Mohon tunggu...
Izza Fie
Izza Fie Mohon Tunggu... -

a teacher

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Titik Part I

25 April 2012   09:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:07 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ku tatap wajah mama. Lagi-lagi kabut dimataku mulai berubah
menjadi butiran air mata yang mengalir lembut diwajahku. Aku membayangkan
bagaimana mama akan sangat kehilangan Arif. Mama begitu dekat dengan Arif.
Karena selama ini memang mama begitu sayang dengan Arif layaknya anak sendiri. Sering
kali kami mengantarnya ke bandara ketika akan kembali lagi ke Medan.

Tiba saja handphoneku bergetar. Kulihat sekilas. Ummi Arif sms. Dan kubuka
sms itu.

“Ummi
sayang sama farah. Semoga malam ini adalah malam kebaikan bagi kita semua. Ummi
berharap kita dapat menjadi keluarga ya sayang...”

Tak ku jawab sms itu. Semakin berat
hatiku berkata. Tetapi kenapa sepertinya aku amat sangat yakin dengan keputusan
itu. Entah perasaan apa yang membuatku berani mempertaruhkan itu semua.

“Mama...”. kata-kataku berhenti sejenak.

“Maafin Farah ma” aku peluk mama.

“Farah ingin tetap kepada keputusan itu” jawabku dengan
pelan.

Arif terlihat gelisah dan sangat emosial. Dengan wajah
bercampur malu dan menahan marah ia memandangku dengan tatapan mata yang dia
sekan tak percaya apa yang aku perbuat.

“De, dengarkan aku Ya, mungkin aku yang salah selama ini.
Mungkin akulah sumber dari pertengkaran ini, tetapi bukanlah keputusan yang
tepat untuk kita pisah.” Arif coba meyakinkanku.

“Deapakah semudah
itu kamu mengambil keputusan. Apa yang selama ini kita bangun akan hancur tak
tersisa ”. sambung Arif.

“kenapa sih kamu selalu menyudutkan aku. Kenapa kamu
menganggap masalah Sandra itu hal sepele. Lebih dari itu, ini masalah
kepercayaan, ini masalah karakter, dan yang terpenting ini masalah bagaimana
sebenarnya seorang “imam keluarga” yang akan aku taati setiap titahnya kelak.
“bela ku dengan tegas.

“aku tidak bisa membayangkan kelak aku akan menikahi seorang
lelaki yang kasar dan pemarah. Al
hamdulillah
menurutku Allah masih memberiku kesempatan berikhtiar mencari
imamku yang aku merasa terlindungi dan bahagia menjadi makmumnya” aku
beragumentasi.

“Mama, Arif tidak percaya. Farah mungkin sedang marah,
jangan kita mengambil keputusaan disaat amarah menguasai kita. Arif tetap
menunggu hingga farah berubah.” Katanya dengan pelan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun