Inovasi, kelincahan, dan kelihaian mengoperasikan pelayanan saja, tak cukup. Kekuatan modal semakin terasa absolut. Termasuk untuk membiayai pembungkaman ‘disrupsi konvensional’ dari aparat kekuasaan yang sehari-hari selingkuh dan bertindak sesuka hati. Juga untuk menyiasati persaingan pasar agar timpang dan mudah dimenangkan.
Sejarah taksi di Jakarta sesungguhnya dimulai dengan bentuk koperasi. Almarhum Ali Sadikin melakukan inisiatif tersebut untuk menertibkan taksi partikelir yang melayani penumpang dari dan ke bandara Kemayoran. Dari sanalah kemudian lahir Presiden Taxi yang kini telah raib itu. Padahal kita tahu, koperasi adalah cita-cita luhur perekonomian Indonesia yang dicetuskan Bung Hatta, Wakil Presiden pertama yang bersama Soekarno membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Bisnis taksi regular Jakarta kemudian menggelinjang dahsyat. Sejumlah badan usaha datang dan pergi setelahnya. Bahkan ada yang sekedar digunakan untuk menyiasati uang yang beredar di pasar modal yang bukan melalui persaingan pelayanan yang mampu diberikan. Skandal akal-akalan kapitalisasi pasar yang mengorbankan banyak pihak.
Masih ingatkah Anda pada (almarhum) taksi yang bernama Steady Safe?
Kenyataannya, persaingan pasar bebas memang (selalu) dimenangkan operator yang paling tangguh dalam mengutamakan pelayanan prima. Sejak dulu, Bluebird tak pernah berhenti menyempurnakan inovasi yang memuaskan pelanggannya. Mulai sistem pemesanan melalui telpon, penyediaan radio komunikasi pada setiap kendaraan, hingga penggunaan teknologi GPS (Global Positioning System) dan komunikasi data digital. Operator yang gigih itu memang mampu memenangkan kepercayaan pasar. Bahkan termasuk pelanggan yang belum pernah menggunakannya sekali pun. Akibat kekuatan kabar yang beredar dari mulut ke mulut (words of mouth).
Lalu, kelompok usaha yang dimulai dari garasi rumah di kawasan Menteng itu berkembang sangat pesat. Bukan hanya dalam merambah dan memenangkan jenis bisnis layanan angkutan umum darat yang lain — diantaranya seperti layanan eksekutif, carter, wisata dan antar jemput sebagaimana rincian sebagian besar jenis angkutan umum yang tertera pada UU 22/2009 hingga Permen 32/2016 — tapi juga wilayah geografi operasinya. Dengan mengandalkan keunggulan standar pelayanan pelanggan, efektifitas tata kelola usaha, dan akumulasi modal yang rajin dikumpulkannya, Bluebird Group kemudian merambah berbagai kota besar lainnya di Indonesia. Siapapun tentu dapat memahami, langkah-langkah ekspansif mereka tersebut, semata konsekuensi tuntutan pertumbuhan dan perkembangan usaha, sesuai skala yang telah dicapainya. Jika pasar yang ada telah jenuh, tentu mereka perlu melirik dan menggarap peluang pasar yang lain.
Tapi sejarah sudah mencatat, pasar taksi tradisional di berbagai kota yang dipenetrasi si Biru selalu resah setiap kali menyambut kehadiran mereka. Para pemain konvensional di setiap kota itu selalu khawatir akan kalah bersaing dengan berbagai keunggulan yang dimiliki usaha taksi berlambang unggas terbang itu. Maka beragam aksi penolakan selalu menyertai. Tak sedikit juga yang disertai kekerasan.
Sebagai pelanggan yang memang menikmati layanan primanya, saya berpihak pada si Biru. Dimanapun, setelah mengetahui kehadirannya, selalu ada rasa jengkel setiap kali ‘kendala domestik’ menghambat saya menggunakan mereka. Dalam hati saya pun menggerutu, “Pengusaha taksi lokal kota ini ‘kurang piknik’ dan tak pernah ‘move on’ bersama dengan perkembangan zaman!”
Tapi sebetulnya — jika memang negara sungguh-sungguh berniat hadir — mengapa UU 22/2009 tersebut tak pernah mencakup hal-hal luhur, dinamis, sekaligus progresif sehingga pengusaha-pengusaha yang kecil di berbagai kota di Indonesia lainnya tetap bisa bersanding dengan yang raksasa dan menggurita seperti si Biru?
Pastilah tak sedikit ‘investasi’ dan ‘biaya operasional’ yang digelontorkan kelompok usaha angkutan yang berpusat di Jakarta itu agar tetap bertahan — di tengah penolakan lokal yang terjadi di daerah-daerah — hingga ia dapat kokoh menancapkan kukunya.
Waktu berjalan, dan perlahan tapi pasti satu per satu dapat diatasi. Si Biru yang perkasa pun bersolek dan melenggang ke bursa saham. Menawarkan kepada publik untuk turut memiliki dan menikmati keuntungannya.