“semalam orang tua Arif telepon mama, kita jadi ngobrol
panjang” sambung mama.
Ku dengarkan pembicaraan mama sambil menundukkan kepala. Tak
terasa kabut dimata ini berubah menjadi kristal-kristal air mata yang jatuh
tepat dihadapan mama.
Bagaimana tidak, kata mama mereka sudah membicarakan
pertunangan aku dan Arif. Hanya tinggal menunggu keputusan Arif. Keinginan
orang tua Arif secepatnya pertunangan itu dilaksanakan.
“kenapa nak” tanya papa bingung.
“Kamu menangis, ada apa”papa mendekatkan wajahnya kepadaku.
“Aku tidak percaya kepada Arif” jawabku dengan suara parau.
Kemudian aku menjelaskan hal-hal yang menjadi pertengkaran
kami. Aku sampaikan bagaiamana Arif selalu membicarakan teman sekantornya yang
bernama Sandra. Aku ceritakan bagaimana ia sering berkunjung ke messnya. Bahkan
aku utarakan bagaiamana ia membandingkan aku dengan Sandra walaupun hanya
gurauan kepada temanku.
“selama ini Arif tidak pernah kasar sama aku ma, tetapi
kenapa ia begitu marah ketika aku protes tentang Sandra”. Tegaskudengan emosional.
Papa mama terdiam. Mama kemudian pindah duduknya
disampingku. Berusaha menenangkan dengan merengkuh pundakku.
“aku tidak mau nikah dengan Arif, TITIK!”.kataku dengan
tegas.
“masalah itu pasti aja ada, tapikan bukan berarti sampai
kamu tidak jadi menikah dengan Arif.”papa mencoba menetralisir.
“ditambah hubungan kamu sudah lama. Artinya bukankah kalian
sudah saling kenal. Keluarga kita sudah lama dekat. Bahkan kita sudah
membicarakan acara lamaran, loh nak.”urai papa mengingatkan.
“Nduk, wis toh,
coba selesaikan baik-baik, bicara dengan kepala dingin. Bukan juga karena
hubungan keluarga ini dan hubungan kamu yang sudah lama, ingat loh umurmu yang
sudah lebih dari cukup.” Sambung mama memotong pembicaraan.
Cukup lama kami membahas di meja makan. Tetapi sepertinya
lagi-lagi aku yang tersudut. Bukannya berfikir buruk tentang kedua orang tuaku,
hanya saja aku di tuntut berfikir seribu kali untuk putus dari Arif.