Marsudi terdiam. Kalau ibu sudah membanggakan kakaknya, itu tandanya tidak ada kesempatan baginya untuk membela diri. Pada kenyataannya memang sang kakak lebih hebat darinya. Menjadi guru di sekolah dasar bahkan sudah diangkat PNS. Dia pun pernah mencicipi jadi guru, tapi hanya sehari setelah itu tidak kembali lagi malah memilih menjadi kenek Darsono di pabrik konveksi.
"Sudah bawa sana uang ini. Belikan beras, kasian istrimu kalau sampai tidak makan. Dia sedang hamilkan?" Bapak menyerahkan empat keping uang logam. Marsudi memgenggam uang tersebut dan memasukannya ke saku kemeja.
"Gimana sih bapak ini, terlalu memanjakan anak," omel ibu Marsudi kesal setelah anaknya meninggalkan rumah mereka.
Suaminya yang di omel tidak menggubris. Dia tetap tenang sambil mengipaskan kopiah ke depan wajahnya.
Tahun 1984 di bulan Agustus. Anak pertama Darsih dan Marsudi lahir dengan bantuan seorang dukun beranak.
"Laki-laki," Mak Ijah si dukun beranak berkata sambil menyerahkan bayi bertubuh mungil itu ke tangan Marsudi.
Ini cucu pertama di keluarga Marsudi, juga di keluarga Darsih. Sayang, kedua orangtua Darsih tidak bisa melihat cucu mereka menyapa dunia. Anak tersebut bukan hanya membawa kebahagiaan bagi keduanya, tetapi juga rezeki yang baik.
Marsudi diangkat jadi mandor, taraf ekonomi mereka semakin membaik. Bukan hanya bisa merapihkan rumah pemberian orangtuanya, Marsudi  juga bisa membeli sepeda ontel untuk alat transportasi. Tahun 1989 anak kedua mereka lahir, seorang laki-laki. Selang dua tahun kemudian disusul anak ketiga, juga laki-laki.
Joko, Darmo dan Agus, mereka tumbuh seperti anak kebanyakan. Bahagia  orangtua yang sangat menyayangi mereka bertiga. Darsih merasa beruntung mempunyai suami seperti Marsudi. Menyayangi keluarga dan bertanggung jawab. Karirnya pun naik seiring dengan bertambahnya usia, beruntung dia pernah merasakan pendidikan sampai SMA. Menjadi pertimbangan pabrik untuk menempatkannya dalam jajaran kepala pabrik.
"Kami bahagia, sangat bahagia," kenang Darsih, suaranya parau. Matanya menatap langit yang mulai gelap. "Sudahlah, sebentar lagi hujan," Darsih bangkit  dari duduknya."
"Aku ingin mendengar ceritamu  lebih banyak lagi,"