Mohon tunggu...
Jane Nj
Jane Nj Mohon Tunggu... Cleaning Service -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ingin Kupeluk Mereka

26 Maret 2019   12:00 Diperbarui: 26 Maret 2019   12:13 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Wanita itu meninggalkan anak-anaknya dan bekerja jauh dari kota yang telah mambesarkan dia selama ini.

"Suami kawin lagi dan gak pernah kasih nafkah. Sibuk sama istri barunya," setetes airmata jatuh dari pelupuk mata.

Kalau saat itu suamiku menikah lagi tapi dia tetap tidak melepas tanggung jawabnya menafkahi anak-anak, aku tidak akan meninggalkan mereka. Begitu kira-kira sanggahnya pada orang-orang sekitar yang selalu menyalahkan dia atas semua yang terjadi saat ini.

Aku membayangkan, betapa sulitnya memang bekerja sekaligus merawat tiga orang anak yang semuanya masih kecil-kecil. Perusahaan mana yang memperbolehkan membawa tiga anak sekaligus sambil bekerja. Hingga akhirnya, dia pun mengambil tindakan meninggalkan mereka dan menitipkan pada mertua.

Awalnya, mertua mengiyakan. Tapi, beberapa bulan berselang justru dia tidak boleh melihat ketiga anaknya lagi. Hingga mereka dewasa dan sekarang tidak mempedulikan ibunya lagi.

Ketiga anaknya tidak ada yang mau merawat dengan alasan mereka pun tidak dirawat oleh orang yang telah melahirkannya.

"Kami tinggal bersama nenek," begitu jawab salahsatu anaknya ketika seorang petugas dinas sosial datang dan memberitahu bahwa ibu mereka sedang sakit.

Orang hanya tahu dia meninggalkan anak-anaknya, tetapi mereka tidak tahu kalau selama itu pun ada rasa sakit yang menyayat hati. Sakit karena dikhianati, sakit karena diabaikan bahkan sakit karena dituduh dialah yang bersalah atas perceraian yang terjadi setelah satu tahun suaminya menikah lagi.

Mertua? Dia enggan bercerita walau sudah dipaksa. "Malas," jawabnya lesu. Ternyata, memang hubungan keduanya tidak harmonis. Usut punya usut, si ibu lebih memilih membela anaknya ketika masalah keluarga melanda keduanya.

"Tuhan jahat! Mengapa dia ambil kedua orangtuaku sejak aku masih kecil," bibirnya bergetar saat dia mengucapkan itu, tetes demi tetes airmata jatuh membasahi pipi. Sesekali tangan keriput itu menyekanya, tetapi sia-sia karena yang keluar pun bertambah banyak.

"Jika saja orangtuaku masih ada , mungkin lebih baik menitipkan anak-anak kepada mereka daripada ibu suamiku," lanjutnya lagi parau.

Aku menghela napas berat. Hubungan yang tidak harmonis dengan mertua, orangtua yang bisa dijadikan tempat pelipur lara tidak ada, suami yang tidak peduli terhadap istrinya hingga akhirnya menghasilkan anak-anak yang membenci ibu mereka.

Apakah wanita masih disalahkan dalam hal ini?

Saat itu usia keduanya masih sangat muda, tetapi nekat menikah dengan alasan yang berbeda.

"Supaya ada yang melindungiku," dia mengemukakan alasan. Wajar jika ada pemikiran seperti itu dalam otaknya. Sejak kecil wanita itu tinggal bersama bibi, adik dari bapak.

"Orangtuaku meninggal karena kecelakaan. Tertabrak bus pada saat ke pasar membelikan aku baju seragam sekolah. Semuanya gara-gara aku..." dia terdiam. Ada luka yang teramat dalam sepertinya.

Aku tetap sabar menunggu kelanjutan cerita wanita  itu. Rasanya pipiku menggelembung karena menahan cairan yang berdesak-desakan ingin keluar dari pelupuk mata ini.

"Pagi itu aku merengek minta dibelikan baju seragam karena yang lama sudah lusuh. Ayah mengatakan kalau dia sangat lelah. Tapi aku tetap memaksa karena malu di ledek teman-teman," dia menunduk, menatap kaki yang telapaknya bertelanjang.

Dia bercerita kalau siang hari itu orangtuanya  pergi untuk membeli seragam dengan menaiki sepeda ontel. Malamnya mereka kembali menpati janji dengan membawa seragam baru, tapi itu terakhir dia melihatnya karena mereka pergi untuk selama-lamanya.

"Aku tak sempat melihat bahkan mencium wajah keduanya sebagai tanda perpisahan, karena mereka sudah tertutup rapat kain kafan."

Semenjak orangtuanya meninggal, dia tinggal bersama adik dari bapak karena usia yang tidak memungkinkan untuknya hidup sendiri.

"Paman saya genit. Kadang suka colak colek, bahkan aku pernah diciumnya. Tinggal di rumah itu serasa tinggal di rumah berhantu, ketakutan mencekam setiap saat,"

Karena tidak tahan dengan keusilan pamannya akhirnya dia memutuskan ikut kerja di sebuah pabrik. Sekolah tak dilanjut, hanya sampai SD kelas empat. Terbebas dari rumah itu keadaan sedikit membaik, setidaknya dia bisa merasakan indahnya dunia luar. Bergaul dengan teman sebaya hingga akirnya bertemu dengan seseorang yang menawarkan cinta.

Marsudi, nama lelaki itu!

***

Ternyata, meninggalkan rumah bibinya adalah keputusan tepat, walaupun sempat terlontar makian dari mulut wanita itu ketika dia pergi.

"Bibi tidak mengijinkan aku pergi bukan karena dia menyayangiku tapi tidak akan ada lagi yang membantu pekerjaan rumah. Anak bibi tiga, semuanya masih kecil. Ditambah lagi dia harus bekerja bersama suaminya diladang," tutur Darsih pelan.

Darsih yang keluar dari rumah bibinya menjadi gadis yang mandiri. Dengan berbekal nekat dia berangkat ke kota lain mengikuti jejak temannya yang sudah bekerja di pabrik konveksi. Usianya masih terhitung belia saat itu, empat belas tahun.

Awalnya dia hanya bertugas membuang benang dari sisa jahitan para penjahit. Borongan, upahnya pun tak seberapa tetapi cukuplah untuk mengisi perutnya yang kecil.

"Jangan cuma buang benang, sini kuajari menjahit," Ratmi sahabatnya yang membawa dia sampai kemari menawarkan jasa.

Darsih tentu saja tidak menolak tawaran tersebut, dia senang sekali mendapat privat menjahit dengan gratis. Di luar sana, katanya kursus menjahit itu biaya banyak, yang paling terkenal itu Juliana Jaya. Dia sering melihat selebarannya yang tertempel di pohon-pohon atau tiang listrik pinggir jalan.

Setiap istirahat Darsih menggunakan waktunya untuk belajar. Biasanya bahan-bahan sisa dia minta dari tukang potong untuk kemudian dijahit sesuka hati untuk melancarkan gerakan tangannya.

"Jangan ambil kain-kain itu!" bentak seorang laki-laki berbadan tegap. Darsono namanya, dia tukang potong senior di pabrik ini. Desus yang terdengar, lelaki itu adalah karyawan kesayangan pemilik garmen.

"Sudah jangan didengar, ini ambilah," seorang lelaki bertubuh kecil menghampiri Darsih yang masih tercekat karena kaget. "Butuh berapa banyak, besok biar kusisakan buatmu," lanjutnya lagi.

Darsih tidak menjawab, tangannya mengambil kain-kain perca berwarna-warni tersebut. Matanya sempat beradu tatap dengan pemuda baik hati tersebut. Posturnya tidak terlalu tinggi, hampir sama dengan tubuh Darsih.

"Hey Marsudi, mau sampai kapan kamu lama-lama diri disitu. Cepetan gelar lagi bahannya, biar dapat uang banyak hari ini kita" teriak Darsono membuat keduanya terhenyak kaget dan menyadari kalau bukan hanya mereka yang berada di ruangan tersebut.

Suara suitan dan ledekan beberapa tukang potong membuat pipi Darsih memerah karena malu. Dia segera meninggalkan pemuda baik hati yang ternyata bernama Marsudi tersebut.

Hari-hari berikutnya, Darsih tidak usah repot-repot lagi ke ruang potong. Perca-perca tersebut datang sendiri ke mejanya.

"Baik banget dia," ledek Ratmi pada sahabatnya.

Darsih diam. Dia tidak mau menanggapi godaan Ratmi. Tapi, seketika perca-perca tersebut membuatnya menjadi tidak fokus. Dia tersenyum sendiri ketika potongan-potongan kain tersebut berubah jadi wajah Marsudi. Kakinya berhenti, tangannya pun tidak bergerak. Pikirannya lebih memilih untuk mengingat perjumpaan pertama mereka di ruang potong.

"Kalau suka nanti biar kusalami sama dia," bisik Ratmi membuat Darsih terhenyak dari lamunannya dan wajah-wajah Marsudi berubah menjadi potongan-potogan kain berwarna-warni.

"Ngomong apa sih kamu!" Darsih tersipu malu sedangkan Ratmi cekikikan melihat rona merah di pipi temannya.

Mulut Darsih bisa saja berkata tidak, tetapi hati nyatanya tidak bisa berbohong. Bagaimana dia sering mencuri-curi pandang ketika Marsudi lewat tempatnya memotong benang hingga jarinya pun menjadi korban. Dia juga selalu bahagia ketika Ratmi menyampaikan salam dari pemuda itu yang dititipkan padanya berbarengan dengan datangnya sekantong kain perca.

"Buat kamu," tanpa melihat wajah pemuda itu Darsih memberikan kantong berisi kain perca-kain perca pemberian Darso yang sudah dijahitnya menjadi keset dan taplak meja. Itu adalah hasil jahitannya yang paling bagus.

"Eh sudah lancar menjahitnya?" tanya Marsudi kalem.

Darsih mengangguk pelan,"Besok aku mulai pegang mesin jahit," sahutnya kemudian bahagia. Kepalanya menunduk, tidak berani menatap lelaki itu.

"Berarti, kamu tidak butuh kain-kain perca itu lagi," Darsih mengangguk, sedangkan Marsudi terlihat lesu. "Kalau begitu lebih baik kamu tak pernah bisa menjahit saja," gerutu pemuda itu pelan.

Dahi Darsih mengernyit, kepalanya terangkat menatap Marsudi yang terlihat sedih. Kenapa? Protesnya dalam hati.

"Aku masih ingin terus melihatmu Darsih, dan kain perca inilah alasanku masuk ke ruang jahit. Kalau kamu tidak butuh kain-kain itu lagi berarti aku tidak ada alasan kesana." Jelasnya setengah kesal.

Darsih menunduk lagi, kali ini dia menyembunyikan senyum bahagia yang tersembul dari bibirnya mendengar alasan yang baru saja didengarnya tadi.

Kalau hanya untuk itu, rasanya banyak tempat untuk kita bertemu. Teriak Darsih dalam hati.

**

Jam besuk panti tempat Darsih dirawat akan segera selesai. Aku bangkit dari duduk dan bersiap meninggalkan wanita itu di kamarnya.

"Besok datang lagi. Banyak yang ingin aku ceritakan padamu," pesannya menggenggam jemariku.

Aku tersenyum dan mengangguk pelan. Menyenangkan sekali bisa melihat wanita itu tersenyum dan bicara panjang lebar. Dari informasi yang diceritakan perawat, kondisi wanita itu sangatlah lemah. Pakaian yang digunakannya pun tidak layak pakai, penuh tambalan.

"Dia pingsan dipinggir jalan, kemudian dibawa lah kesini oleh warga sekitar," terang perawat bernama Dea sedih. "Sekarang sih dia sudah sedikit berisi badannya dan sudah mau ngomong walaupun hanya sebentar," tambahnya lagi.

Aku pun senang mendengar hal itu. Beruntunglah tidak melihat kondisi wanita itu saat dia sedang sekarat dulu. Aku sendiri sebenarnya tidak sengaja berada disini, hanya iseng sekedar mencari tahu kehidupan para penghuni panti yang sengaja tinggal karena korban keangkuhan keluarga mereka.

Banyak dari mereka penghuni panti yang sebenarnya dari keluarga kaya. Ditelantarkan oleh anak-anak mereka dengan alasan tidak ada yang bisa menjaga karena semua sibuk bekerja. Jika punya kelebihan uang, kenapa tidak meminta jasa pembantu saja daripada menyerahkan orang yang telah membesarkan mereka ke panti.

Disaat usia menua, bukankah dukungan dari keluarga yang bisa menjadi penyemangat mereka sambil menunggu ajal yang kapan saja bisa datang.

Darsih beda dengan mereka kebanyakan penghuni panti disini. Dia korban dari ketidakadilan  laki-laki bernama Marsudi. Aku juga tidak mengenal Marsudi, tetapi dari sedikit cerita wanita itu sepertinya dia bukanlah lelaki yang bisa menjaga keluarganya.

"Eh sudah pulang kau dari panti?" tegur Sisi teman satu kamar yang kebetulan juga teman satu kelas.

Aku mengangguk pelan, melempar sepatu yang kukenakan tadi ke pojok ruangan. Akhir-akhir ini sering terjadi kehilangan, jadi terpaksa sepatu kumal pun kutaruh di dalam kamar kos. Tidak kupedulikan wajah Sisi yang cemberut tiap kali melihat sepatu itu.

"Kenapa suka sekali sih kesana? Kaya gak ada kerjaan lain aja," komentar Sisi kemudian merebahkan tubuhnya di sebelahku. Tubuh besarnya nyaris membuat spring bed  yang mereka duduki turun beberapa inci.

"Nanti juga kau tahu, kalau sudah tiba saatnya," jawabku bangkit dari bed. Menyambar handuk menuju kamar mandi.

***

Hari ini dia sudah berjanji mengajak Darsih sanh pujaan hati nonton film. Sengaja dia membawa baju ganti supaya mengurangi bau keringat yang bisa saja tercium oleh wanita itu. Kalau biasanya ketika berangkat ke pabrik dia tak mandi, hari justru sudah tiga kali lelaki itu membasuh diri.

"Tetap saja kulitmu tak akan putih Sud walau kau mandi ratusan kali," ejek Darsono ketika melihat Marsudi mengeringkan badannya dengan kaos yang seharian tadi dipakai.

Marsudi tidak peduli sindiran seniornya tersebut. Dia masuk ke dalam gudang bahan dan berganti pakaian. Setelah rapih kemudian pergi meninggalkan ruangan potong. Diabaikan panggilan Darsono yang menyuruhnya kembali karena banyaknya bahan yang belum di potong.

Ini kan malam minggu, peduli setan dengan bahan-bahan itu. Pikir pemuda tersebut sambil mempercepat langkahnya.

"Kami berdebat sebelum masuk ke dalam Misbar," kenang Darsih tersenyum tipis. Aku ikut tersenyum, walau tidak tahu apa yang membuatnya bahagia minimal aku melihat ada sedikit kebahagiaan disitu. "Marsud ingin nonton film Buaya Putih, tapi aku pilihkan film Pengantin Remaja II," lanjutnya lagi.

Aku mengernyitkan dahi.

"Akhirnya aku yang menang, dia membeli tiket Pengantin Remaja. Aku mengancamnya tidak mau nonton lagi kalau tidak menonton film itu," ceritanya dan cukup membuatku tertawa pelan. Ternyata, ancaman seorang wanita nyata bisa melukuhkan hati seorang pria.

Marsudi dan Darsih masuk ke dalama ruangan dengan membawa dua bungkus kacang rebus dan dua bungkus orson berwaran putih dan merah. Duduk di bangku kayu pada baris kelima dari puluhan kursi yang sudah di tata rapih. Walaupun gondok, Marsudi tetap bersikap tenang dihadapan Darsih.

Dari semalam dia sudah membayangkan akan menonton film bintang kesayangannya Yati Octavia dalam film Buaya Putih. Tapi, harus kalah dengan si Ikang Fawzi yang bermain dalam film Pengantin Remaja.

Dia tidak menikmati film tersebut sepanjang pemutaran, karena matanya hanya tertuju pada Darsih. Tapi sayang, wajah gadis itu tidak terlihat karena gelap. Satu-satunya cahaya berasal dari lampu proyektor yang mengarah ke layar lebar di hadapan penonton.

Kesempatan itu akhirnya datang, ketika tiba-tiba Darsih meletakkan pundaknya di bahu Marsudi. Dia menangis karena kedua pemeran utama terbujur kaku di rumah sakit. Ah ternyata ada untungnya juga nonton film ini, pemuda itu bersorak girang dalam hati.

Pelan Marsudi membelai rambut Darsih, rambut yang kemarin masih lurus tapi hari ini sudah bergelombang. Rambut keriting memang sedang trend dikalangan remaja saat itu, termasuk celana model cutbray yang dipakainya saat ini.

"Sudahlah Darsih, masa kamu mau menangis terus," bujuk Marsudi menenangkan Darsih yang masih menangis.

"Kamu tidak maengerti perasaan wanita Marsud," bentak Darsih kesal.

"Ealah...itukan hanya film. Si Ikang Fawzimu itu tidak benar-benar mati, itu hanya akting Darsih...hanya akting," Marsudi menggerutu kesal, ditendangnya angin yang kebetulan lewat didepannya.

"Ah sudahlah, memang kamu tidak mengerti," Darsih mempercepat jalannya meninggalkan Marsudi yang bingung sendiri. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Perempuan itu memang susah dimengerti. Jangankan kamu yangbbau kencur, Parmin yang sudah bau tanah pun tidak bisa memahami mereka," Darso meledek teman kecilnya yang sedang bingung bukan main dengan sikap kekasihnya dan satu jitakan dari Parmin cukup membuat lelaki itu kesakitan.

"Sialan kau bilang aku bau tanah," protes Parmin bersungut kesal.

"Salah aku apa Mas. Masa dia marah karena aku bilang Ikang Fawzimu itu tidak mati sungguhan," gerutu Marsudi dengan muka masam. Darso dan Parmin terkekeh hingga membuat bahan yang sedang mereka bentangkan mencong kanan, mencong kiri.

"Hey Darso...kalau perempuanmu menangis, itu tandanya dia ingin meminta perhatian lebih bukan malah kau protes artis kesayangannya," Parmin angkat bicara.

"Dasar anak bau kencur," ledek Darso lagi.

"Ah sudahlah. Dasar orangtua bau tanah!" Marsudi geram dan meninggalkan kedua seniornya, tak lupa dia mendorong bahan yang siap di potong hingga berantakan. Baik Parmin maupun Darso kesal karena kelakuan Marsudi karena tindakan itu memaksa mereka harus menumpuk ulang bahan-bahan tersebut.

***

"Kami menikah enam bulan setelah nonton," Darsih berhenti sebentar, menghirup udara segar yang dihembuskan alam. Disesapnya teh hangat yang tinggal seperempat gelas itu hingga tidak bersisa.

Aku menatap wanita itu tak berkedip. Usianya baru memasuki angka empat puluh tujuh dua bulan lagi. Mungkin, karena tidak terurus dan kurang makan saja dia jadi terlihat sepuluh tahun lebih tua.

Malam pertama pasangan remaja yang menikah dengan alasan tidak ingin kisah mereka seperti film yang enam bulan lalu di tonton. Saat itu usia Darsih lima belas tahun sedangkan Marsudi menginjak dua puluh tahum.

Darsih tidak membalas ketika berulang kali Marsudi melumat bibirnya. Dia masih sangat letih karena acara tadi siang. Ternyata, berdiri di pelaminan selama hampir dua belas jam itu sangat melelahkan. Habis kesabaran Marsudi karena diabaikan hingga akhirnya dia memilih tidur di ruang tamu.

Barulah seminggu setelah itu dia mengerti apa yang harus dilakukan seorang istri terhadap suaminya diatas ranjang. Ratmi yang mengajarkan itu, dia sampai tergelak ketika Darsih bercerita kalau dia sampai ngumpet ke lemari pakaian karena ketakutan pada Marsudi.

Menjadi istri itu ternyata tidak semudah yang Darsih pikirkan selama ini. Selain harus melayani suami di ranjang tetapi juga harus bisa mengurus rumah tangga. Rumah yang mereka tempati cukup luas, pemberian dari orangtua suaminya. Dan itu yang membuatnya selalu kelelahan hingga akhirnya memutuskan berhenti dari pekerjaannya.

"Sudah Ibu bilang kan. Tapi kamu tetap ngotot minta dinikahkan!" omel ibu mertua Darsih ketika Marsudi mengeluhkan kalau dia butuh uang untuk membeli beras.

"Sudahlah Bu, itu semua kan sudah terjadi. Yang sudah terjadi itu ndak bisa berubah ke awal," ujar bapak meredakan  emosi istrinya.

"Ya ga emosi gimana toh Pak. Lah wong belum bisa cari uang saja sudah berani mengambil anak orang," gerutu wanita itu lagi.

"Marsud kan sudah kerja Bu," Marsudi angkat bicara, panas kupingnya mendengar teriakan ibu yang tidak putus-putus sejak satu jam yang lalu.

"Alah, kerja jadi kenek tukang potong saja kok bangga. Lihat tuh kakakmu, bisa jadi guru disekolah dan jadi pns," puji Ibu bangga.

Marsudi terdiam. Kalau ibu sudah membanggakan kakaknya, itu tandanya tidak ada kesempatan baginya untuk membela diri. Pada kenyataannya memang sang kakak lebih hebat darinya. Menjadi guru di sekolah dasar bahkan sudah diangkat PNS. Dia pun pernah mencicipi jadi guru, tapi hanya sehari setelah itu tidak kembali lagi malah memilih menjadi kenek Darsono di pabrik konveksi.

"Sudah bawa sana uang ini. Belikan beras, kasian istrimu kalau sampai tidak makan. Dia sedang hamilkan?" Bapak menyerahkan empat keping uang logam. Marsudi memgenggam uang tersebut dan memasukannya ke saku kemeja.

"Gimana sih bapak ini, terlalu memanjakan anak," omel ibu Marsudi kesal setelah anaknya meninggalkan rumah mereka.

Suaminya yang di omel tidak menggubris. Dia tetap tenang sambil mengipaskan kopiah ke depan wajahnya.

Tahun 1984 di bulan Agustus. Anak pertama Darsih dan Marsudi lahir dengan bantuan seorang dukun beranak.

"Laki-laki," Mak Ijah si dukun beranak berkata sambil menyerahkan bayi bertubuh mungil itu ke tangan Marsudi.

Ini cucu pertama di keluarga Marsudi, juga di keluarga Darsih. Sayang, kedua orangtua Darsih tidak bisa melihat cucu mereka menyapa dunia. Anak tersebut bukan hanya membawa kebahagiaan bagi keduanya, tetapi juga rezeki yang baik.

Marsudi diangkat jadi mandor, taraf ekonomi mereka semakin membaik. Bukan hanya bisa merapihkan rumah pemberian orangtuanya, Marsudi  juga bisa membeli sepeda ontel untuk alat transportasi. Tahun 1989 anak kedua mereka lahir, seorang laki-laki. Selang dua tahun kemudian disusul anak ketiga, juga laki-laki.

Joko, Darmo dan Agus, mereka tumbuh seperti anak kebanyakan. Bahagia  orangtua yang sangat menyayangi mereka bertiga. Darsih merasa beruntung mempunyai suami seperti Marsudi. Menyayangi keluarga dan bertanggung jawab. Karirnya pun naik seiring dengan bertambahnya usia, beruntung dia pernah merasakan pendidikan sampai SMA. Menjadi pertimbangan pabrik untuk menempatkannya dalam jajaran kepala pabrik.

"Kami bahagia, sangat bahagia," kenang Darsih, suaranya parau. Matanya menatap langit yang mulai gelap. "Sudahlah, sebentar lagi hujan," Darsih bangkit  dari duduknya."

"Aku ingin mendengar ceritamu  lebih banyak lagi,"

Darsih menghela napas. "Aku tidak ingin mengingat peristiwa itu lagi, wanita itu dan kehidupan setelah itu," ucapnya berjalan pelan menuju kamarnya.

Aku terdiam. Mungkin, itu adalah kisah dari hidupnya yang sangat menyakitkan. Tapi, itulah yang kuperlukan, setidaknya untuk membersihkan nama Darsih di depan mata ketiga putranya.

***

Diluar masih gerimis, gigil ketika angin yang masuk melalui kisi-kisi jendela dan pintu menyapa kulit. Wangi aroma mie rebus dari dapur cukup menghangatkan. Tapi sayang, tidak bisa menggugah selera makanku yang sedang turun.

Sudah hampir satu jam aku berada di depan laptop, tanpa ada yang  bisa aku ketik satu kata pun. Semuanya seperti hilang begitu saja. Otakku terasa kosong, yang tertinggal hanyalah bayangan-bayangan yang diceritakan Darsih tadi siang.

Marsudi mematikan mesin motornya ketika sampai di halaman rumah. Setengah berlari laki-laki itu masuk dengan menendang pintu ruang tamu, mengagetkan Darsih dan ketiga anaknya yang sedang makan siang.

"Dasar kau wanita sundel!" laki-laki itu langsung menjambak rambut Darsih dan menariknya ke kamar.

Tanpa memberikan kesempatan istrinya bertanya tangan kekar itu menghujani pipi Darsih dengan tamparan. Suara tangis ketiga anaknya yang berada di ruang tengah pecah bersamaan dengan airmata yang merembes dari pelupuk mata wanita itu.

"Ya ampuun ada apa ini. Ko pada nangis semua?" terdengar suara mertuanya di ruang tengah tempat anak-anak berada. Mungkin tangisan ketiga bocah tersebut sampai hingga ke rumah mereka yang hanya berjarak beberapa meter saja.

Marsudi menghentikan tamparannya. Lelaki itu keluar dari kamar dan pergi meninggalkan rumah. Darsih terduduk di pojok tempat tidur, menunduk dengan airmata yang terus meleleh.

"Ini ada apa toh. Ribut kok di depan anak, sampe mereka ketakutan begitu," ibu mertuanya marah.

Darsih tetap diam, bingung harus menjawab apa. Dia pu. Tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi? Ada yang salahkah dengan dirinya hingga Marsudi semarah itu?

Marsudi tidak pulang ke rumah, entah dimana laki-laki itu berada. Darsih coba menelpon ke pabrik dengan meminjam telpon milik kecamatan.

"Bapak sedang sibuk," itu jawaban yang dia dapatkan dari staff yang mengangkat telpon.

Hingga hari keempat setelah keributan tanpa sebab itu, Marsudi pulang dengan keadaan kusut. Dia terlihat sangat letih. Darsih membiarkan lelaki itu tidur dengan masih memakai seragam lengkap dengan sepatu. Ketika di lihatnya laki-laki itu sudah terlelap dengan sabar dia membukakan sepatu suaminya.

Hidungnya sengaja di dekat kan pada bibir Marsud. Lelaki itu mabuk. Dulu, dia sudah berjanji untuk meninggalkan minuman keras. Pasti ada sesuatu yang sedang mengacaukan pikirannya.

Malamnya, Marsudi lebih memilih tidur di luar ketimbang di kamar. Empat hari mereka berpisah, tak rindukah dia dengan Darsih? Biasanya lelaki itu selalu bilang,  berpisah satu hari seperti setahun baginya.

Rumah yang biasanya ceria itu menjadi beku, seperti ada salju yang menutupinya. Marsud lebih sering berada di pabrik ketimbang di rumah. Meleleh airmata Darsih setiap anak-anaknya bertanya, kemana Bapak? Atau ketika si kecil Agus merengek ingin bertemu dengan Bapak. Ah itu semua menyakitkan, lebih menyakitkan lagi ketika sebulan kemudian dua orang paruh baya datang ke rumah mertuanya. Meminta pertanggungjawaban karena anak gadis mereka hamil. Marsud pelakunya.

Namanya Ratna, usia wanita itu baru tujuh belas tahun. Dia anak dari salah satu penjual di kantin pabrik.

"Semuanya gara-gara kamu Darsih," tuduhan itu dilontarkan ibu mertuanya ketika Darsih coba membagi kesedihan yang dia rasakan.

Darsih terdiam. Yah salahkan saja semuanya padaku, jeritnya dalam hati. Ingin mempunyai anak perempuan itu terlalu dibuat-buat Marsud ketika Darsih meminta alasan mengapa ingin menikah lagi. Pertengakaran satu bulan lalu sengaja di buat lelaki itu sebagai alasan untuk menjelekkan Darsih di depan ibunya.

Selalu saja ada yang di komplen Marsud. Masakan kurang garam lah, baju setrikanya kurang rapih lah sampai rumput di depan rumah kering pun semuanya salah Darsih.  Laki-laki itu berhasil, mempengaruhi ibu dan orang sekitarnya hingga Darsih dianggap tidak becus sebagai istri, dia dianggap gagal. Padahal kalau  memang Darsih tidak becus mengurus rumah tangga mereka, mengapa harus menunggu bertahun-tahun untuk protes. Lelaki memang selalu ada alasan untuk menghujat istrinya padahal sesungguhnya dia hanya mencari lubang yang lebih sempit.

Ibu mertua yang sudah tidak menyukai Darsih sejak mereka menikah menjadi semakin membenci perempuan malang itu. Rencana untuk Marsudi yang sudah menjadi rahasia umum adalah dia akan dinikahkan dengan Sundari. Gadis manis yang masih kerabat jauh.

Selain manis, dia juga seorang guru dan bahkan sekarang sudah menjadi kepala sekolah.

Kalau perempuan itu mau sadar diri, sebenarnya gadis yang dijodohkan dengan Marsudi itu pun mungkin lebih bahagia  tidak jadi menikah dengan anaknya. Apalah Marsudi dulu, hanya seorang tukang kenek potong di konveksi. Mana ada wanita pintar mau dengan kuli borongan seperti dia. Mengapa tidak terpikir di otaknya kalau rezeki yang datang pada anaknya tersebut karena dia menikah dengan Darsih. Nyatanya, memang kebencian mengalahkan nalar dan akal sehat yang dimiliki manusia. Semuanya salah Darsih, semuanya salah perempuan.

Marsudi dan Ratna sudah menikah. Mereka tinggal di rumah orangtua Ratna yang letaknya tidak jauh dari pabrik. Darsih tidak bercerai dengan Marsudi,  semua demi ketiga anaknya. Dia sudah merasakan hidup tanpa orangtua, janganlah sampai mereka bertiga bernasib sama dengan dirinya.

"Ratna hamil, jadi agak sedikit manja. Mungkin aku akan lebih sering disana daripada disini," Marsudi meminta ijin pada Darsih.

"Kalau kamu kan udah sering hamil, jadi sudah  biasa. Kalau Ratna kan baru pertama kali," alasan Marsud ketika Darsih coba protes mengapa Ratna lebih banyak mendapat jatah ditemani ketimbang dirinya, padahal kondisi mereka sama-sama sedang mengandung. Usia kandungan keduanya hanya terpaut dua minggu.

Darsih mengalah, dia masih punya anak-anak yang bisa membuatnya tertawa. Cukuplah mereka bertiga pelipur lara untuk dirinya.

Lama kelamaan ketidak adilan itu bukan hanya masalah jatah kehadiran Marsudi untuk dirinya, tetapi keuangan pun begitu. Gaji Marsudi sebagai kepala bagian pada saat itu terbilang cukup besar, lima ratus ribu rupiah. Tapi apa? Darsih hanya kebagian seratus ribu rupiah saja, sedangkan sisanya untuk Ratna.

Apakah lelaki itu tidak memikirkan bahwa ada empat perut yang perlu di isi disini, sedangkan disana hanya satu. Belum lagi biaya-biaya tambahan untuk Joko dan Darmo, putra mereka yang sudah mulai masuk SD.

Beruntung bapak mertua dan kakak ipar Darsih baik padanya. Lelaki paruh baya itu sering membawakannya sayuran sepulangnya dari berjualan di pasar. Aji kakak Marsudi pun sering memberi uang jajan untuk keponakannya. Tapi, kebaikan itu ditanggapi lain oleh Marsudi. Dia marah dan menuduh kakaknya sendiri  ada main dengan Darsih.

Pertengkaran berbulan-bulan lalu yang tidak diketahui sebabnya dijadikan alasan untuk menghakimi Darsih.

"Terbukti kan kalau kamu ada main dengan kakakku sendiri!" tuduh Marsudi sambil membanting gelas hingga pecah berkeping-keping.

"Kamu tidak perlu menuduhku seperti itu hanya untuk mencari kesalahanku Marsud," Darsih coba melawan.

"Kalau kalian tidak ada main, buat apa dia baik-baik sama kamu?!"

"Mereka keponakan Mas Aji Marsud, wajar kalau dia baik sama aku dan anak-anakmu. Kalau bapakmu baik sama aku dan mereka juga, apakah kamu akan menuduh aku ada main dengan Bapak?!" Darsih geram dia sama naik pitamnya dengan Marsud.

Pertengakaran hebat tidak dapat dihindari, adu mulut, makian terjadi. Gaduh semakin menjadi ketika ketiga bocah yang sebelumnya diam menangis, mereka ketakutan hingga saling merangkul satu sama lain.

"Akal waras suamiku telah hilang," gemeretek suara gigi Darsih terdengar ketika bibirnya mengatakan itu. "Kakaknya sendiri dia jadikan kambing hitam karena tidak bisa menemukan kesalahanku," desahnya pelan.

Sekotak tisue kusodorkan padanya. Darsih mengambil satu kemudian mengelap basah di ujung matanya. Dia menarik napas panjang sebelum memulai ceritanya lagi.

Marsudi tidak pulang setelah kejadian itu, walaupun Ratmi menyampaikan pesan bahwa anak keempatnya telah lahir. Bayi mungil itu berjenis kelamin perempuan. Ada setumpuk harapan dengan lahirnya bayi tersebut. Bukankah Marsudi menginginkan anak perempuan? Darsih berharap suaminya akan kembali mengingat mereka.

****

Bayi mungil yang belum berumur satu bulan itu terus saja menangis. Sudah hampir enam jam Darsih membiarkan dia tanpa memberikannya ASI. Suara Joko dan Darmo yang berisik berebut mainan pun tidak dihiraukan wanita itu. Agus? Ah entah kemana anak itu, mungkin di bawa kakak iparnya atau kakeknya barangkali.

Darsih menatap dinding kamarnya dengan tatapan kosong. Letih, dia berharap Tuhan mencabut saja nyawanya saat ini. Ada anak perempuan pun tidak mengembalikan Marsudi suaminya. Dia tetap saja disana, menunggu Ratna yang dua minggu lalu juga melahirkan.

Tak ada yang dimakan, tak ada yang bisa dijadikan pengganjal perut hari ini. Anak-anak sempat menangi semua menangis karena lapar, air susu pun tak ada yang keluar walau setetes.

Mas Aji yang baik sudah pergi meninggalkan kota ini, dia tidak tahan dengan tudingan Marsudi. Bapak mertuanya pun belum pulang dari pasar, biasanya lelaki tua itu yang memberi mereka makan ala kadarnya.

"Bapak...Ibu..."rintihnya pelan. Mengapa Tuhan tidak ambil nyawanya saat mereka mengambil keduanya.

"Ya Allah Darsih!" Ratmi berhambur melihat keadaan sahabatnya yang semrawut. "Ko kamu jadi kaya gini Darsih," tangisnya pecah sambil memeluk tubuh kurus itu.

"Kamu harus kuat Darsih, demi anak-anakmu. Kalau kamu sakit, gimana nasib mereka," Ratmi menasehati dengan sabar sambil menyisiri rambut Darsih yang sudah lengket karena lama tidak dikeramas.

Ratmi tetap memberi semangat pada sahabatnya walau dia yakin kalau dirinya pun tidak akan kuat jika berada pada posisi Darsih.

"Aku bingung Rat," suara Darsih bergetar,"Marsud sudah tidak peduli lagi pada kami. Tidak ada uang, kalau aku bekerja lagi juga bagaimana anak-anak," lanjutnya lagi.

Ratmi memeluk bahu Darsih. "Andainya aku tidak punya anak dan punya rumah sendiri Dar, tak apalah anak-anakmu aku yang menjaga,"

Darsih menelan ludah. Tapi faktanya, kehidupan Ratmi pun tidak lebih baik darinya. Tinggal mengontrak dengan gaji suami yang pas-pasan. Tapi dia beruntung karena suaminya setia dan tidak kawin lagi.

"Anak-anakku?" Darsih seperti baru tersadar dari mimpi.

"Mereka semua sudah tidur, tapi kusuapi pakai telor ceplok. Darma paling doyan makan ya ternyata," tutur Ratmi diiringi tawa kecil, Darsih tersenyum walau tak lama.

"Aku mau kerja saja Rat. Nanti biar anak-anak kutitip mertua saja," desis Darsih kemudian.

Tak perlu lama mendapat pekerjaan untuk Darsih. Dia punya keterampilan menjahit dan itu sedang dibutuhkan sebuah pabrik di kota lain. Walau awalnya di tolak tapi kemudian mertua wanita itu mau dititipi anak-anak Darsih.

"Tiga saja, yang bayi ibu gak sanggup," persyaratan ibu mertua Darsih.

Dia sempat bingung mau dikemanakan bayi yang belum sempat diberikan nama hingga memasuki usia satu bulan itu. Beruntung, ada sepasang suami istri yang mau mengangkat bayi tersebut menjadi anaknya. Walau berat, akhirnya Darsih menyerahkan dengan ikhlas anak tersebut kepangkuan mereka.

Darsih berharap, dia tidak salah mengambil keputusan tersebut. Semua demi kebaikan anak bungsunya.

Kalau saja jaraknya atara rumah dan pabrik dekat, mungkin sampai saat ini tidak akan terputus hubungan anak dan ibu tersebut. Pabrik tersebut berada di lain kota, hingga Darsih memilih pulang seminggu sekali bahkan satu bulan sekali jika sedang banyak lemburan.

Jarang bertemu membuat anak-anak tidak dekat dengan Darsih. Apalagi mertuanya sering mendoktrin mereka dengan hal-hal yang dianggapnya benar tetapi menyudutkan Darsih.

Darsih dan Marsudi akhirnya bercerai, rumah yang mereka tempati dahulu sepakat untuk di kontrakan saja untuk membiayai keperluan buah hati mereka.

Hingga tiba ketiga anaknya tumbuh menjadi remaja, Darsih benar-benar dilupakan. Mereka lebih menghargai neneknya ketimbang ibu yang telah melahirkan ketiganya.

"Aku tidak ingin menyalahkan mereka, karena saat itu ketiganya masih sangat kecil dan belum mengerti masalah kedua orangtuanya," Darsih menyeka lagi airmatanya.

"Anak ibu yang nomor empat?" aku bertanya menyelidik.

Dia mengangkat bahunya.

"Apa harapan Ibu tentang anak itu?" tanyaku lagi.

Darsih menarik napas berat, "semua yang terbaik untuk anak itu. Dia belum sempat mengenali wajah ibu dan bapak kandungnya," suaranya terdengar parau.

"Apakah ibu merindukannya?"

Darsih mengangguk diantara isak tangisnya. "Semuanya, aku rindu mereka. Empat orang anak yang aku lahirkan ke dunia ini,"

"Apa yang ingin ibu lakukan saat ini?"

"Memeluknya."

Aku menatap wajah lelah itu dalam-dalam kemudian memeluknya erat.

'Aku akan mengabuli semua keinginan ibu. Akulah anak keempatmu yang belum sempat kau beri nama ketika diserahkan pada oranglain. Dan aku pasti akan membawa ketiga kakakku untuk juga memelukmu ibu.'

Tamat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun