Mohon tunggu...
Izza Fie
Izza Fie Mohon Tunggu... -

a teacher

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Titik Part I

25 April 2012   09:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:07 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dengan langkah cepat aku bergegas turun kebawah dan kulihat
adikku sudah didalam mobil. Segera kami meluncur kerumahnya. Tak hentinya
pandanganku hanya tertuju keluar jendela.

Melihat awan kelabu yang seakan bisu menutup langit yang
seharusnya biru.Serasa enggan melepas
hujan. Tak peduli petir berkilat bersama
angin yang sedari tadi sudah tak sabar menunggu sang hujan. Di ujung sana senja juga seakan malas
menyambut malam.kontras dengan hatiku yang tertatih mengumpulkan kekuatan
menghadapi semua ini.

Tak banyak kata yang
ku ucapkan. Hanya diam dan sesekali menjawab pembicaraan mama dan papa.

Sampailah kami didepan gerbang rumahnya. Mereka menyambut
kami begitu hangat. Aku bisa melihat kebahagian mereka. Aku bisa merasakan
kebanggaan bagaimana kedua keluarga ini bisa menyatu. Tak lupa ummi memelukku
dan mencium kedua pipiku dan selalu mengatakan “ duh, cantiknya mantu ummi...”
kata-kata yang saat ini tak lagi membuatku bangga, terhibur pun tidak. Namun ku
tetap menjaga hubungan ini. “amin. terima kasih ummi...” jawabku dengan uraian senyum getir. Setelah
mereka mempersilahkan kami masuk. Aku duduk dengan sedikit menjauh dari mereka.
“Ariiif....” panggil ummi.

Arif tidak terlihat menyambut kami. Dan aku baru tahu kalau
di sedang menelpon seseorang di taman belakang rumah.

Dengan tergesa ia menyelesaikan pembicaraannya dan
menghampiri kami “ maaf ya ma. Tadi pak Edwin
bos dikantor telpon jadi ga bisa diputus”.

Hampir satu jam lebih kami terlibat pembicaraan diantara
mereka. Sesekali Arif mencoba menangkap pandanganku. Dan aku berpaling dari
tatapannya.

Dan saat ummi meminta tolong aku mengambil kue di dapur Arif
mengambil kesempatan itu.

“kenapa sih...” tanyanya dengan pelan.

“Sudah berkali kali aku katakan bahwa diaadalah teman kantorku yang kebetulan kami
satu divisi.” Sambungnya dengan penjelasan yang sama sebelumnya.

“dan aku cerita ke kamu karena aku ingin terbuka dan jujur”

“lalu apa, aku harus pindah kerja, itu mau mu?”

Sekuat tenaga kabut dimata ini kutahan. Aku juga tak ingin
kabut dihatiku terbaca oleh mereka. Dihari yang seharusnya setiap jiwa penuh
kebahagiaan.

Aku tidak menjawab pertanyaannya. Hanya diam. Dan berlalu
meninggalkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun