Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saputangan Genta... [1/3]

20 Mei 2016   21:01 Diperbarui: 26 Mei 2016   20:02 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Mas Genta ya?” tegur si bapak dengan lembut dan senyum bijak yang meneduhkan. Seketika itu mengingatkan Genta pada anak perempuan yang sering diganggunya. Aiih, Genta…

“Ya, Pak. Saya Genta, panggil saja Genta,” mendadak Genta kecolongan taji. Selama ini tak seorangpun ia takuti. Tidak pada Pak Kaprawie, guru Kimia yang terkenal galak ataupun Bu Kartemimi, guru Matematika yang sadis. Mungkin karena ia merasa unggul dalam mata pelajaran terkait. Tapi di hadapan bapak tua yang berpenampilan sangat bersahaja ini, Genta kehilangan pesona dan rasa jumawanya.

 

“Walau bapak tidak tahu persis kenakalan macam apa yang telah dilakukan Nay, karena Nay tak mau terus terang meski sudah didesak, Bapak tetap ingin menyampaikan permohonan maaf atas kesalahan Nay pada Mas Genta. Tapi maaf Mas, untuk memindahkan Nay dari sekolah ini seperti tuntutan Mas Genta padanya, sungguh Bapak merasa sangat keberatan. Apalah lagi kalau bukan disebabkan masalah biaya. Disini, walau Bapak hanya pegawai rendahan, namun Bapak bisa mendapat keringanan biaya sekolah Nay. Jadi, Bapak mohon pengertian dari Mas Genta. Boleh ya Mas?”

Genta terlongong-longong. Ini pertama kalinya ada seorang seumuran ayahnya yang datang dengan sopan-santun yang rasanya amat tak pantas ia peroleh, apalagi disertai permohonan maaf kepadanya. Tak hanya itu, Genta tersentak mengetahui fakta bahwa…

“Nai… Naiya, pu…putri Bapak?” bak si pandir Genta bertanya.

Kini menjadi masuk akal bagi Genta mengapa anak itu betah sekali di kebun belakang sekolah. Dan, oh tidak, tidak! Genta memaki-maki kedunguannya sendiri. Teringat betapa kejam dan tak berhati setiap kata yang telah ia lontarkan pada Nay. Mengapa kau tidak pindah sekolah saja? Kau jelas berbeda. Kau dengan baju dan kerudung nenek-nenekmu itu.

Rambut ‘Keith Urban’nya sudah dipangkas licin tak bersisa. Genta berharap iapun sanggup meremukkan mulut belatinya andai semua itu dapat mengembalikan kehadiran Nay. Malangnya, anak itu ternyata sudah diseberangkan ayahnya ke pulau Sumatra. Betapapun ia menyakiti diri, sesalnya tak kunjung henti. Peluang melayang, waktu yang berharga sia-sia terbuang. Si bodoh Genta akhirnya menyerah pada jarum dan selang infuse serta beberapa perawatan medis demi mengutuhkan kembali tulang-tulang jari tangannya yang mengalami dislokasi akibat hantaman membati buta yang ia lakukan terhadap dinding tak bersalah. Dinding bisu belakang sekolah yang kini bertoreh graffiti berdarah.

Nay. Nay. Nay. Bibir Genta bergetar hebat menyebutnya. Dalam keputus-asaan, dirabanya sesuatu dalam saku celana. Sesuatu yang menjadi benda wajib untuk dibawa ke sekolahnya melebihi buku, pe-er, pulpen ataupun uang saku. Sesuatu yang telah lama menjadi senjata andalannya untuk mengganggu Nay. Sesuatu yang tiba-tiba saja menjadi tak lagi berguna. Sapu tangan itu…

**

[G is for Goodbye]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun