"Kami menikah enam bulan setelah nonton," Darsih berhenti sebentar, menghirup udara segar yang dihembuskan alam. Disesapnya teh hangat yang tinggal seperempat gelas itu hingga tidak bersisa.
Aku menatap wanita itu tak berkedip. Usianya baru memasuki angka empat puluh tujuh dua bulan lagi. Mungkin, karena tidak terurus dan kurang makan saja dia jadi terlihat sepuluh tahun lebih tua.
Malam pertama pasangan remaja yang menikah dengan alasan tidak ingin kisah mereka seperti film yang enam bulan lalu di tonton. Saat itu usia Darsih lima belas tahun sedangkan Marsudi menginjak dua puluh tahum.
Darsih tidak membalas ketika berulang kali Marsudi melumat bibirnya. Dia masih sangat letih karena acara tadi siang. Ternyata, berdiri di pelaminan selama hampir dua belas jam itu sangat melelahkan. Habis kesabaran Marsudi karena diabaikan hingga akhirnya dia memilih tidur di ruang tamu.
Barulah seminggu setelah itu dia mengerti apa yang harus dilakukan seorang istri terhadap suaminya diatas ranjang. Ratmi yang mengajarkan itu, dia sampai tergelak ketika Darsih bercerita kalau dia sampai ngumpet ke lemari pakaian karena ketakutan pada Marsudi.
Menjadi istri itu ternyata tidak semudah yang Darsih pikirkan selama ini. Selain harus melayani suami di ranjang tetapi juga harus bisa mengurus rumah tangga. Rumah yang mereka tempati cukup luas, pemberian dari orangtua suaminya. Dan itu yang membuatnya selalu kelelahan hingga akhirnya memutuskan berhenti dari pekerjaannya.
"Sudah Ibu bilang kan. Tapi kamu tetap ngotot minta dinikahkan!" omel ibu mertua Darsih ketika Marsudi mengeluhkan kalau dia butuh uang untuk membeli beras.
"Sudahlah Bu, itu semua kan sudah terjadi. Yang sudah terjadi itu ndak bisa berubah ke awal," ujar bapak meredakan  emosi istrinya.
"Ya ga emosi gimana toh Pak. Lah wong belum bisa cari uang saja sudah berani mengambil anak orang," gerutu wanita itu lagi.
"Marsud kan sudah kerja Bu," Marsudi angkat bicara, panas kupingnya mendengar teriakan ibu yang tidak putus-putus sejak satu jam yang lalu.
"Alah, kerja jadi kenek tukang potong saja kok bangga. Lihat tuh kakakmu, bisa jadi guru disekolah dan jadi pns," puji Ibu bangga.