Kami akhirnya pamit pulang. Sebelum masuk mobil ummi
memegang erat tanganku. Dan berbisik “ummi sayang banget sama kamu, sabar ya”.
Aku membalasnya dengan senyuman tipis. ku peluk ummi dengan
hati yang jauh sedalam hatiku yang juga sayang dengan keluarga mereka. Kemudian
akupun masuk kedalam mobil.
****
Tak terasa tetes air
mata ini membasahi sajadah. Keheningan malam pun seakan larut dalam hati ini yang begitu bimbang. Tak henti
doa itu ku ucapkan disetiap tahajudku setiap malam.
“Ya
Allah tidak ada kemudahaan
Kecuali
engkau jadikan semuanya itu mudah”
Bimbang ketika begitu banyak pertanyaanku tentang komitmen Arif
akan hubungan ini. komitmennya tak sebanding lurus dengan kelakuannya
akhir-akhir ini.
Hal ini dimulai ketika Arif diterima disebuah perusahan jasa
telekomunikasi di Medan. Sejak saat itu kami memulai hubungan jarak jauh.
Sebagai karyawan baru tidak mungkin dia bisa sesering mungkin untuk pulang ke
Jakarta.
Dia akhir tahun pertamanya keraguan itu mulai menggores
kepercayaanku. Dan goresan itu semakin terbuka.
Aku adalah wanita yang kuat menjaga kepercayaan. Terlebih
butir-butir cinta ini kami bangun dengan perjuangan yang tidak mudah.
Lalu kenapa yang seharusnya aku merasakan buah dari
perjuanganku harus berakhir dengan seperti. Berakhir dengan ada orang lain yang
akan menggantikanku. Semudah itukah?
Keraguanku bukannya tak berdasar. Bagaiamana tidak. Akhir
akhir ini Arif sering kali menceritakan Sandra
yang katanya hanya teman kerja.