Mohon tunggu...
Heri Susanto
Heri Susanto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Red Letter Day

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

CATATAN PANJANG AISHA

21 Desember 2012   19:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:14 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore akan beranjak meninggalkan keperkasaan sang surya yang sedari tadi sudah menemani aktifitas ku. Bunyi kendaraan terdengar berlalu lalang, dan akupun duduk termangu di sebuah bangku yang berada di teras rumah ku. Merasakan semilir angin yang terkadang menerpa wajah, melambaikan kerudung yang terbungkus rapi sebagai penutup kepala. Tak tahu apa yang terpikirkan, yang pastinya aku menghabiskan waktu dengan mendengarkan dentuman nasyid yang terdengar menyejukkan hati dari sebuah radio yang ku punya. Yahhh…. Itulah kegiatan sore ku sambil menuggu datang nya azan magrib yang siap menggema, membahana di seluruh penjuru jagad raya, mengajak seluruh umat untuk memenuhi kembali panggilan sang khaliq. Bermunajah dan senatiasa melakukan apa yang memang menjadi perintah-Nya.

***

“Aisha…..”, terdengar suara ibu yang memanggil untuk mengajak ku makan malam bersama. Aku pun segera bangkit dan menuju meja makan. Sudah beberapa tahun ini aku menjalani hari-hari hanya berdua bersama ibu. Sejak tragedi itu….. seluruh kehidupan ku berubah. Langit seakan kelam, tertutup awan kelabu yang kian menambah suram. Pesona indahnya kehidupan tak lagi mampu menutupi lara dan duka yang menyelimuti diri. Kenikmatan dan kebahagiaan yang pernah ku rasa di masa kecilku kini tlah terenggut. Ayah sudah tak bisa bersama lagi, dan tinggallah aqu bersama ibu yang menanggung semua kepedihan yang terasa begitu sesak di dada.

“Aisha…. Bagaimana kuliah mu nak?” ibu membuka percakapan.

“Insyaallah lancar, Bu….aisha akan menyelesaikan skripsi aisa di tahun ini.

“Doakan ya bu, moga semuanya berjalan baik dan aisa bisa segera bekerja.

“Aisha ingin membuat ibu bahagia, dan aisa akan buktikan bahwa tanpa figur ayahpun kita masih bisa menjalani hidup dengan baik.”

Sejenak mata ibu langsung berkaca-kaca, aku tahu apa yang ada dihatinya. Ia pasti sangat kecewa dan sedih bila teringat kembali pada pengkhianatan seorang suami yang sudah ditemaninya dengan setia selama puluhan tahun.

“Aisha….. Ibu senang bisa bersamamu, kamu adalah mutiara hati ibu, dan karena dirimu nak, ibu masih bisa bertahan hingga saat ini.”

Tanpa tinggal diam aku langsung memeluk ibu, dan kamipun tersedu bersama.

Peristiwa itu telah berlalu selama lebih kurang 4 tahun, tepatnya ketika aku masih duduk di bangku SMA. Jujur hingga kini aku masih tak bisa menutupi rasa kecewaku terhadap ayah, tak kuasa untuk menerimanya. Namun walau bagaimanapun ia tetap ayahku. Ayah yang pernah sangat menyayangi dan memanjakanku dulunya.

Aku masih ingat betul ketika tragedi itu terjadi, kala aku menemani sang ibu untuk membuktikan apakah dugaannya selama ini benar atau salah, bahwa ada wanita lain diantara kami. Ibu sudah lama mencari tahu tentang kegiatan sehari-hari ayah diluar pekerjaannya sehari-hari, dan kini lah klimaksnya.

Jantung ku berdegup kencang ketika aku berada di depan sebuah rumah yang diterasnya terparkir dengan rapi mobil ayah. Aku yakin ibu merasakan hal yang sama denganku.

Ibu mengetuk pintu sambil meengucapkan salam, “Assalamualaikum….”

“Waalaikumsalam…”terdengar suara seorang anak yang membukakan pintu.

Aku dan ibu terpaku saat melihat kenyataan yang ada di depan kami. Antara percaya dan tidak, aku melihat ayah dan seorang wanita sedang duduk sambil mengupas mangga. Mereka terlihat sangat bahagia, serasa seperti orang yang dilanda mabuk cinta. Ya Allah…apa ini? aku terdiam terpukau, sedang ibu langsung menemui ayah, dan belum sampai ibu di depan ayah, perempuan yang bersamanya tadi langsung berlari menjauh lewat pintu belakang. Ntah karena sadar atas kesalahannya ataupun takut, aku tak tahu. Yang pastinya aku melihat wajah ayah merah padam dan langsung membawa kami pulang kerumah. Dalam perjalanan, suasana hening, yang terdengar hanya isakan ku dan ibu, menangis menahan luka. Singkat kata kami telah berada dirumah, dan ayah dengan garangnya menumpahkan emosinya. Mungkin tak menyangka akan terbongkar seperti ini.

”Pringggg !!!!”....terdengar suara vas bunga pecah.

”srrrrttttttt gdubrakkk!!!!” di ikuti suara seretan kursi yang ditendang dan berakhir dengan menabrak dinding.

Pertengkaranpun pun tak terhindarkan, ayah dan ibu saling beradu argumen. Aku menangis terisak dipinggir pintu, dan kemudian juga ikut menumpahkan perasaanku.

”Kenapa ayah tega ngelakuin ini semua???, ”apa kurangnya ibu yang sudah menemani ayah selama puluhan tahun, yang dengan setia menghadapi sikap tempramen ayah selama ini, yang slalu menyiapkan makan siang tepat dipukul 12 hingga ketika ayah pulang kerja semua sudah tertata rapi di meja makan, yang setiap sore menyiapkan makanan cemilan ketika ayah bangun tidur istirahat, dan yang menemani ayah ketika suka dalam duka hingga disaat ayah terpurukpun ibu masih setia, apa itu masih kurang yah??????, Apa kurang??????, Coba ayah jelaskan pada aisha, dan jelaskan juga dengan pasti siapa perempuan itu??????, jelaskan yah....jelaskan!!!!!!!, Aisha dan ibu ingin mendengarnya langsung dari ayah”. Tanyaku dalam terisak

Tampak mata ayah merah dan berkaca juga, lalu berkata, ”Bu.....,”Aisha.....maafkan ayah, ayah khilaf, dia adalah……istri ayah, ayah baru menikahinya beberapa bulan yang lalu”.

Serasa petir menyambar, jantung berhenti berdetak, dan bayangan gelap langsung menghantui, suatu pengakuan yang aku dan ibu tidak ingin mendengarnya. Kami seakan terkulai lemas tak berdaya menerima kenyataan yang tak pernah terpikirkan.

Ayah berjanji akan adil, hingga aku tak mengerti mengapa ibu masih mau bertahan dan memberi kesempatan kepada ayah. Aku tahu hatinya teriris, namun ia terlihat begitu tabah, begitu sabar. Terkadang ibu terlihat murung dan menangis disetiap doa yang terlantur ketika selesai sholat. Ia senantiasa menumpahkan isi hatinya pada Sang pemilik jiwa. Allah lah tempatnya mengadu. Oh ibu......bagiku engkau tipe istri solehah, yang rela dimadu demi menjaga keutuhan keluarga, yang menjunjung tinggi nilai agama. Subyektif atau objektif, tapi...ya itulah penilaianku terhadap ibu.

Namun kesabaran ibu berakhir ketika ayah tak dapat membuktikan kata-katanya, tidak berlaku adil, dan bisa di katakan ibu sangat terzalimi dengan perubahan sikap ayah. Prahara perpisahan pun tak dapat terelakkan, dan akupun memutuskan untuk ikut bersama ibu. Ayah sudah tak bersama kami, dan sejak saat itu episode baru dalam kehidupan ku pun dimulai. Banyak hal yang telah kulewati, baik itu suka maupun duka, lara dan juga kecewa. Kini aku merasa telah lebih dewasa dalam menyingkapi makna dari sebuah kehidupan. Aku yakin semua ada hikmahnya, dan Allah tidak akan memberikan cobaan diluar kesanggupan umatnya.

***

Pagi kembali hadir, fajar telah menyingsing di ufuk timur. Semesta alam bertasbih menyambut sang surya yang begitu kokohnya menaungi jagad raya. Udara terasa sejuk serasa menusuk hingga ke tulang. Burung-burungpun terdengar bernyanyi dengan riangnya, bertengger didahan yang menjadi tempatnya berteduh.

Dengan semangat aku melangkahkan kaki menuju kampus untuk menjalani rutinitasku seperti biasa.

”Assalamualaikum Aisha.....”, terdengar ada yang menyapaku.

”Waalaikumsalam......”, akupun menoleh dan ternyata Desi teman sejurusan ku.

”Wah...pagi-pagi uda kelihatan dikampus, tumben nich...”, Desi kembali mengajak ku ngobrol.

”Ya nich des, aisha ingin kepustaka, Desi pasti juga iya kan?

”Yuk bareng”, kataku mengajaknya.

”Wah...tau aja nich,hayukkkk.....”, desi menjawab dan kamipun berlalu sambil pergi bersama.

Begitulah hari-hari terlewati, aku menyibukkan diri dengan berbagai kesibukan supaya aku dapat melupakan segala perasaan sedih dan kecewaku. Namun demikian tak dapat kupungkiri meski tak bersama lagi, tapi aku sangat merindukan sosok ayah. Aku masih ingat betapa dia menyayangi dan memanjakanku, aku sering menangis saat memandangi fotonya. Ayah......andai engkau tahu betapa aku sangat merindukan mu. Tapi mengapa semua ini terjadi? aku yakin Allah pastinya yang lebih mengetahui.

Pernah suatu ketika untuk pertama kalinya aku menerima ajakan seorang abang tingkat ku dikampus yang mengajak menjalin hubungan, dengan kata lain pacaran. Itu terjadi ketika aku baru saja menjadi mahasiswa baru. Saat itu aku memang sedang labil dan sangat membutuhkan peran seseorang yang dapat memahamiku. Kala itu aku berpikir semua itu dapat terwujud bila aku bersamanya. Tapi ternyata dugaan ku salah, aku menjalani hubungan selama 2 tahun, tapi berjumpa dengannya hanya 5 kali, padahal berada dalam satu kampus. Apa itu yang dinamakan pacaran? Aku juga tak mengerti. Aku kembali kecewa, tak ada kabar darinya, aku juga tak tahu apa-apa tentangnya. Namun aku tetap berusaha bertahan hingga kesabaran ku menuju ambang batas, dan pada suatu hari aku pun memutuskan untuk mengakhiri semuanya. aku telah melakukan hal bodoh, menanti dengan sia-sia. Kini ku yakin, dia bukan orang yang tepat untuk ku.

Setelah itu aku tidak ingin pacaran lagi, dan lebih berusaha untuk mendekatkan diri pada sang Robb. Aku merasa terlalu rapuh, padahal mungkin cobaan yang kuterima selama ini adalah ujian sebagai batu loncatan agar aku bisa lebih dekat dengan Nya. Astaghfirullahal adzim..... ampuni hambaMu ini Ya Alah....

***

Hari terus terlewati, aku semakin sibuk dengan skripsiku. Kebahagiaan ibu adalah tujuan hidupku saat ini. Kasih sayang, cinta, materi, tenaga, jiwa, dan raganya seakan tak pernah habis tercurah untukku. Ibu tempatku bersandar, mengadu dan mengarungi suka duka selama 21 tahun ini. Terlalu banyak jasanya padaku, yang walau dengan apapun belum tentu aku dapat mengganti semuanya. Aku ingin melihatnya tersenyum bangga padaku, bahagia menatapku sebagai anaknya dan memelukku sebagai bukti cintanya.

Ya Allah bantulah niat hamba ini, semoga aku dapat melakukannya.

Lamunanku buyar ketika ibu mengetuk pintu kamarku, ”Aisha.....ada surat untuk mu nak”, aku terkejut sambil berkata, ”surat???”, ” dari siapa bu?”

”Ibu tidak tahu, tak ada nama yang tertera disini, hanya alamat saja”, itu jawaban ibu saat ku tanya. Aku berkata, ”terima kasih ya bu, aisa coba baca dulu, siapa tahu isinya penting”. Ibu tersenyum sambil mengangguk dan kembali ke kamarnya. Akupun menerima surat itu dengan hati penuh tanya, dan perlahan aku membukanya.

Kepada sahabat ku, aisha

Assalamualaikum wr.wb

Apa kabar aisha? pastinya engkau sangat terkejut menerima surat ini. Aku memberanikan diri mengirim beberapa untaian kata karena gejolak besar yang ada dalam diri.

Aku bukan penyair yang pandai dalam bermain kata, dan aku juga bukan siapa-siapa yang patut untuk kamu harapkan. Aku hanyalah seorang pemuda yang saat ini sedang mencintaimu.

Aisha... aku sudah lama mengenalmu, kita pernah ngobrol, belajar, bahkan tersenyum bersama. Tetapi saat-saat itu telah terlewati selama 4 tahun yang lalu, dan sudah sejak itu pula hingga saat ini aku masih mencintaimu. Aku tak kuasa mengungkapkan kala itu, aku malu dengan perasaan ku sendiri. Cukup hati dan Allah lah yang tahu.

Aisha.... aku memendam rasa sudah cukup lama, tapi aku takut tak berani mengungkap semuanya karena aku tak ingin terperangkap dalam cinta semu atau cinta yang sebatas nafsu belaka. Aku mencintaimu sepenuh hati, aku ingin menggenapkan setengah ”dien” ku bersamamu. Aku ingin engkau menjadi istri dan ibu dari anak-anak yang dapat menyejukkan hati kita. Aku ingin mendirikan bahtera rumah tangga bersama mu.

Aisha.... kini aku merasa telah saatnya mengungkapkan semua. Jika dirimu bersedia menjadi permaisuri hatiku dan meneruskan perjuangan bersama, maka katakanlah pada balasan suratmu, maka aku akan datang untuk mengkhitbahmu.

Yang mencintaimu dalam diam

Aku tertengun membaca untaian kata yang terukir rapi dikertas putih itu. Apakah aku sedang bermimpi?? Ya Allah....apa lagi ini....

Aku tak tahu dia siapa, 4 tahun yang lalu. Itu artinya ketika aku masih duduk dibangku SMA. Tapi siapakah dia???? Teman sekelasku, teman bermainku, teman satu sekolah beda kelas, atau abang tingkatku??? Astaghfirullah...kenapa aku jadi menebak-nebak tak pasti seperti ini. Perasaan bingung kian menyelimuti diri.

Aku bergegas menemui ibu, karena menurutku ibu adalah orang yang tepat dan tahu apa yang seharusnya aku lakukan. Aku menyerahkan surat itu, lalu ibu membacanya dengan seksama. Kemudian ibu menatapku, dan berkata, ”Aisha...kamu sudah dewasa, sudah saatnya untuk menentukan pilihan hidup.”

” Tampaknya pemuda ini adalah anak baik, dari tutur bahasanya menunjukkan seorang yang punya keteguhan iman dan senantiasa menjaga hatinya.

” Tidak mungkin dia hanya iseng mengirimkan ini untukmu, dia tampak begitu dewasa”.

Ibu tampak terdiam sejenak, dan melanjutkan perkataannya, ”Aisha.... alangkah baiknya jika kamu istikharah terlebih dahulu, dan ketika kamu sudah mendapat jawaban dan yakin dengan pilihanmu, baru kamu membalas suratnya, ibu akan mendukung setiap keputasanmu, kamu mengerti kan nak?”

Aku mengangguk pelan dan memeluk ibu. Begitu bijak kata-katanya begitu nyaman aku berada bersamanya, dan akupun tenang setelah mendengar sarannya.

“Terima kasih ya bu, Aisha sayang ibu” kataku sambil terus memeluknya.

***

Seminggu telah berlalu, aku telah melakukan saran ibu. Kini hatiku telah mantap dengan pilihan. Aku mengambil selembar kertas dan mulai menulis diatasnya. Dalam hati ku awali dengan mengucapkan ’bismillahirrahmanirrahim’, moga ini yang terbaik.

Kepada sang pemilik hati

Waalaikumsalam wr.wb

Alhamdulillah aku masih dalam lindungan Allah, dan masih diberi kesehatan hingga kini. Maaf sebelumnya jika aku baru membalas surat mu. Jujur aku terkejut, bingung, dan tak tahu harus berkata apa. Aku yakin engkau pemuda baik, yang bisa menjaga hati sekian tahun karena takut akan terjebak cinta semu.

Aku sangat menghargai ketulusanmu. Namun, jika mengajakku nikah sekarang, aku belum siap. Ada beberapa hal yang belum kuselesaikan, dan aku berharap engkau dapat mengerti.

Jika kamu bersungguh-sungguh ingin menggenapkan separuh ”dien” bersamaku, aku menunggu kehadiranmu setelah aku selesai diwisuda. Engkau boleh langsung membawa keluargamu untuk datang kerumah, dan berbicara dengan orang tua ku.

Namun, bila di tengah penantian engkau menemukan yang lain. Aku akan mengikhlaskannya. Aku tidak tahu engkau siapa, tapi yang pastinya aku yakin dengan keputusan ini. Aku yakin Allah yang mentakdirkan semua ini, dan Ia tentu lebih tahu apa yang terbaik untuk ku. Allah lah yang telah mengatur segalanya.

Aisha

Aku langsung mempostkan surat itu dengan alamat yang tertera di surat sebelumnya. Semoga saja ia membacanya dan semua berjalan dengan baik. Entah lah terkadang aku bingung dengan jalan hidupku, dengan cerita yang penuh liku, dan tak tahu akan berujung dimana.

Kini aku kembali menjalani hari-hari dengan segenap pikiran dan jiwaku terfokus pada Tugas Akhirku. Aku sejenak seperti telah melupakan semua yang pernah terjadi sejak aku membalas surat itu. Aku tidak mau kosentrasiku terpecah dengan hal-hal yang tidak penting. Sejak itu pula tak ada kabar lagi darinya, mungkin dia juga memahami kondisiku. Ya dia...si pecinta dalam diam, yang aku tak tahu siapa.

Bulan telah berganti bulan, dan tanpa terasa gelar sarjanapun telah kuperoleh. Senangnya melihat ibu tersenyum dihadapanku. Aku mencium dan memeluknya dengan pakaian toga, dan kamipun mengabadikan dalam beberapa foto.

Sungguh saat-saat yang membahagiakan. Sesaat aku teringat dengan surat itu, namun.... tak kunjung ada kabar, hingga akupun berniat untuk melupakannya.

Kabar gembira lainnya juga belanjut, yaitu selang beberapa hari setelah aku diwisuda, aku mendapatkan pekerjaan. Lengkaplah sudah semua, betapa inginnya aku membahagiakan orang tersayang. Ibu, meski semua tak sebanding dengan apa yang telah ia berikan untuk ku selama ini.

”Aisha....ibu bangga padamu, kini tanpa sadar engkau telah dewasa, dan semoga engkau senantiasa diberi kemudahan oleh Allah dalm menjalani kehidupan ini”, kata ibu suatu ketika padaku.

”Tanpa ibu, aisha bukan siapa-siapa, ibu adalah penyemangat dan tumpuan hidup aisha”, itu jawabku, dan kamipun tersenyum bersama.

***

Di hari libur tepatnya minggu, aku menghabiskan waktu dirumah. Aku sibuk membaca koleksi buku-buku di kamarku. Sayup-sayup terdengar suara ibu yang sedang berbincang dengan orang, dan aku tidak terlalu perduli, karena aku berpikir itu adalah tamu biasa.

Tak lama kemudian derap langkah kaki ibu terdengar menuju kamarku, dan ibu langsung masuk dan duduk disebelahku. Matanya tampak bercahaya, tak ku mengerti itu ungkapan perasaan senag atau sedih. Kemudian ia berkata, ” Aisha... ada tamu untukmu”.

”Siapa bu”, aku menjawabnya.

ibu kembali berkata,” seseorang yang ingin menjagamu, daia yang mengirimkan surat beberapa waktu lalu untukmu.

” Dia adalah seorang guru ngaji di sebuah pesantren, dan tak lain adalah teman SMA mu, kalian dulunya sekelas”.

Aku terkejut, dan semakin penasaran, ”siapa bu?”, aku kembali bertanya.

” Kamu siap-siap ganti pakaian ya, temui ia, dia datang bersama orang tuanya. Nanti kamu akan tahu sendiri.

”Keputusan ada di tangan mu, nak”, kata ibu lalu berlalu meninggalkan kamarku.

Pikiranku langsung menerawang ke masa beberapa tahun silam, untuk mengingat kembali siapa kira-kira teman dekat ku ketika SMA. Apakah Putra, yang selalu senang mengganggu dan menggodaku, yang sering membuatku kesel dan kemudian berbaikan kembali?, atau Rahmat yang berusaha mendekatiku tapi selalu gagal?, atau juga Fatih, pemuda yang dikenal pendiam, namun ilmu agamanya kuat? Aku terus menerka-nerka.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu tentang Fatih, kala itu aku duduk menangis ditaman sekolah ketika jam istirahat. Keluargaku diambang kehancuran. Aku menangis, terdiam dalam suasana hati yang kacau. Desiran angin yang melambai seakan datang untuk menyeka air mata yang terus mengalir di pipi. Namun itu tak mampu membuat ku berhenti menangis, aku terus larut dalam kesedihan. Ketika itu Fatih datang menghampiri dan bertanya,” Aisha.... kamu kenapa?”,aku terkejut, langsung menyeka air mata dan berkata, “tidak ada apa-apa.”

Hal di luar dugaan, aku kira dia akan pergi, namun itu tidak terjadi, ia bahkan duduk menemaniku. Aku bingung harus bagaimana, aku tak mampu lagi menutupi duka, dan akhirnya kuceritakan semua masalahku padanya.

“Fatih.... apa yang harus aku lakukan? Aku tak mau keluargaku hancur,” kataku sambil terus becerita padanya. Ia mendengarkan segala keluh kesahku, ia menghela nafas seketika dan berkata, “Aisha.... hidup ini penuh dengan ujian, tak ada yang tak pernah diuji oleh Allah, namun kadarnya berbeda-beda.” Ia kemudian meneruskan perkataan nya, “ Aisha.... banyak-banyak lah berdoa dan berusaha untuk menyatukan kembali keluargamu. Allah tahu apa yang terbaik untuk mu, dan kamu jangan pernah berburuk sangka pada-Nya.”

“ Tapi fatih.... aku tak sanggup menghadapi semua ini sendiri, aku tak sanggup menerima kenyataan pahit ini”, aku bergumam padanya. Dengan tatapan yang teduh, ia kembali berkata, “ Aisha....kata siapa kamu sendiri?, “kamu masih punya orang-orang yang sayang padamu, kamu masih punya Allah yang selalu melindungimu, jangan pernah lupakan itu aisha. “Allah tidak pernah tidur, Dia tahu apa yang terjadi pada hamba-Nya.”

Aku terdiam, dan berkata, “makasih ya fatih atas saran nya, pikiran ku kacau sehingga seringkali terpuruk dengan pikiran-pikiranku sendiri.

“Iya aisha sama-sama, aku senang kamu mempercayai ku untuk menceritakan masalahmu, moga masalah mu cepat berlalu, dan kamu dapat tersenyum dan ceria lagi seperti sebelumnya.”

“Amin ya robbal alamin”, kataku dan kamipun tersenyum bersama. Lalu ia pamit karena ingin masuk duluan ke kelas.

”Aisha... terdengar suara ibu yang kembali mengetuk kamarku, aku terperanjat, seketika lamunanku buyar dan aku tak sempat lagi memikirkan apa-apa. Aku langsung berjalan beriringan dengan ibu untuk melihat siapa gerangan tamu yang sudah menuggu ku di depan. Jantungku berdegup kencang, tampak seorang pemuda yang duduk tak jauh dari orang tuanya. Ia tertunduk, dan ketika ia mengangkat wajahnya, aku sontak kaget, jantungku serasa berhenti berdetak, dan nadi ku rasa terdiam tak mengalir lagi.

Ternyata yang selama ini berhasil menyembunyikan perasaan, yang selama ini menjaga hijab, yang menundukkan pandangan, dan yang mencintaiku dalam diam adalah...”Fatih”.

Ia tersenyum manis melihat kehadiranku.

Burung-burung terdengar kembali berkicau sejenak, dan kemudian hujan rintik pun turun membasahi bumi yang dahaga. Suatu perjalanan yang panjang telah ku lalui, dan akhir dari catatan panjang hidupku adalah cinta diam nya seorang Fatih.

Terima kasih Ya Allah.............

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun