Mohon tunggu...
Izza Fie
Izza Fie Mohon Tunggu... -

a teacher

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Titik Part I

25 April 2012   09:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:07 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ketika fajar
merambat membuka pagi.Subuh pun
berakhir seiring cahaya kemerahan itu
membuka hari. Ku biarkan dingin menelusuk sukma menutup segala luka lalu.
Kuberjalanmenikmati hamparan cinta
persembahan sang pagi. Membalas senyum-senyum mereka yang damai jiwanya karena
cinta. kutarik nafas sedalam-dalamnya hingga jauh didasar jiwa,perlahan ku bangun keyanikananku bahwa Arif
bukan lah pilihan ku sebenarnya, TITIK”.
< ?xml:namespace prefix = o ns = "urn:schemas-microsoft-com:office:office" />

“Ada apa nak? Sepertinya kamu menghindar bertemu dengannya”.
Urainya dengan cemas.

“Mmm... tidak ma, aku memang lagi males aja” kilahnya
menghindar.

“Perkenalan kalian cukup lama loh, kamu kan tahu keluarga
kita juga sudah semakin dekat.” Jawab mama seperti memberikan warning kepadaku.

“maksud mama...? Pertanyaan yang sebenarnya aku sendiri tahu
jawabannya. Hanya aku ingin mendengar langsung apa sebenarnya keinginan kedua
orang tuaku.

Matanya yang teduh memandangku lekat-lekat. “nak...mbok ya diselesaikan kalau ada masalah, ndak baik berlarut larut sepert itu”.

Mama pun berlalu dari samping setelah membelai lembut
rambutku.

“Mmm...” aku menarik nafas dalam-dalam. Membayangkan hal
terburuk, jika pilihan itu benar-benar menjadi keputusanku.

Aku sangat sayang mama. Tidak mungkin aku menyakitinya. Jauh
dari banyanganku membuatnya kecewa. “ahh...”

****

Dia adalah lelaki yang baik. Sifatnya yang dewasa meyakinkanku
dialah pilihan yang tepat. Benar apa yang dikatakan mama, hubunganku cukup lama
semenjak kuliah hingga kami bekerja saat ini. Selama itu aku merasa diriku
adalah wanita yang bahagia. Hanya menunggu waktu kapan ia datang kerumah untuk
melamar.

“ka Farah...” panggil mama.

“ya ma tunggu sebentar lagi...”. hal yang biasa kami lakukan
setiap lebaran. Berbalas kunjung ke rumah ka Arif. Terdengar papa sudah
menyalakan mesin mobil. Dan sepertinya papa pun ikut tidak sabar menungguku
keluar dari kamar.

“ ayo dong cepat, kalau kesorean jalannya tambah macet
loh...”.

“iya...iya... aku pakai bedaknya di mobil aja deh...”

Dengan langkah cepat aku bergegas turun kebawah dan kulihat
adikku sudah didalam mobil. Segera kami meluncur kerumahnya. Tak hentinya
pandanganku hanya tertuju keluar jendela.

Melihat awan kelabu yang seakan bisu menutup langit yang
seharusnya biru.Serasa enggan melepas
hujan. Tak peduli petir berkilat bersama
angin yang sedari tadi sudah tak sabar menunggu sang hujan. Di ujung sana senja juga seakan malas
menyambut malam.kontras dengan hatiku yang tertatih mengumpulkan kekuatan
menghadapi semua ini.

Tak banyak kata yang
ku ucapkan. Hanya diam dan sesekali menjawab pembicaraan mama dan papa.

Sampailah kami didepan gerbang rumahnya. Mereka menyambut
kami begitu hangat. Aku bisa melihat kebahagian mereka. Aku bisa merasakan
kebanggaan bagaimana kedua keluarga ini bisa menyatu. Tak lupa ummi memelukku
dan mencium kedua pipiku dan selalu mengatakan “ duh, cantiknya mantu ummi...”
kata-kata yang saat ini tak lagi membuatku bangga, terhibur pun tidak. Namun ku
tetap menjaga hubungan ini. “amin. terima kasih ummi...” jawabku dengan uraian senyum getir. Setelah
mereka mempersilahkan kami masuk. Aku duduk dengan sedikit menjauh dari mereka.
“Ariiif....” panggil ummi.

Arif tidak terlihat menyambut kami. Dan aku baru tahu kalau
di sedang menelpon seseorang di taman belakang rumah.

Dengan tergesa ia menyelesaikan pembicaraannya dan
menghampiri kami “ maaf ya ma. Tadi pak Edwin
bos dikantor telpon jadi ga bisa diputus”.

Hampir satu jam lebih kami terlibat pembicaraan diantara
mereka. Sesekali Arif mencoba menangkap pandanganku. Dan aku berpaling dari
tatapannya.

Dan saat ummi meminta tolong aku mengambil kue di dapur Arif
mengambil kesempatan itu.

“kenapa sih...” tanyanya dengan pelan.

“Sudah berkali kali aku katakan bahwa diaadalah teman kantorku yang kebetulan kami
satu divisi.” Sambungnya dengan penjelasan yang sama sebelumnya.

“dan aku cerita ke kamu karena aku ingin terbuka dan jujur”

“lalu apa, aku harus pindah kerja, itu mau mu?”

Sekuat tenaga kabut dimata ini kutahan. Aku juga tak ingin
kabut dihatiku terbaca oleh mereka. Dihari yang seharusnya setiap jiwa penuh
kebahagiaan.

Aku tidak menjawab pertanyaannya. Hanya diam. Dan berlalu
meninggalkannya.

Kami akhirnya pamit pulang. Sebelum masuk mobil ummi
memegang erat tanganku. Dan berbisik “ummi sayang banget sama kamu, sabar ya”.

Aku membalasnya dengan senyuman tipis. ku peluk ummi dengan
hati yang jauh sedalam hatiku yang juga sayang dengan keluarga mereka. Kemudian
akupun masuk kedalam mobil.

****

Tak terasa tetes air
mata ini membasahi sajadah. Keheningan malam pun seakan larut dalam hati ini yang begitu bimbang. Tak henti
doa itu ku ucapkan disetiap tahajudku setiap malam.

“Ya
Allah tidak ada kemudahaan

Kecuali
engkau jadikan semuanya itu mudah”

Bimbang ketika begitu banyak pertanyaanku tentang komitmen Arif
akan hubungan ini. komitmennya tak sebanding lurus dengan kelakuannya
akhir-akhir ini.

Hal ini dimulai ketika Arif diterima disebuah perusahan jasa
telekomunikasi di Medan. Sejak saat itu kami memulai hubungan jarak jauh.
Sebagai karyawan baru tidak mungkin dia bisa sesering mungkin untuk pulang ke
Jakarta.

Dia akhir tahun pertamanya keraguan itu mulai menggores
kepercayaanku. Dan goresan itu semakin terbuka.

Aku adalah wanita yang kuat menjaga kepercayaan. Terlebih
butir-butir cinta ini kami bangun dengan perjuangan yang tidak mudah.

Lalu kenapa yang seharusnya aku merasakan buah dari
perjuanganku harus berakhir dengan seperti. Berakhir dengan ada orang lain yang
akan menggantikanku. Semudah itukah?

Keraguanku bukannya tak berdasar. Bagaiamana tidak. Akhir
akhir ini Arif sering kali menceritakan Sandra
yang katanya hanya teman kerja.

Kalau hanya teman kerja lalu kenapa sepertinya Arif sangat
beruntung memiliki teman seperti Sandra. Seperti tidak punya teman laki-laki aja.

Kalau hanya teman kerja lalu kenapa suatu ketika Arif
menelponku katanya sekarang lagi ditempat Sandra. Ia harus mengantarnya pulang
karena ada lembur.

Terlalu banyak pujian untuknya. Dan baru kali ini aku
melihat Arif begitu menyanjung seorang wanita begitu tinggi.

Lebih banyak aku yang mendengarkan ceritanya.

Arif tidak bertanya kenapa aku lebih kurus.

Arif tidak bertanya Wajahku terlihat tidak bersemangat
seperti yang dikatakan banyak teman-temanku.

Pernah suatu ketika ia kembali ke Jakarta. aku protes.
Justru Ariflah yang balik protes keras “ kalau kamu tidak percaya terus mau mu
apa...?

Bahkan dia berhenti di tengah jalan dan memarahiku.
Perdebatan itu tak bisa dihindari. Sampai kami tak sadar sepasang mata
orang-orang disekeliling kami menyaksikan.

Walaupun pada akhirnya aku diam dan hanya menangis. kenapa
sepertinya aku yang menjadi sumber masalah.

Benarkah sumber masalah sebenarnya adalah Aku?

***

Ketika fajar merambat membuka pagi. Subuh pun berakhir seiring cahaya orange itu membuka
hari. Ku biarkan dingin menelusuk sukma menutup segala luka lalu.
Kuberjalanmenikmati hamparan cinta
persembahan sang pagi. Membalas senyum-senyum mereka yang damai jiwanya karena
cinta. kutarik nafas sedalam-dalamnya hingga jauh didasar jiwa,perlahan ku bangun keyanikananku “bahwa Arif
bukan lah pilihan ku sebenarnya, TITIK”.

Pagi ini harus kusampaikan apa yang sudah menjadi
pertimbanganku. Papa mama harus tahu keputusanku.

Aku bergabung ketika papa mama sarapan pagi.

“hai dari mana tumben jalan-jalan pagi” tanya mama dengan
senyum khasnya.

“kebetulan didepan lagi ramai, kan sekarang lagi car free day” jawabku sambil membuat
secangkirteh.

“semalam orang tua Arif telepon mama, kita jadi ngobrol
panjang” sambung mama.

Ku dengarkan pembicaraan mama sambil menundukkan kepala. Tak
terasa kabut dimata ini berubah menjadi kristal-kristal air mata yang jatuh
tepat dihadapan mama.

Bagaimana tidak, kata mama mereka sudah membicarakan
pertunangan aku dan Arif. Hanya tinggal menunggu keputusan Arif. Keinginan
orang tua Arif secepatnya pertunangan itu dilaksanakan.

“kenapa nak” tanya papa bingung.

“Kamu menangis, ada apa”papa mendekatkan wajahnya kepadaku.

“Aku tidak percaya kepada Arif” jawabku dengan suara parau.

Kemudian aku menjelaskan hal-hal yang menjadi pertengkaran
kami. Aku sampaikan bagaiamana Arif selalu membicarakan teman sekantornya yang
bernama Sandra. Aku ceritakan bagaimana ia sering berkunjung ke messnya. Bahkan
aku utarakan bagaiamana ia membandingkan aku dengan Sandra walaupun hanya
gurauan kepada temanku.

“selama ini Arif tidak pernah kasar sama aku ma, tetapi
kenapa ia begitu marah ketika aku protes tentang Sandra”. Tegaskudengan emosional.

Papa mama terdiam. Mama kemudian pindah duduknya
disampingku. Berusaha menenangkan dengan merengkuh pundakku.

“aku tidak mau nikah dengan Arif, TITIK!”.kataku dengan
tegas.

“masalah itu pasti aja ada, tapikan bukan berarti sampai
kamu tidak jadi menikah dengan Arif.”papa mencoba menetralisir.

“ditambah hubungan kamu sudah lama. Artinya bukankah kalian
sudah saling kenal. Keluarga kita sudah lama dekat. Bahkan kita sudah
membicarakan acara lamaran, loh nak.”urai papa mengingatkan.

Nduk, wis toh,
coba selesaikan baik-baik, bicara dengan kepala dingin. Bukan juga karena
hubungan keluarga ini dan hubungan kamu yang sudah lama, ingat loh umurmu yang
sudah lebih dari cukup.” Sambung mama memotong pembicaraan.

Cukup lama kami membahas di meja makan. Tetapi sepertinya
lagi-lagi aku yang tersudut. Bukannya berfikir buruk tentang kedua orang tuaku,
hanya saja aku di tuntut berfikir seribu kali untuk putus dari Arif.

“entahlah pa, hati ku ko sepertinya semakin hari semakin
ragu. Terlebih kalau ingat bagaimana ia marah besar dan kasar hanya karena aku
dianggap seperti anak kecil karena mempermasalahkan hal sepele menurutnya.”
Dengan intonasi yang mulai rendah.

****

Seminggu kemudian.

Arif pulang ke Jakarta. Memang keinginan mama mempertemukan
kami. Agar semuanya lebih jelas. Dan yang terpenting kata mama masalah itu bisa
selesai dan pernikahan itu terwujud.

Terdengar dari luar kamar Arif cerita panjang lebar tentang
pekerjaannya. Diseling tawa-tawa kecil, entah apa yang lucu sehingga seakan
malam ini adalah malam yang tidak akan terjadi apa-apa. Padahal malam ini
mungkin akan terjadi sesuatu diluar perkiraan mereka.

Dan aku yang masih
tertegun bimbang diam duduk dipinggir ranjang tidur. Tiban saja adikku mendekat
dan menggenggam kedua tanganku. Kami saling berpandangan.

“ka Farah yang akan menjalaninya. Keputusan hari ini adalah
penentuan sejarah sepanjang jalan hidup kaka. Kakalah yang akan
merasakannya.Ikuti kata hati. Toh apa yang dikatakan hati ka farah
saat ini bukan lukisan di atas air tetapi sebuah fakta yang mungkin orang lain
tidak akan mengerti.”urainya dengan optimis.

“kalau kita sudah meminta kepada Allah tentu Ia akan
mengabulkan setiap permintaan hambanya, begitu yang aku baca dalam
al-Quran”lanjutnya yang kemudian duduk disamping.

“Aku juga suka bang Arif, tetapi aku lebih percaya kakaku
sendiri” bisiknya dengan tawa kecilnya yang manis.

Terjadilah pembicaraan segitiga, aku dan Arif serta orang
tuaku. Setelah panjang lebar Arif mengklarifikasi, aku semakin muak melihat
bagaimana ia begitu egois dan tidak memperdulikan perasaanku.

Dan lagi-lagi papa mama kembali memberikan
nasehat-nasihatnya, tetapi tetap saja jendela hati ini tertutup tidak ada cela
cahaya sedikitpun yang bisa masuk.

Dan ketika semua diam mama bertanyadengan suara beratnya. “bagaimana Farah,
bagaimana keputusanmu?

Sejenak aku terdiam. Tetapi bukannya ragu. Hanya aku tidak
sanggup melihat wajah mama yang pasti akan sangat kecewa dengan keputusan ini.

Ku tatap wajah mama. Lagi-lagi kabut dimataku mulai berubah
menjadi butiran air mata yang mengalir lembut diwajahku. Aku membayangkan
bagaimana mama akan sangat kehilangan Arif. Mama begitu dekat dengan Arif.
Karena selama ini memang mama begitu sayang dengan Arif layaknya anak sendiri. Sering
kali kami mengantarnya ke bandara ketika akan kembali lagi ke Medan.

Tiba saja handphoneku bergetar. Kulihat sekilas. Ummi Arif sms. Dan kubuka
sms itu.

“Ummi
sayang sama farah. Semoga malam ini adalah malam kebaikan bagi kita semua. Ummi
berharap kita dapat menjadi keluarga ya sayang...”

Tak ku jawab sms itu. Semakin berat
hatiku berkata. Tetapi kenapa sepertinya aku amat sangat yakin dengan keputusan
itu. Entah perasaan apa yang membuatku berani mempertaruhkan itu semua.

“Mama...”. kata-kataku berhenti sejenak.

“Maafin Farah ma” aku peluk mama.

“Farah ingin tetap kepada keputusan itu” jawabku dengan
pelan.

Arif terlihat gelisah dan sangat emosial. Dengan wajah
bercampur malu dan menahan marah ia memandangku dengan tatapan mata yang dia
sekan tak percaya apa yang aku perbuat.

“De, dengarkan aku Ya, mungkin aku yang salah selama ini.
Mungkin akulah sumber dari pertengkaran ini, tetapi bukanlah keputusan yang
tepat untuk kita pisah.” Arif coba meyakinkanku.

“Deapakah semudah
itu kamu mengambil keputusan. Apa yang selama ini kita bangun akan hancur tak
tersisa ”. sambung Arif.

“kenapa sih kamu selalu menyudutkan aku. Kenapa kamu
menganggap masalah Sandra itu hal sepele. Lebih dari itu, ini masalah
kepercayaan, ini masalah karakter, dan yang terpenting ini masalah bagaimana
sebenarnya seorang “imam keluarga” yang akan aku taati setiap titahnya kelak.
“bela ku dengan tegas.

“aku tidak bisa membayangkan kelak aku akan menikahi seorang
lelaki yang kasar dan pemarah. Al
hamdulillah
menurutku Allah masih memberiku kesempatan berikhtiar mencari
imamku yang aku merasa terlindungi dan bahagia menjadi makmumnya” aku
beragumentasi.

“Mama, Arif tidak percaya. Farah mungkin sedang marah,
jangan kita mengambil keputusaan disaat amarah menguasai kita. Arif tetap
menunggu hingga farah berubah.” Katanya dengan pelan.

“tidak bang Arif, ade memutuskan ini dengan hati ikhlas dan
tidak dalam keadaan marah. Ade sudah berdoa sama Allah, mungkin ini jawabannya.
Bang Arif, ade juga minta maaf. Ade minta bang Arif ikhlas dengan keputusan
ini. Kalau memang kita jodoh tentu Allah akan menjawab juga dengan cara-Nya”
jawabku sambil memandang Arif.

“Sudah, sudah ayo kalian beristikharah
lagi, berfikir dengan kepala dingin. Minta sama Allah mohon petunjukknya
mencari solusi yang terbaik” papa memotong pembicaraan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun