Seperti nasib pengusaha taksi tradisional di kota-kota yang pernah dirambahnya, kini dia — bersama usaha yang sejenis dan senasib lainnya — sempoyongan juga menerima kehadiran pesaing yang menguasai sejumlah keunggulan yang berbasis teknologi digital. Hal yang sebetulnya tak sulit dikuasai jika mereka tak lalai membuka mata dan telinga. Kekuatan kapital memang berperan. Tapi sesungguhnya ini hanya soal momentum.
Kemapaman si Biru dan kawan-kawan terganggu. Disrupsi. Wabah klasik itu bangkit lagi. Mereka khawatir kalah bersaing terhadap keunggulan layanan angkutan berbasis online.
Tapi sekali lagi, pemerintah masih saja bingung menempatkan posisi dan peran Negara di tengah-tengah gejolak paska kehadiran angkutan online. Kebingungan yang kurang-lebih sama ketika menyikapi gejolak di sejumlah kota ketika si Biru menerjang dengan segala keunggulan yang dikuasainya.
Soal Ketiga, Tugas Pokok dan Fungsi
Tugas pokok dan fungsi pemerintah adalah menyusun dan menegakkan hukum agar masyarakat tertib, adil, dan sejahtera. Tertib artinya sesuai aturan yang disusun dan disepakati untuk kepentingan bersama sehingga keadilan masyarakat bisa ditegakkan, dan kesejahteraan bangsa dan negara dapat tercapai. Oleh karena itu, semua perundang-undangan beserta peraturan turunannya harus sesuai dan tidak bertentangan dengan pokok-pokok ketentuan yang tercantum pada UUD 1945.
Cobalah baca kembali dasar konstitusional bangsa kita itu dan perhatikan hal yang tertuang pada pasal 31 ayat 1:
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.”
Lalu peran dan langkah apa yang telah dilakukan untuk menegakkan azas kekeluargaan itu saat pengusaha angkutan taksi lokal di berbagai kota dilanda keresahan ketika si Biru dari Jakarta melebarkan sayap bisnisnya kesana?
Azas kekeluargaan juga tak berarti serta-merta menghalangi warga yang berhasil menyiasati keadaan sehingga dapat memberikan pelayanan yang lebih baik dan biaya yang lebih murah. Seperti yang sekarang dilakukan oleh angkutan umum berbasis online. Sebab, sesungguhnya tak ada halangan ataupun larangan apapun bagi si Biru dan kawan-kawan, untuk menggunakan sumberdaya (teknologi) yang sama sehingga merekapun berpeluang mampu mensejajarkan pelayanan yang sudah ada, dengan harga yang sepadan.
Disinilah letak kekeliruan mendasar yang dilakukan pemerintah ketika — melalui Peraturan Menteri No. 32 tahun 2016 — memaksakan penetapan batas atas maupun bawah tarif layanan angkutan khusus yang menggunakan aplikasi teknologi itu. Terlihat semakin konyol ketika kelompok si Biru dan angkutan khusus berbasis aplikasi, tidak berada pada kelas yang sama. Sebab yang pertama dimasukkan dalam kategori angkutan taksi sedangkan yang kedua sebagai angkutan sewa. Besaran volume minimal silinder mesin yang dipersyaratkan antara keduanya saja pernah ditetapkan berbeda. Angkutan khusus online yang masuk kategori sewa harus 1300 cc ke atas sedangkan taksi reguler boleh 1000 cc. Pada PM 32/2016 yang direvisi, volume silinder mesin angkutan sewa khusus online katanya memang telah dikoreksi menjadi 1000 cc (lihat Majalah Tempo edisi 27 Maret 2017, halaman 104, Info Perhubungan). Tentu lebih runyam lagi jika kita mempertanyakan latar belakang dan maksud aturan itu jika dikaitkan dengan pencapaian makna tertib, adil, dan sejahtera bagi masyarakat.
Jika sesama angkutan sewa berbasis aplikasi online tak meributkan soal tarif, lalu mengapa pemerintah harus campur tangan membatasinya?
Sementara itu — jika mengkaitkan pada nasib layanan angkutan ojek — kita akan semakin tergagap ketika membaca kembali Bab Hak Asasi Manusia yang tercantum pada pasal 28A, UUD 1945. Tertulis disana :
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!