“Sudah, Gentong! Aku sudah berkaca tadi pagi dan cerminku mengatakan aku baik-baik saja tuuh,” anak itu menyahut enteng seraya menceraikan Genta dari jarak pandangnya.
Genta mengekang geramnya. Ia memang acap tak paham akan prahara yang tengah menimpa dirinya. Ia heran, mengapa selalu dirundung gelisah dan merasa terganggu oleh ketenangan anak itu. Di saat semua anak perempuan ripuh mendewakannya, anak ini justru asyik berkebun atau sibuk berdagang. Padahal hanya kacang pedas-manis yang ia jajakan dari kelas ke kelas selama jam istirahat. Harganya pun tak seberapa. Genta bisa memborong habis dagangannya dengan uang saku yang diperolehnya tiap hari dari ayah-bunda.
“Kau itu tak ada apa-apanya dibanding Gina. Kau mengerti!” kata Genta dengan keji yang lantas segera ia sesali. Tapi sungguh, sumpah mati ia merasa punya alasan tersendiri. Genta meraba saku celananya, di sanalah alasan itu bersemayam dalam diam.
“Paham, Kawan. Aku paham sekali,” jawab anak itu tenang, namun tidak dengan genangan di matanya yang perlahan mulai bergejolak.
“Ok, baguslah. Jadi kuingatkan sekali lagi, jangan pernah bermimpi untuk menyukaiku. Kau mengerti?” Genta sadar akan ke-tidak masuk akal-an ucapannya belum lama berselang. Tapi apa lacur bila sudah sejauh ini ia memahat goresan demi goresan luka yang memerih di sana… di hati si anak aneh yang selalu berusaha tampil setegar dinding sedimen Grand Canyon.
“Baik. Kalau begitu, mengapa kau tak segera menarik jarak sejauh mungkin dariku? Jangan gentayangan dan gentawilan di sekitarku, ok? Dan mulai saat ini juga, ku mohon, Gentong, berhentilah cari-cari masalah denganku. Kau mengerti?”
Genta terperangah dibuatnya. Tak menyangka sama sekali akan mendapat maneuver setajam ini. Tenang dan begitu tepat sasaran. Seperti laku burung hantu dalam setiap intai dan sergap mangsanya secara senyap.
**
[G is for Gone]
**
Sudah seminggu sejak anak itu mencetak kata abstain dari buku kehadiran siswa. Genta lemas. Seperti udara, sesalnya seakan tak berkesudahan. Ia mulai tak memberi maaf pada dirinya sendiri. Hingga datang suatu hari, seorang pria tua yang ia kenali sebagai Pak Bon, petugas penjaga sekolah merangkap tukang kebun yang juga diamanahi menjadi imam masjid di sekolahnya.