Mohon tunggu...
Isur Suryati
Isur Suryati Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah mental healing terbaik

Mengajar di SMPN 1 Sumedang, tertarik dengan dunia kepenulisan. Ibu dari tiga anak. Menerbitkan kumpulan cerita pendek berbahasa Sunda berjudul 'Mushap Beureum Ati' (Mushap Merah Hati) pada tahun 2021. Selalu bahagia, bugar dan berkelimpahan rejeki. Itulah motto rasa syukur saya setiap hari.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menelisik Jejak-Jejak Patriotisme dalam "Aku" Chairil Anwar

2 Agustus 2022   16:14 Diperbarui: 2 Agustus 2022   16:17 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Chairil Anwar |Tribunnews.com

Berkenalan dengan karya Chairil Anwar yang profilnya melegenda sebagai pelopor angkatan '45 dalam sejarah sastra Indonesia, merupakan berkah yang patut disyukuri. Terima kasih tak terhingga karena Allah Swt., memberikan saya jiwa yang suka membaca dan cinta buku karya sastra sejak sekolah menengah. Sehingga nama besar Chairil Anwar tidak asing dalam ingatan, ia selalu terngiang dalam suara-suara puitisnya yang menggebrak jiwa. 

Bagaimana 'Aku' mengejawantahkan kemandirian dan ego yang ada dalam diri seorang manusia. Bahwa seorang manusia yang merdeka secara paripurna, ia tidak akan bergantung kepada bantuan orang lain. 'Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang' selalu menjadi nyala yang berpijar dalam diri. Ya, saya selalu merasa bahwa puisi aku yang ditulis oleh Chairil Anwar adalah cetusan suara hati yang berasal dari ceruk dalam nurani.

Sebagai seorang anak dari desa terpencil ditambah lagi berkepribadian introvert, alias pemalu, pendiam, dan tertutup. Bahkan, saking pendiamnya, orang-orang menjuluki saya sebagai orang yang berbicaranya 'sabedug sakali'. Artinya, berbicara jika ada yang menyapa atau ada yang bertanya.

Jika tidak ada yang 'nakol' atau nanya. Mungkin sabedug sakali pun tidak. Saya pun mengakuinya, memang seperti itulah. Entah mengapa, saat itu saya merasa tidak bisa untuk banyak berbicara. Padahal, hati dan pikiran amat riuhlah berpendapat. Sebenarnya, banyak sekali kata dan kalimat yang ingin dicurahkan. Namun, saat akan membuka mulut untuk melisankan kalimat-kalimat itu. Hati saya selalu saja mendahului lisan, ia berkata : "Sudahlah, jangan banyak omong, tidak ada gunanya, tidak ada orang yang akan mau mendengarkanmu."

Akhirnya, saya menenggelamkan diri dalam debu-debu buku perpustakaan, buku diary, dan kertas-kertas ide yang berserakan dalam pikiran. Puisi 'Aku' karya Chairil Anwar adalah teman dan sahabat di kala saya merasa bahwa tidak ada orang yang mau dan mampu mengerti diri ini. Saya luapkan kegalauan, keresahan jiwa, pemberontakan, dan rasa cinta yang muncul saat sekolah menengah itu dalam untaian-untaian puisi. Chairil Anwar adalah guru pertama yang mengajari saya menulis puisi. Dia telah sukses menjadi guru yang tak kasat mata, santai, dan tidak menggurui. 

Saya suka gaya dia saat memegang rokok di tangannya, terlihat sangat cool dan laki banget. Bahkan, dulu saya pernah berkhayal memiliki suami yang wajahnya seperti Chairil Anwar. Menurut pemikiran saya saat itu, laki-laki seperti inilah, yang akan mampu mengerti perempuan. Karena, dia berbicara melalui hati dan perasaannya. Laki-laki yang jago menulis puisi adalah laki-laki dengan jiwa yang bebas, pemikirannya kritis, dan halus serta lembut perasaannya.

'Aku adalah Aku'

Semua puisi karya Chairil Anwar saya suka. Tapi, puisi yang berjudul 'Aku' adalah satu-satunya karya yang membuat saya mampu bangkit dari keterpurukan saat itu. Ketika nilai-nilai ujian jelek, ada masalah dengan teman, dihina, dijelek-jelekkan, dan lain-lain. Maka, membaca puisi ini, saya tiba-tiba saja merasa bersemangat, termotivasi, dan optimis. 

Puisi ini juga telah berjasa membangkitkan rasa percaya diri saya. Bahwa, kalau sampai waktuku, maksudnya tiba waktunya untuk meraih prestasi dan kesuksesan. Maka, aku akan tetap fokus pada tujuan itu, tidak akan mudah tergoyahkan oleh rayuan, tangisan, dan apapun juga. Termasuk juga rayuan, hinaan, rengekan dari 'kau'. Kata kau di sini bisa dimaksudkan orang sebagai kekasih, musuh, kawan, dan lain-lain. Bisa juga halangan atau rintangan dalam kehidupan. Berikut adalah puisi berjudul 'Aku' saya yakin semua orang sudah tidak asing lagi dengan liriknya.

Aku 

Kalau sampai waktuku 

Ku mau tak seorang kan merayu 

Tidak juga kau 

Tak perlu sedu sedan itu 

Aku ini binatang jalang 

Dari kumpulannya terbuang 

Biar peluru menembus kulitku 

Aku tetap meradang menerjang 

Luka dan bisa kubawa berlari 

Berlari Hingga hilang pedih peri 

Dan aku akan lebih tidak peduli 

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Jejak patriotisme

Dalam karya-karya yang ditulisnya, saya melihat ada semangat yang menyala, ada pijar yang meletup-letup yang timbul dari dalam dada. Semacam kritik yang tajam, tapi dikemas dalam kalimat-kalimat dan sindiran halus. Sehingga orang yang dikritisi tidak merasa bahwa puisi itu untuk menyinggungnya.

Sebagai pelopor angkatan '45 tidak berlebihan dan sudah seharusnya, jika karya yang dihasilkan oleh Chairil Anwar mengandung unsur patriotisme. Karena, seperti dikatakan oleh seorang budayawan bahwa teks sebagai hasil karya tidak dapat dilepaskan dari konteks waktu, tempat, sejarah, dan budaya yang melatarbelakanginya. 

Puisi-puisi karya Chairil Anwar sangat lekat dengan aroma patriotisme. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa kata patriotisme berasal dari patriot dan -isme. Patriot memiliki makna bersifat kepahlawanan atau memiliki jiwa pahlawan. Sedangkan akhiran -isme menandakan suatu paham, ajaran, atau kepercayaan. Jadi, patriotisme dapat dimaknai sebagai paham yang bersifat kepahlawanan. Kita dapat menemukan jejak-jejak patriotisme tersebut melalui elemen sikap berikut. 

Semangat dan kemandirian

Melalui puisi yang berjudul 'Aku' kita dapat melihat ada semangat, vitalitas, energi dalam kehidupan, serta kemandirian. Kata 'Aku' yang bersinonim dengan saya dan beta, dipilih sebagai simbol dari kemandirian itu. Bahwa secara manusia, memang kita memiliki ego, dan kata 'aku' sangat mewakili individualitas dari ego tersebut.

Ketika sudah memiliki tujuan, dalam hal ini kita dapat menemukan dalam kalimat 'Kalau sampai waktuku'. Ada beberapa kritikus yang berpendapat bahwa kalimat di atas memiliki makna jika Indonesia sudah mencapai gerbang kemerdekaan. Kata 'aku' dalam puisi tersebut bukan aku secara pribadi, melainkan aku sebagai bangsa Indonesia. Banyak kata yang melambangkan semangat dari puisi yang berjudul 'Aku'. Bahkan menurut saya, hampir secara keseluruhan kata-kata dari puisi ini menggelorakan semangat bagi siapa saja yang mendengar atau membacanya.

Semangat itu dapat kita lihat dalam kalimat : aku mau hidup seribu tahun lagi. Hal ini menandakan optimisme dan harapan yang menggebu. Walau pada akhirnya, menurut sejarah Chairil Anwar meninggal pada usia yang masih muda, yakni menjelang usia 27 tahun. Namun, semangat itu ia gaungkan melalui tulisannya. Sehingga, saat jasadnya terkubur di bawah tanah pun, karya-karyanya tetap mengangkasa, menggaungkan semangat yang menggelora.

Sikap yang berani

Kita dapat melihat patriotisme dalam sikap dan keberanian yang dituangkan Chairil Anwar dalam puisi 'Aku' di atas. Kita akan menemukan kalimat, 'aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang'. Maksudnya, penyair mengakui bahwa dirinya adalah binatang jalang, yakni binatang yang hidup berkeliaran secara bebas, tidak dikekang, bisa hidup merdeka sesuai kehendak hatinya, tidak suka diperintah, dan tidak mau terikat oleh aturan-aturan yang berlaku dalam kehidupan. 

Kalimat aku ini binatang jalan juga menunjukkan sikap yang berani dalam mengakui bahwa dirinya memang manusia yang hina, seperti binatang jalang yang mau hidup bebas dan tidak taat aturan. 'Dari kumpulannya terbuang' dapat kita maknai sebagai sebuah pengakuan, bahwa ketika dia mengidentifikasi diri sebagai binatang jalang yang tidak suka diatur. Ternyata, dalam perkumpulan itu, dia juga tidak bisa mengikuti aturan kelompok tersebut. Sehingga, binatang jalang ini benar-benar hidup sendiri, menyendiri, dan mandiri menjalani kehidupan merdeka sesuai keinginannya.

Pantang menyerah

Sikap pantang menyerah dan tidak mudah putus asa, sebagai indikator adanya patriotisme dalam jiwa penyair dapat kita temukan dalam kalimat-kalimat berikut. Diantaranya : Biar peluru menembus kulitku, aku tetap meradang menerjang. Artinya, sebagai seorang manusia ketika menghadapi masalah, peperangan, baku hantam, dan pertempuran demi membela kebenaran dan cita-cita.

Maka, kita harus memiliki sikap pantang menyerah. Walaupun peluru menembus kulit, cacian dan hinaan menghancurkan mental. Kita harus tetap berjuang dan berupaya. Meradang dan terus menerjang dengan segala kekuatan dan sumber daya yang ada pada diri kita. Karena, luka dan bisa ku bawa berlari, hingga hilang pedih peri. Saat kita terluka, terkena bisa, berdarah, dan sakit. Dengan terus fokus pada tujuan, terus berlari mengejar harapan. Maka, luka dan bisa itu akan hilang dengan sendirinya. 

Rela berkorban 

Penyair menunjukkan sikap rela berkorban melalui kalimat, dari kumpulannya terbuang. Sebagai seorang yang mandiri dan individualistis ia rela untuk menjadi terbuang dari komunitas atau kelompok yang sesuai dengan jati dirinya. Demi sebuah tujuan mulia yakni kemerdekaan bangsa.

 

Berkenalan dengan karya Chairil Anwar yang profilnya melegenda sebagai pelopor angkatan '45 dalam sejarah sastra Indonesia, merupakan berkah yang patut disyukuri. Terima kasih tak terhingga karena Allah Swt., memberikan saya jiwa yang suka membaca dan cinta buku karya sastra sejak sekolah menengah. Sehingga nama besar Chairil Anwar tidak asing dalam ingatan, ia selalu terngiang dalam suara-suara puitisnya yang menggebrak jiwa. 

Bagaimana 'Aku' mengejawantahkan kemandirian dan ego yang ada dalam diri seorang manusia. Bahwa seorang manusia yang merdeka secara paripurna, ia tidak akan bergantung kepada bantuan orang lain. 'Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang' selalu menjadi nyala yang berpijar dalam diri. Ya, saya selalu merasa bahwa puisi aku yang ditulis oleh Chairil Anwar adalah cetusan suara hati yang berasal dari ceruk dalam nurani.

Sebagai seorang anak dari desa terpencil ditambah lagi berkepribadian introvert, alias pemalu, pendiam, dan tertutup. Bahkan, saking pendiamnya, orang-orang menjuluki saya sebagai orang yang berbicaranya 'sabedug sakali'. Artinya, berbicara jika ada yang menyapa atau ada yang bertanya.

Jika tidak ada yang 'nakol' atau nanya. Mungkin sabedug sakali pun tidak. Saya pun mengakuinya, memang seperti itulah. Entah mengapa, saat itu saya merasa tidak bisa untuk banyak berbicara. Padahal, hati dan pikiran amat riuhlah berpendapat. Sebenarnya, banyak sekali kata dan kalimat yang ingin dicurahkan. Namun, saat akan membuka mulut untuk melisankan kalimat-kalimat itu. Hati saya selalu saja mendahului lisan, ia berkata : "Sudahlah, jangan banyak omong, tidak ada gunanya, tidak ada orang yang akan mau mendengarkanmu."

Akhirnya, saya menenggelamkan diri dalam debu-debu buku perpustakaan, buku diary, dan kertas-kertas ide yang berserakan dalam pikiran. Puisi 'Aku' karya Chairil Anwar adalah teman dan sahabat di kala saya merasa bahwa tidak ada orang yang mau dan mampu mengerti diri ini. Saya luapkan kegalauan, keresahan jiwa, pemberontakan, dan rasa cinta yang muncul saat sekolah menengah itu dalam untaian-untaian puisi. Chairil Anwar adalah guru pertama yang mengajari saya menulis puisi. Dia telah sukses menjadi guru yang tak kasat mata, santai, dan tidak menggurui. 

Saya suka gaya dia saat memegang rokok di tangannya, terlihat sangat cool dan laki banget. Bahkan, dulu saya pernah berkhayal memiliki suami yang wajahnya seperti Chairil Anwar. Menurut pemikiran saya saat itu, laki-laki seperti inilah, yang akan mampu mengerti perempuan. Karena, dia berbicara melalui hati dan perasaannya. Laki-laki yang jago menulis puisi adalah laki-laki dengan jiwa yang bebas, pemikirannya kritis, dan halus serta lembut perasaannya.

'Aku adalah Aku'

Semua puisi karya Chairil Anwar saya suka. Tapi, puisi yang berjudul 'Aku' adalah satu-satunya karya yang membuat saya mampu bangkit dari keterpurukan saat itu. Ketika nilai-nilai ujian jelek, ada masalah dengan teman, dihina, dijelek-jelekkan, dan lain-lain. Maka, membaca puisi ini, saya tiba-tiba saja merasa bersemangat, termotivasi, dan optimis. 

Puisi ini juga telah berjasa membangkitkan rasa percaya diri saya. Bahwa, kalau sampai waktuku, maksudnya tiba waktunya untuk meraih prestasi dan kesuksesan. Maka, aku akan tetap fokus pada tujuan itu, tidak akan mudah tergoyahkan oleh rayuan, tangisan, dan apapun juga. Termasuk juga rayuan, hinaan, rengekan dari 'kau'. Kata kau di sini bisa dimaksudkan orang sebagai kekasih, musuh, kawan, dan lain-lain. Bisa juga halangan atau rintangan dalam kehidupan. Berikut adalah puisi berjudul 'Aku' saya yakin semua orang sudah tidak asing lagi dengan liriknya.

Aku 

Kalau sampai waktuku 

Ku mau tak seorang kan merayu 

Tidak juga kau 

Tak perlu sedu sedan itu 

Aku ini binatang jalang 

Dari kumpulannya terbuang 

Biar peluru menembus kulitku 

Aku tetap meradang menerjang 

Luka dan bisa kubawa berlari 

Berlari Hingga hilang pedih peri 

Dan aku akan lebih tidak peduli 

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Jejak patriotisme

Dalam karya-karya yang ditulisnya, saya melihat ada semangat yang menyala, ada pijar yang meletup-letup yang timbul dari dalam dada. Semacam kritik yang tajam, tapi dikemas dalam kalimat-kalimat dan sindiran halus. Sehingga orang yang dikritisi tidak merasa bahwa puisi itu untuk menyinggungnya.

Sebagai pelopor angkatan '45 tidak berlebihan dan sudah seharusnya, jika karya yang dihasilkan oleh Chairil Anwar mengandung unsur patriotisme. Karena, seperti dikatakan oleh seorang budayawan bahwa teks sebagai hasil karya tidak dapat dilepaskan dari konteks waktu, tempat, sejarah, dan budaya yang melatarbelakanginya. 

Puisi-puisi karya Chairil Anwar sangat lekat dengan aroma patriotisme. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa kata patriotisme berasal dari patriot dan -isme. Patriot memiliki makna bersifat kepahlawanan atau memiliki jiwa pahlawan. Sedangkan akhiran -isme menandakan suatu paham, ajaran, atau kepercayaan. Jadi, patriotisme dapat dimaknai sebagai paham yang bersifat kepahlawanan. Kita dapat menemukan jejak-jejak patriotisme tersebut melalui elemen sikap berikut. 

Semangat dan kemandirian

Melalui puisi yang berjudul 'Aku' kita dapat melihat ada semangat, vitalitas, energi dalam kehidupan, serta kemandirian. Kata 'Aku' yang bersinonim dengan saya dan beta, dipilih sebagai simbol dari kemandirian itu. Bahwa secara manusia, memang kita memiliki ego, dan kata 'aku' sangat mewakili individualitas dari ego tersebut.

Ketika sudah memiliki tujuan, dalam hal ini kita dapat menemukan dalam kalimat 'Kalau sampai waktuku'. Ada beberapa kritikus yang berpendapat bahwa kalimat di atas memiliki makna jika Indonesia sudah mencapai gerbang kemerdekaan. Kata 'aku' dalam puisi tersebut bukan aku secara pribadi, melainkan aku sebagai bangsa Indonesia. Banyak kata yang melambangkan semangat dari puisi yang berjudul 'Aku'. Bahkan menurut saya, hampir secara keseluruhan kata-kata dari puisi ini menggelorakan semangat bagi siapa saja yang mendengar atau membacanya.

Semangat itu dapat kita lihat dalam kalimat : aku mau hidup seribu tahun lagi. Hal ini menandakan optimisme dan harapan yang menggebu. Walau pada akhirnya, menurut sejarah Chairil Anwar meninggal pada usia yang masih muda, yakni menjelang usia 27 tahun. Namun, semangat itu ia gaungkan melalui tulisannya. Sehingga, saat jasadnya terkubur di bawah tanah pun, karya-karyanya tetap mengangkasa, menggaungkan semangat yang menggelora.

Sikap yang berani

Kita dapat melihat patriotisme dalam sikap dan keberanian yang dituangkan Chairil Anwar dalam puisi 'Aku' di atas. Kita akan menemukan kalimat, 'aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang'. Maksudnya, penyair mengakui bahwa dirinya adalah binatang jalang, yakni binatang yang hidup berkeliaran secara bebas, tidak dikekang, bisa hidup merdeka sesuai kehendak hatinya, tidak suka diperintah, dan tidak mau terikat oleh aturan-aturan yang berlaku dalam kehidupan. 

Kalimat aku ini binatang jalan juga menunjukkan sikap yang berani dalam mengakui bahwa dirinya memang manusia yang hina, seperti binatang jalang yang mau hidup bebas dan tidak taat aturan. 'Dari kumpulannya terbuang' dapat kita maknai sebagai sebuah pengakuan, bahwa ketika dia mengidentifikasi diri sebagai binatang jalang yang tidak suka diatur. Ternyata, dalam perkumpulan itu, dia juga tidak bisa mengikuti aturan kelompok tersebut. Sehingga, binatang jalang ini benar-benar hidup sendiri, menyendiri, dan mandiri menjalani kehidupan merdeka sesuai keinginannya.

Pantang menyerah

Sikap pantang menyerah dan tidak mudah putus asa, sebagai indikator adanya patriotisme dalam jiwa penyair dapat kita temukan dalam kalimat-kalimat berikut. Diantaranya : Biar peluru menembus kulitku, aku tetap meradang menerjang. Artinya, sebagai seorang manusia ketika menghadapi masalah, peperangan, baku hantam, dan pertempuran demi membela kebenaran dan cita-cita.

Maka, kita harus memiliki sikap pantang menyerah. Walaupun peluru menembus kulit, cacian dan hinaan menghancurkan mental. Kita harus tetap berjuang dan berupaya. Meradang dan terus menerjang dengan segala kekuatan dan sumber daya yang ada pada diri kita. Karena, luka dan bisa ku bawa berlari, hingga hilang pedih peri. Saat kita terluka, terkena bisa, berdarah, dan sakit. Dengan terus fokus pada tujuan, terus berlari mengejar harapan. Maka, luka dan bisa itu akan hilang dengan sendirinya. 

Sikap ini cocok sekali dengan kisah burung elang dan gagak. Bagaimana saat elang sedang terbang rendah, tiba-tiba saja ada seekor burung hitam kecil terbang dan naik di punggungnya, mematuk bulu dan daging punggung elang.  Namun, sang elang tidak menghiraukan rasa sakit dan luka yang diakibatkan oleh patukan burung hitam bernama gagak itu. Elang juga tidak melakukan perlawanan atau coba menghalau burung tersebut.

Elang terus fokus terbang tinggi, tinggi, dan lebih tinggi lagi. Ia mengepakkan sayapnya dengan gagah mengangkasa ke langit luas. Hingga di ketinggian tertentu, burung gagak merasa kehabisan nafas. Lalu, ia pun jatuh dengan sendirinya, jasadnya menghunjam bumi. 

Begitulah juga kita, sebagai manusia. Dalam kehidupan pasti kita menemukan burung gagak sebagai masalah, ujian, kendala, dan cobaan kehidupan. Maka, kita tidak usah menghiraukan burung gagak itu, apalagi berusaha untuk menghalaunya. Biarkan saja bgagak berperan sebagai tokoh antagonistik yang menghalangi tujuan kita. Tetaplah fokus mengepakkan sayap dan terbang lebih tinggi, untuk menggapai tujuan dan cita-cita. Karena, seiring dengan keberhasilan dan kesuksesan kita dalam perjuangan. Gagak hitam itu akan jatuh dengan sendirinya. Terima kasih Chairil Anwar, karya-karyamu selalu jadi motivasi kehidupan saya. (*)

#100 Tahun Chairil Anwar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun