencium pipiku.

"Kamu nggak apa-apa kan, Angdu?"

Aku mengangguk. Lengan dan kakiku diperban putih. Sakitnya sudah berkurang.

"Alhamdulillah. Aku bahagia sekali, Angdu!"

"Kenapa kamu di sini. Bukankah kamu kusuruh pergi?"

"Kasihan kamu, Angdu. Jadi aku menemanimu..."

"Tapi pasti kamu dicari ibumu. Kasihan ibumu, Lema..."

Lema tersenyum.

"Tak apa-apa, Angdu. Tenanglah nanti kita bisa kembali ke hutan..."

Lema menceritakan bahwa sekarang kami berada di tempat yang aman. Manusia jahat yang menembak kami akhirnya ditangkap polisi. Tak lama setelah aku pingsan.

"Kemarin aku mendengar dari manusia yang mengambil peluru di lengan dan kakimu, kamu akan dikembalikan ke hutan..." cerita Lema.

Aku terkejut.

"Benarkah, Lema?"

Lema mengangguk. 

"Lihatlah, Angdu. Kamu diberi makanan ini..." Lema menunjuk ke arah buah-buahan di atas meja.

Aku senang sekali. Apalagi perutku terasa lapar.

"Makanlah, Angdu. Sudah beberapa hari kamu pingsan dan tidak makan..." ucap Lema.

Aku mendekati makanan yang kata Lema disiapkan untukku. 

"Lema, kamu makan juga ya..."

Kami menikmati makanan itu bersama-sama.

**

"Benar kan, Angdu. Kita akan dikembalikan ke hutan..." ucap Lema.

Ya...saat ini kami dibawa oleh penyelamat hewan langka ke tempat asal kami. Aku senang sekali. Begitu juga Lema. Kurasa dia sangat merindukan keluarganya. Berkali-kali dia menyebut ibunya.

"Lema, terima kasih ya. Kamu menemaniku..." ujarku.

"Iya. Nggak apa-apa. Aku senang menemanimu. Aku tak tega kalau kamu sendirian. Apalagi kamu kan sakit..."

"Heheh...iya. Tapi aku sekarang sudah sembuh..."

Kami tertawa bersama.

"Dan kita kembali ke hutan, tempat tinggal kita..." ucapku.

"Iya. Aku akan bertemu ibu dan saudara-saudaraku..."

"Kamu pasti bahagia bertemu keluargamu lagi..."

"Benar, Angdu. Tapi aku lebih bahagia jika kamu masih bermain bersamaku..."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun