Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saputangan Genta... [1/3]

20 Mei 2016   21:01 Diperbarui: 26 Mei 2016   20:02 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

[o0o]

Bermuara pada sehelai saputangan warna fosil-fosil purba, putih busam. Selampai itu terlampau unik untuk disebut biasa-biasa saja dikarenakan motif sulamannya sungguh tiada dua. Sebentuk bahtera mungil melekat di sudut. Tampaknya tengah berlayar dalam naungan matahari yang semburat sinarnya bukan sekedar garis lurus memanjang, namun serangkaian aksara kapital yang sama dan disulam sambung menyambung. Sedang dasar kapalnya adalah sulaman beralur biru yang nyata menggambarkan riak-riak air.

Harus punya kejelian mata untuk dapat menemukan keunikan tersendiri pada sehelai cita yang dahulunya hanya dapat digenggam oleh tangan para bangsawan itu. Di sana ada terekam jejak kesungguhan dan ketulusan. Dan tak hanya itu, si pesulam jelas menginginkan kain katunnya tampil berbeda, sempurna mempesona dan mampu berbicara mewakili dirinya. Lalu dengan cerdiknya sebuah pesan telah disusupkan secara tersamar di antara benang-benang yang disulam membentuk gelombang biru, tersembunyi rapi di sela lekuk demi lekuk reriak air itu.

“Sertakanku dalam bahteramu, Gentaku.”

Pesan yang singkat, namun  butuh masa yang lama, sangat lama, bagi Genta untuk tiba pada hari ini, di reuni yang ia harap dapat mengantarkannya pada si penyulam pesan itu.

**

[G is for Gift]

**

Pagi belum bermata, seorang pelajar putri telah mengukur pematang. Roda sepedanya bergulir menodai bulir-bulir embun yang tengah bercumbu halimun. Dingin begitu menyesap tulang, namun arah pandangannya tetap terpusat, tak menyadari di belakangnya seorang penguntit berjuang membuntuti. Pada akhirnya, Genta gagal meraih trofi ‘Tour de Pematang’, dan anak perempuan itu, seperti yang selalu terjadi, berhasil menjadi yang pertama tiba di sekolahnya.

“Sial! Kalau bukan karena ban sepedaku kempes, pasti sudah kususul dia!” rutuk Genta seraya bergegas menggagahi kelas yang masih dikungkung sepi, tak sabar mendapati sesuatu dalam laci. Irama jantungnya menderu tak tentu. Meski sudah terlatih dengan kejutan pagi hari dari para pengagum rahasianya, tetap saja ia dirayapi rasa penasaran.

“Hmm, mari lihat, upeti macam apakah yang dipersembahkan untuk pangeran Genta pagi ini,” setengah bergumam Sang Pangeran bicara pada dirinya sendiri.

Terbuat dari kayu jati yang memberi bobot tersendiri. Ada lubang di permukaannya, konon sebagai tempat menaruh botol tinta. Meja itu merupakan cindera mata dari kumpeni untuk masa penjajahannya yang tak terlupakan. Di laci meja itu Genta merogoh sesuatu. Pulpen, stiker, gantungan kunci, topi, atau aneka jenis camilan termasuk coklat yang paling sering ia peroleh. Beragam pilihan tampil silih berganti dalam benak Genta.

“Tumben, tak ada nama atau inisial pengirim,” ujar Genta, dahinya yang semula bergulung-gulung, kini berhenti menerka-terka saat menimang hadiah teraneh yang pernah ia terima. Matanya tajam memelototi sesuatu yang lembut-harum dalam bungkusan kecil yang ditemukannya. Di atas kertas pembungkusnya, biasanya akan ada tertera tulisan singkat : teruntuk Genta, 2 Genta, for  Genta, just 4 Genta, only 4 Genta, fur Genta, pour Genta, para Genta, voor Genta, keur Genta. Kali ini kertas coklat yang umum dipakai menjadi sampul buku itu bicara dengan gaya bahasanya sendiri. Tersusun dari aneka guntingan huruf hingga terbaca: [G is for Gift], dengan huruf G yang mendominasi. Singkat dan cerdas, Genta begitu terpikat karenanya. Ia tak ragu bila kado itu memang ditujukan untuknya. Dan, yeaah! Dadanya menjerit hebat merasakan bahagia yang hadir melesak-lesak. Ia belum pernah sesenang ini menerima bingkisan kecil dari seseorang.

**

[G is for Galau]

**

“Hei, you! What G is for?”

Genta tergagap. Wajahnya sedetik mengapas saat menyadari mistar kayu sepanjang penggalah itu hanya berjarak lima senti dari pucuk hidungnya. Kantuknya sirna seketika itu juga.

“G… G… G is for Gina or Genta, Miss!” suara Genta mengguntur. Sudut bibirnya menyengir puas atas suksesinya menjawab soalan guru. Apalagi ditambah bonus respon yang menggila dari seisi kelas, kian mengembanglah dada si Genta. Padahal jawaban itu terlahir spontan, tanpa pemikiran panjang nan mendalam. Asal njeplak, begitu aku Genta di suatu waktu. Pengakuan yang mustahil dipercaya teman-teman sekelasnya. Mereka serempak membuka gerbang mulutnya lebar-lebar, tawapun berkumandang membahana, dan dimeriahkan gedebak-gedebuk suara tangan memukul meja. Tak cukup dengan itu, bocah-bocah SMP yang berlimpah energi itupun lantas lomba bersiul senyaring mungkin.

“Huu… hu.. Genta…huu! Suit…suit… Gina-Genta! Genta-Gina! Hhuhuyy!”

Genta garuk-garuk kepala, cengengesan tak berdosa. Di seberang bangku dekat almari kabinet, Gina sibuk menghalau rona malu dan ledekan kawan karib yang seolah tiada habisnya. Sementara, Hartati Effendi, guru bahasa Inggris kawakan itu, nampak tak berselera meredam euphoria anak-anak asuhannya. Beliau hanya mengukir senyum dan gelengan kepalanya tanda maklum.

Sejak itu Gina dan Genta dikukuhkan sebagai pasangan terpopuler di sekolah. Padahal sumpah demi badai mistis di Segitiga Bermuda, Genta tak pernah memendam asmara pada Regina Puspandari, teman sekelasnya yang kondang sebagai gadis tercantik dan mayoret handal di sekolahnya. Tapi selaku oportunis, Genta pasrah dalam bungah dinobatkan sebagai pacar Gina. Toh Gina pun nampaknya tak berkeberatan.

Dalam kegaduhan itu, Genta berharap dapat memergoki satu wajah saja bermuram durja atas ‘perjodohannya’ itu. Tapi harapannya mandul. Seseorang yang diharapnya berduka, nyatanya bersikap tak peduli pada ‘gosip terpanas’ di kelasnya. Oh, Genta benar-benar diterpa gelombang kecewa pada petugas piket hari itu, pada anak perempuan yang biasa ia buntuti tiap pagi, anak yang tengah menghapus papan tulis dan tampak tak terpengaruh sedikitpun dengan kegemparan yang tengah melanda kelasnya. Anak itu tetap menyelesaikan tugasnya dengan baik. Lihatlah betapa mengkilap papan hitam itu, tak tersisa satu goresan kapur pun. Lalu ia melangkah tenang meninggalkan ruang kelas. Menepuk-tepuk balok penghapus di tiang yang tersedia. Genta bahkan tak luput merekam saat anak itu terbatuk-batuk kecil oleh serbuan partikel kapur yang berterbangan. Matanya mendelik gemas melihat anak itu tenang mencuci tangan, meremas kain lap sejenak, mengembalikan balok penghapus, lalu mendaratkan bokongnya di kursi, bersiap menerima mata pelajaran berikutnya. Genta sempat berpikir mungkin anak itu ada menderita gangguan pendengaran.

Dari sayap kanan di kelas III A2 itu, Gina tersenyum masam mendapati arah pandangan Genta. Hati remajanya galau bukan kepalang mengalahkan bahagia yang belum lamapun berselang.

**

[G is for Gina]

**

“Ngapain ke perpustakaan? Buku apa yang tak ada di perpustakaan rumahmu?” pernah Gina bertanya.

Ingin tahu saja bacaan macam apa yang tengah dibaca anak itu. Demikian Genta ingin menjawab, namun selalu tak tega demi melihat wajah cantik Gina. Cukuplah seorang saja yang telah tersakiti oleh belati di mulutnya.

“Dan ngapain juga di kebun? Bantuin Pak Bon?” Gina masih bertanya meski sesungguhnya gadis itu dapat menerka alasan keberadaan Genta di kebun belakang sekolah. Alasan yang tentu sangat meresahkan hati belianya. Gina menghela nafas, sedemikian berat seolah ada pesawat ulang-alik luar angkasa tersesat di kerongkongannya. Leher jenjang yang dijaga seuntai rantai emas berdisain manis itu entah berapa kali meneguk liur sendiri. Gina putus asa. Remaja cantik itu sudah lelah berharap pada Genta. Ia pun telah muak berbohong. Dusta yang harus digembar-gemborkan ke gang-nya tentang wakuncar yang romantis dan menyenangkan bersama Genta. Semua demi tak kehilangan muka.

“Bolos sekali aja kenapa, Gen? Ya? Ayolah,” Gina merengek tak sekali dua kali.

“Sori, Gin, ngga bisa. Targetku adalah menjadi yang tercepat menyabet black-belt,” Genta beralasan pada mangkirnya ia setiap malam Minggu ke rumah Gina.

“Tapi latihannya paling lama dua jam bukan? Masih ada waktu mampir ke rumahku sebelum atau sesudah berlatih. Kita bisa mengobrol sambil mendengarkan musik ditemani kudapan yang enak-enak, bagaimana?” Gina tak kurang usaha.

Sabtu sore telah menjadi harga mati bagi Genta menghabiskan waktunya di do-jang, tempatnya menempa keahlian seni bela diri ala Korea, Tae Kwon Do. Dan ia bersiteguh menampik bujukan Gina demi nongkrong di warung tenda yang berada tepat di depan gedung sasana olahraga itu. Karena anak itu ada di sana, membantu ibunya berjualan nasi dengan beragam hidangan pendamping yang sangat dinanti lidah Genta. Walaupun tak berkesempatan menjahili kepang rambutnya, Genta tetap senang. Entah mengapa, kepala dan dadanya selaksa terbang, seringan serpihan-serpihan kecil Dandelion yang tertiup angin, hanya dengan melihat anak itu mondar-mandir menjawab keinginan setiap pelanggan.

Bagaimana anak itu bisa mempertahankan lima besar di buku rapornya sedang malam hari telah merampok waktu belajarnya? Genta kerap bertanya-tanya dalam kekaguman yang kian hari mengakumulasi…

**

[G is for Gentong]

**

“Kau pasti suka juga padaku! Ngaku!” bunyi teror Genta pada suatu ketika. Anak itu sedang menyapu kebun di halaman belakang sekolah. Lahan kecil yang dimanfaatkan sebagai tempat praktek siswa menanam rerupa tanaman bermanfaat obat.

“Siapa? Aku? Yang benar saja, Gentong! Lagipula apa kau masih kekurangan penggemar sampai aku disuruh mengaku-aku!”

Genta mentautkan gerahamnya. Anak ini, satu-satunya yang tak pernah menyebut namanya dengan benar. Hari ini Gentong, esok Gentayangan, lusa Gentawilan yang sama makna dengan banyak tingkah.

“Sudahlah, kau mengaku saja!” desak Genta.

Tangan Genta sudah sangat gatal ingin menarik rambut anak itu. Kapan lagi kesempatan datang kalau bukan selama lonceng sekolah belum berdentang. Tak hanya kebiasaan uniknya yang gemar mengungsi ke kebun selama jam pelajaran kosong, anak inipun banyak berlaku aneh. Sejak masa awal penataran P4, mata Genta sudah tertancap padanya. Genta pun menjadi pengamat yang jeli. Datang ke sekolah paling pagi, pulang paling belakangan. Genta selalu mendapati anak itu sudah absen pada pukul 6.30 pagi lalu menyibukkan diri di kebun, ada saja yang dikerjakan tangannya. Dan saat penghuni sekolah mulai berdatangan, anak itu akan bergegas menukar baju panjangnya dengan seragam sekolah putih-biru, lalu membuka kerudungnya yang berhiaskan sulaman tertentu, hingga nampaklah jalinan kepang dari rambut hitam tebal yang sangat Genta suka. Masa itu memang belum banyak sekolah berbasis agama. Dan sekolah negeri yang ada pun tak ingin disamakan dengan Madrasah/Tsanawiyah/Aliyah yang mengikat siswi-siswinya untuk bertudung rapat.

“Kalau suka, ngaca dulu ya!” serang Genta sadis.

“Sudah, Gentong! Aku sudah berkaca tadi pagi dan cerminku mengatakan aku baik-baik saja tuuh,” anak itu menyahut enteng seraya menceraikan Genta dari jarak pandangnya.

Genta mengekang geramnya. Ia memang acap tak paham akan prahara yang tengah menimpa dirinya. Ia heran, mengapa selalu dirundung gelisah dan merasa terganggu oleh ketenangan anak itu. Di saat semua anak perempuan ripuh mendewakannya, anak ini justru asyik berkebun atau sibuk berdagang. Padahal hanya kacang pedas-manis yang ia jajakan dari kelas ke kelas selama jam istirahat. Harganya pun tak seberapa. Genta bisa memborong habis dagangannya dengan uang saku yang diperolehnya tiap hari dari ayah-bunda.

“Kau itu tak ada apa-apanya dibanding Gina. Kau mengerti!” kata Genta dengan keji yang lantas segera ia sesali. Tapi sungguh, sumpah mati ia merasa punya alasan tersendiri. Genta meraba saku celananya, di sanalah alasan itu bersemayam dalam diam.

“Paham, Kawan. Aku paham sekali,” jawab anak itu tenang, namun tidak dengan genangan di matanya yang perlahan mulai bergejolak.

“Ok, baguslah. Jadi kuingatkan sekali lagi, jangan pernah bermimpi untuk menyukaiku. Kau mengerti?” Genta sadar akan ke-tidak masuk akal-an ucapannya belum lama berselang. Tapi apa lacur bila sudah sejauh ini ia memahat goresan demi goresan luka yang memerih di sana… di hati si anak aneh yang selalu berusaha tampil setegar dinding sedimen Grand Canyon.

“Baik. Kalau begitu, mengapa kau tak segera menarik jarak sejauh mungkin dariku? Jangan gentayangan dan gentawilan di sekitarku, ok? Dan mulai saat ini juga, ku mohon, Gentong, berhentilah cari-cari masalah denganku. Kau mengerti?”

Genta terperangah dibuatnya. Tak menyangka sama sekali akan mendapat maneuver setajam ini. Tenang dan begitu tepat sasaran. Seperti laku burung hantu dalam setiap intai dan sergap mangsanya secara senyap.

**

[G is for Gone]

**

Sudah seminggu sejak anak itu mencetak kata abstain dari buku kehadiran siswa. Genta lemas. Seperti udara, sesalnya seakan tak berkesudahan. Ia mulai tak memberi maaf pada dirinya sendiri. Hingga datang suatu hari, seorang pria tua yang ia kenali sebagai Pak Bon, petugas penjaga sekolah merangkap tukang kebun yang juga diamanahi menjadi imam masjid di sekolahnya.

“Mas Genta ya?” tegur si bapak dengan lembut dan senyum bijak yang meneduhkan. Seketika itu mengingatkan Genta pada anak perempuan yang sering diganggunya. Aiih, Genta…

“Ya, Pak. Saya Genta, panggil saja Genta,” mendadak Genta kecolongan taji. Selama ini tak seorangpun ia takuti. Tidak pada Pak Kaprawie, guru Kimia yang terkenal galak ataupun Bu Kartemimi, guru Matematika yang sadis. Mungkin karena ia merasa unggul dalam mata pelajaran terkait. Tapi di hadapan bapak tua yang berpenampilan sangat bersahaja ini, Genta kehilangan pesona dan rasa jumawanya.

 

“Walau bapak tidak tahu persis kenakalan macam apa yang telah dilakukan Nay, karena Nay tak mau terus terang meski sudah didesak, Bapak tetap ingin menyampaikan permohonan maaf atas kesalahan Nay pada Mas Genta. Tapi maaf Mas, untuk memindahkan Nay dari sekolah ini seperti tuntutan Mas Genta padanya, sungguh Bapak merasa sangat keberatan. Apalah lagi kalau bukan disebabkan masalah biaya. Disini, walau Bapak hanya pegawai rendahan, namun Bapak bisa mendapat keringanan biaya sekolah Nay. Jadi, Bapak mohon pengertian dari Mas Genta. Boleh ya Mas?”

Genta terlongong-longong. Ini pertama kalinya ada seorang seumuran ayahnya yang datang dengan sopan-santun yang rasanya amat tak pantas ia peroleh, apalagi disertai permohonan maaf kepadanya. Tak hanya itu, Genta tersentak mengetahui fakta bahwa…

“Nai… Naiya, pu…putri Bapak?” bak si pandir Genta bertanya.

Kini menjadi masuk akal bagi Genta mengapa anak itu betah sekali di kebun belakang sekolah. Dan, oh tidak, tidak! Genta memaki-maki kedunguannya sendiri. Teringat betapa kejam dan tak berhati setiap kata yang telah ia lontarkan pada Nay. Mengapa kau tidak pindah sekolah saja? Kau jelas berbeda. Kau dengan baju dan kerudung nenek-nenekmu itu.

Rambut ‘Keith Urban’nya sudah dipangkas licin tak bersisa. Genta berharap iapun sanggup meremukkan mulut belatinya andai semua itu dapat mengembalikan kehadiran Nay. Malangnya, anak itu ternyata sudah diseberangkan ayahnya ke pulau Sumatra. Betapapun ia menyakiti diri, sesalnya tak kunjung henti. Peluang melayang, waktu yang berharga sia-sia terbuang. Si bodoh Genta akhirnya menyerah pada jarum dan selang infuse serta beberapa perawatan medis demi mengutuhkan kembali tulang-tulang jari tangannya yang mengalami dislokasi akibat hantaman membati buta yang ia lakukan terhadap dinding tak bersalah. Dinding bisu belakang sekolah yang kini bertoreh graffiti berdarah.

Nay. Nay. Nay. Bibir Genta bergetar hebat menyebutnya. Dalam keputus-asaan, dirabanya sesuatu dalam saku celana. Sesuatu yang menjadi benda wajib untuk dibawa ke sekolahnya melebihi buku, pe-er, pulpen ataupun uang saku. Sesuatu yang telah lama menjadi senjata andalannya untuk mengganggu Nay. Sesuatu yang tiba-tiba saja menjadi tak lagi berguna. Sapu tangan itu…

**

[G is for Goodbye]

**

Sebuah gedung ternama di ibukota telah disewa. Kini aula gedung itu telah bersolek indah. Event besar ini merupakan ide Genta. Maka sebagian besar dananya telah disanggupi Genta berasal dari kocek pribadinya. Tentu saja dengan kesepakatan bahwa panitia takkan mengutip namanya dalam daftar para donatur reuni akbar ini. Genta tak ingin membodohi dirinya sendiri dan menjadi eksklusif di mata siapapun, terutama teman-temannya. Baginya itu sangat menuntut jarak. Genta selalu mendamba penghapusan jarak. Genta selalu menginginkan seminim mungkin jarak. Ia sangat membenci melebarkan jarak. Apalagi setelah tahun-tahun yang menyiksanya, akibat jarak yang tercipta karena kebodohannya. Kinipun tujuannya tak lain hanya ingin bertemu dengan si penyulam untuk mendulang maaf. Genta ingin segera menyudahi mimpi-mimpi buruknya sekian tahun ini. Rasa bersalah yang tak payah memburu sepanjang masa dewasanya, hingga sulit baginya memandang gadis manapun. Mata, hati, jiwa dan pikirannya hanya menghendaki seraut wajah di masa lalu. Bahkan bilapun keadaan sudah sangat berubah. Genta sudah memutuskan hari ini akan menjadi akhir dari segala penderitaannya.

“Genta!”

“Hai, Genta kan? Benar kamu Genta kan?”

Jabat tangan, pelukan, dan semua ramah-tamah itu membawa Genta kembali ke masa-masa penuh gelora dan hasrat semau gua. Genta, Genta, Genta. Siapa yang tak segera mengenalinya. Agaknya ia tak banyak berubah. Tapi mengapa tak ada suara yang menyebut Gentong? Gentayangan? Gentawilan? Benarkah creator nama itu tak ada di sini? Padahal iklannya tersebar di lima tv nasional, sepuluh surat kabar paling terkemuka dan panitia pun telah mendapat konfirmasi dari setiap undangan yang disebarkan.

Genta, pria berperawakan gelap tinggi tegap itu mondar-mandir antara meja penerima tamu. Tiga meja telah ia periksa dengan seksama. Seperti di meja-meja sebelumnya, pada meja keempat pun, buku tamu terpampang lebar, di sanalah Genta menaruh harapannya.

Regina, Regina Puspandari. Mata Genta terantuk pada nama itu. Lalu telunjuknya mengarah pada kolom setelahnya. Tertulis: datang bersama suami, lalu alamat tempat tinggal, kemudian kolom pesan dan kesan, terakhir paraf atau tanda tangan.

Usai menemukan nama Gina, telunjuk besar Genta masih diseret ke bawah, menelusuri nama demi nama. Ya, bukan Gina yang ia cari. Pada event bernuansa nostalgia ini, bertemu Gina tak lagi istimewa. Boleh dikata ia bahkan telah jemu karena Gina bersama suaminya yang pengusaha itu telah lama menjalin kemitraan dalam bisnis. Tiba di baris terbawah, telunjuk itu terkulai, Genta gagal menemukan sebuah nama.

Genta mengedarkan pandangannya ke setiap sudut aula. Ruang besar itu telah dijejali dengan alumnus SMPnya. Baginya, hari ini adalah hari tersulit mengenali satu per satu orang. Tak hanya bobot tubuh, bobot kesuksesan pun telah mengubah seluruh penampilan mereka. Bukankah telah menjadi aturan tak tertulis bila reuni kerap menjadi ajang unjuk kehebatan?

Genta diserbu gelisah. Ooh, datang, datanglah. Kumohon datanglah. Ada yang harus kusampaikan kepadamu.Batin Genta berbisik memohon. Ia pasti datang, hanya saja sesuatu mungkin telah membuatnya datang terlambat. Genta menjenguk wajah arlojinya. Masih tersisa cukup waktu hingga acara dimulai dengan pidato basa-basi berlumur puja-puji.

“Aku belum menemukannya, Gen. Kau?” teguran Regina membuyarkan lamunan Genta.

Genta menggeleng. “Belum,” jawabnya seraya kembali menajamkan pandangannya pada ruangan yang menjanjikan kenangan.

“Semoga ia bisa datang ke reuni ini. Mari, jangan berhenti berharap,” tutur Regina tulus. Dari  balik lengkung indah bulu matanya, Regina menatap iba pada pria yang pernah ia tangisi siang dan malam karena berharap cintanya terbalaskan. Pria yang pernah mengisi setiap menit, setiap helaan nafasnya, pria yang namanya banyak ia gurat di antara catatan pelajaran di masa putih-biru, putih-abu-abu, masa lalu yang masih membuatnya sendu sekali tempo.

Rahajeng. Renata. Ruli. Rindiani. Ratri. Rismawati. Rusmala. Rosarinda. Rukmini. Ratih. Rini. Nyaris semua nama berawal R telah Genta periksa. Namun tidak dengan R yang tersulam di saputangan keramatnya.

Hingga reuni benar-benar berakhir dengan acara foto bersama, Genta harus menggelandang kekecewaannya hingga ke kota kecil tempat segala urusan pedih ini bermula. Setiap pulang ke kota ini, Genta tak lupa menyempatkan diri mengunjungi area yang di masa lalu merupakan tempat favoritnya. Gedung sasana olahraga telah tumbuh membesar. Sekeliling gedung tak lagi menjadi pusat makanan serba ada. Rerumput hijau kini mendominasi. Lapang sejauh mata memandang. Kanak-kanak meluncur di atas sepatu beroda. Remaja unjuk kebolehannya menerbangkan papan seluncurnya. Paruh baya berlari-lari kecil. Tak ada lagi kehangatan warung tenda bertabur bohlam temaram. Entah kemana kini hendak mencari, si anak perempuan dengan kepangan tebal yang disembunyikan di balik kain panjang.

Nay. Nay. Nay.

Sudut mata Genta merebak. Tangannya mengusap lembut selampai kesayangan. Sapu tangan yang sangat ia yakini satu-satunya di dunia. Sehelai cita dengan sulaman tiada dua. Sebentuk bahtera mungil melekat di sudut. Tampaknya tengah berlayar dalam naungan matahari yang semburat sinarnya bukan sekedar garis lurus memanjang, namun serangkaian aksara kapital yang sama dan disulam sambung menyambung.

Belum lagi pesan tersembunyi yang hanya ia dan si pesulam itu sendiri mengetahui. Bunyi pesannya sungguh menggetarkan hati. Getarannya tak lekang melalui masa demi masa yang telah silih berganti. “Sertakanku dalam bahteramu, Gentaku.”

Dan lingkaran yang diserupakan matahari dengan semburat sinarnya dalam sulaman aksara R kapital bersambungan, Genta pernah temukan sulaman khas itu di sudut-sudut kain taplak yang menutupi meja-meja di warung tenda itu, dan yaa… tentu saja, di ujung kerudung yang menjuntai gemulai ikuti gerak ayun langkah Nay… Rinai Cahyaning Tyas. Nama anak itu.

-o0o-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun