Lalu, apa akar permasalahan sesungguhnya sehingga kehadiran angkutan berbasis aplikasi online itu menjadi begitu rumit ditangani?
Berikut ini adalah kritik terhadap 5 persoalan pokok yang satu dengan yang lain saling bertautan. Semuanya berkait dengan cara pandang dan bersikap yang sangat mungkin melahirkan perkeliruan demi perkeliruan yang berlangsung selama ini.
Soal Pertama, UU 22/2009
Rancang bangun Undang-Undang tentang Lalu-lintas dan Angkutan Jalan Raya itu agaknya keliru dan salah kaprah. Disinilah titik tolak persoalan.
Mulai dari penentuan hal pokok (kemudahan pergerakan masyarakat - red) dan prioritas utama (pedestrian - red) yang semestinya diatur hingga ambiguitas tugas pokok dan fungsi negara (pemerintah) dalam menyelenggarakan angkutan umum bagi masyarakat.
Implementasi public-private-partnership (kemitraan publik dan swasta) sesungguhnya telah dimulai dari sini. Karena keterbatasan kemampuan negara (pemerintah), UU Nomor 22 Tahun 2009 tersebut mencakup landasan hukum bagi keterlibatan masyarakat (swasta) dalam penyelenggaraan layanan angkutan umum. Alih-alih mengatur kesementaraannya — maksudnya hingga negara mampu menyelenggarakan kewajiban sendiri — undang-undang tersebut malah menempatkan birokrasi pemerintah pada posisi untuk mengelola dan memelihara persaingan usaha (komersial) lembaga swasta yang sebetulnya diajak membantu dan berpartisipasi. Terutama dalam hal pelayanan angkutan umum yang mampu mengangkut penumpang secara massal. Kerancuan konsepsi itulah yang kemudian menjalar dan berlarut-larut pada jenis-jenis layanan angkutan umum yang lain.
Sesungguhnya filosofi public-private-partnership itu merupakan sesuatu yang rumit dan sama sekali tak mudah.
Menggabungkan pelayanan umum (publik) dan kepentingan komersial (swasta) layaknya mensenyawakan minyak dan air. Perlu kehadiran unsur ketiga seperti sabun (keuntungan finansial) untuk menyatukan keduanya. Sementara setelah senyawa terjadi (emulsi), pemisahan untuk mengembalikan masing-masing unsur ke wujudnya semula. bukanlah soal yang sederhana.
Penjelasan lebih lengkap mengenai kerancuan konsepsi UU 22/2009 tersebut dapat dilihat pada artikel ‘Sebelum Indonesia Menyikapi Transportasi Online’ sebelumnya.
Soal Kedua, Disrupsi Kemapanan
Tujuan semula UU 22/2009 memang baik. Sebagaimana UU 14/1992 yang digantikannya, produk legislasi era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono itu — selain soal kelayakan dan persaingan usaha komersial yang dilibatkan dalam urusan angkutan umum — ingin mengatur berbagai ketentuan yang terkait dengan keselamatan dan kenyamanan masyarakat pengguna. Hal yang disayangkan, isinya ternyata hanya menonjolkan berbagai pernak-pernik detail yang lebih ramai. Beberapa bagian justru sekedar legitimasi terhadap susunan dan kedudukan birokrasi perizinan yang cenderung membuka peluang korupsi-kolusi-nepotisme.
Konsekuensinya, pengusaha angkutan umum yang semula diajak serta untuk membantu negara menyelenggarakan kewajiban melayani publik, malah ditempatkan pada posisi yang harus mengeluarkan biaya semakin tinggi. Sebab, sederet aturan yang harus mereka penuhi, berarti ongkos. Pada kenyataan sebenarnya, sebagian diantara biaya-biaya itu tak memiliki efektifitas fungsi maupun manfaat. Bahkan ada yang mengundang siluman sehingga tak bisa dicatat gamblang dalam pembukuan usaha.
Di tengah perubahan cepat yang sedang melanda industri pelayanan di seluruh dunia, bisnis perangkutan di negeri kita sesungguhnya berupaya bangkit. Menyelinap di antara semak-semak yang dipenuhi onak dan duri birokrasi yang korup.