Kalimat aku ini binatang jalan juga menunjukkan sikap yang berani dalam mengakui bahwa dirinya memang manusia yang hina, seperti binatang jalang yang mau hidup bebas dan tidak taat aturan. 'Dari kumpulannya terbuang' dapat kita maknai sebagai sebuah pengakuan, bahwa ketika dia mengidentifikasi diri sebagai binatang jalang yang tidak suka diatur. Ternyata, dalam perkumpulan itu, dia juga tidak bisa mengikuti aturan kelompok tersebut. Sehingga, binatang jalang ini benar-benar hidup sendiri, menyendiri, dan mandiri menjalani kehidupan merdeka sesuai keinginannya.
Sikap pantang menyerah dan tidak mudah putus asa, sebagai indikator adanya patriotisme dalam jiwa penyair dapat kita temukan dalam kalimat-kalimat berikut. Diantaranya : Biar peluru menembus kulitku, aku tetap meradang menerjang. Artinya, sebagai seorang manusia ketika menghadapi masalah, peperangan, baku hantam, dan pertempuran demi membela kebenaran dan cita-cita.
Maka, kita harus memiliki sikap pantang menyerah. Walaupun peluru menembus kulit, cacian dan hinaan menghancurkan mental. Kita harus tetap berjuang dan berupaya. Meradang dan terus menerjang dengan segala kekuatan dan sumber daya yang ada pada diri kita. Karena, luka dan bisa ku bawa berlari, hingga hilang pedih peri. Saat kita terluka, terkena bisa, berdarah, dan sakit. Dengan terus fokus pada tujuan, terus berlari mengejar harapan. Maka, luka dan bisa itu akan hilang dengan sendirinya.Â
Rela berkorbanÂ
Penyair menunjukkan sikap rela berkorban melalui kalimat, dari kumpulannya terbuang. Sebagai seorang yang mandiri dan individualistis ia rela untuk menjadi terbuang dari komunitas atau kelompok yang sesuai dengan jati dirinya. Demi sebuah tujuan mulia yakni kemerdekaan bangsa.
Â
Berkenalan dengan karya Chairil Anwar yang profilnya melegenda sebagai pelopor angkatan '45 dalam sejarah sastra Indonesia, merupakan berkah yang patut disyukuri. Terima kasih tak terhingga karena Allah Swt., memberikan saya jiwa yang suka membaca dan cinta buku karya sastra sejak sekolah menengah. Sehingga nama besar Chairil Anwar tidak asing dalam ingatan, ia selalu terngiang dalam suara-suara puitisnya yang menggebrak jiwa.Â
Bagaimana 'Aku' mengejawantahkan kemandirian dan ego yang ada dalam diri seorang manusia. Bahwa seorang manusia yang merdeka secara paripurna, ia tidak akan bergantung kepada bantuan orang lain. 'Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang' selalu menjadi nyala yang berpijar dalam diri. Ya, saya selalu merasa bahwa puisi aku yang ditulis oleh Chairil Anwar adalah cetusan suara hati yang berasal dari ceruk dalam nurani.
Sebagai seorang anak dari desa terpencil ditambah lagi berkepribadian introvert, alias pemalu, pendiam, dan tertutup. Bahkan, saking pendiamnya, orang-orang menjuluki saya sebagai orang yang berbicaranya 'sabedug sakali'. Artinya, berbicara jika ada yang menyapa atau ada yang bertanya.
Jika tidak ada yang 'nakol' atau nanya. Mungkin sabedug sakali pun tidak. Saya pun mengakuinya, memang seperti itulah. Entah mengapa, saat itu saya merasa tidak bisa untuk banyak berbicara. Padahal, hati dan pikiran amat riuhlah berpendapat. Sebenarnya, banyak sekali kata dan kalimat yang ingin dicurahkan. Namun, saat akan membuka mulut untuk melisankan kalimat-kalimat itu. Hati saya selalu saja mendahului lisan, ia berkata : "Sudahlah, jangan banyak omong, tidak ada gunanya, tidak ada orang yang akan mau mendengarkanmu."