Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saputangan Genta... [1/3]

20 Mei 2016   21:01 Diperbarui: 26 Mei 2016   20:02 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dalam kegaduhan itu, Genta berharap dapat memergoki satu wajah saja bermuram durja atas ‘perjodohannya’ itu. Tapi harapannya mandul. Seseorang yang diharapnya berduka, nyatanya bersikap tak peduli pada ‘gosip terpanas’ di kelasnya. Oh, Genta benar-benar diterpa gelombang kecewa pada petugas piket hari itu, pada anak perempuan yang biasa ia buntuti tiap pagi, anak yang tengah menghapus papan tulis dan tampak tak terpengaruh sedikitpun dengan kegemparan yang tengah melanda kelasnya. Anak itu tetap menyelesaikan tugasnya dengan baik. Lihatlah betapa mengkilap papan hitam itu, tak tersisa satu goresan kapur pun. Lalu ia melangkah tenang meninggalkan ruang kelas. Menepuk-tepuk balok penghapus di tiang yang tersedia. Genta bahkan tak luput merekam saat anak itu terbatuk-batuk kecil oleh serbuan partikel kapur yang berterbangan. Matanya mendelik gemas melihat anak itu tenang mencuci tangan, meremas kain lap sejenak, mengembalikan balok penghapus, lalu mendaratkan bokongnya di kursi, bersiap menerima mata pelajaran berikutnya. Genta sempat berpikir mungkin anak itu ada menderita gangguan pendengaran.

Dari sayap kanan di kelas III A2 itu, Gina tersenyum masam mendapati arah pandangan Genta. Hati remajanya galau bukan kepalang mengalahkan bahagia yang belum lamapun berselang.

**

[G is for Gina]

**

“Ngapain ke perpustakaan? Buku apa yang tak ada di perpustakaan rumahmu?” pernah Gina bertanya.

Ingin tahu saja bacaan macam apa yang tengah dibaca anak itu. Demikian Genta ingin menjawab, namun selalu tak tega demi melihat wajah cantik Gina. Cukuplah seorang saja yang telah tersakiti oleh belati di mulutnya.

“Dan ngapain juga di kebun? Bantuin Pak Bon?” Gina masih bertanya meski sesungguhnya gadis itu dapat menerka alasan keberadaan Genta di kebun belakang sekolah. Alasan yang tentu sangat meresahkan hati belianya. Gina menghela nafas, sedemikian berat seolah ada pesawat ulang-alik luar angkasa tersesat di kerongkongannya. Leher jenjang yang dijaga seuntai rantai emas berdisain manis itu entah berapa kali meneguk liur sendiri. Gina putus asa. Remaja cantik itu sudah lelah berharap pada Genta. Ia pun telah muak berbohong. Dusta yang harus digembar-gemborkan ke gang-nya tentang wakuncar yang romantis dan menyenangkan bersama Genta. Semua demi tak kehilangan muka.

“Bolos sekali aja kenapa, Gen? Ya? Ayolah,” Gina merengek tak sekali dua kali.

“Sori, Gin, ngga bisa. Targetku adalah menjadi yang tercepat menyabet black-belt,” Genta beralasan pada mangkirnya ia setiap malam Minggu ke rumah Gina.

“Tapi latihannya paling lama dua jam bukan? Masih ada waktu mampir ke rumahku sebelum atau sesudah berlatih. Kita bisa mengobrol sambil mendengarkan musik ditemani kudapan yang enak-enak, bagaimana?” Gina tak kurang usaha.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun