Semangat dan kemandirian
Melalui puisi yang berjudul 'Aku' kita dapat melihat ada semangat, vitalitas, energi dalam kehidupan, serta kemandirian. Kata 'Aku' yang bersinonim dengan saya dan beta, dipilih sebagai simbol dari kemandirian itu. Bahwa secara manusia, memang kita memiliki ego, dan kata 'aku' sangat mewakili individualitas dari ego tersebut.
Ketika sudah memiliki tujuan, dalam hal ini kita dapat menemukan dalam kalimat 'Kalau sampai waktuku'. Ada beberapa kritikus yang berpendapat bahwa kalimat di atas memiliki makna jika Indonesia sudah mencapai gerbang kemerdekaan. Kata 'aku' dalam puisi tersebut bukan aku secara pribadi, melainkan aku sebagai bangsa Indonesia. Banyak kata yang melambangkan semangat dari puisi yang berjudul 'Aku'. Bahkan menurut saya, hampir secara keseluruhan kata-kata dari puisi ini menggelorakan semangat bagi siapa saja yang mendengar atau membacanya.
Semangat itu dapat kita lihat dalam kalimat : aku mau hidup seribu tahun lagi. Hal ini menandakan optimisme dan harapan yang menggebu. Walau pada akhirnya, menurut sejarah Chairil Anwar meninggal pada usia yang masih muda, yakni menjelang usia 27 tahun. Namun, semangat itu ia gaungkan melalui tulisannya. Sehingga, saat jasadnya terkubur di bawah tanah pun, karya-karyanya tetap mengangkasa, menggaungkan semangat yang menggelora.
Sikap yang berani
Kita dapat melihat patriotisme dalam sikap dan keberanian yang dituangkan Chairil Anwar dalam puisi 'Aku' di atas. Kita akan menemukan kalimat, 'aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang'. Maksudnya, penyair mengakui bahwa dirinya adalah binatang jalang, yakni binatang yang hidup berkeliaran secara bebas, tidak dikekang, bisa hidup merdeka sesuai kehendak hatinya, tidak suka diperintah, dan tidak mau terikat oleh aturan-aturan yang berlaku dalam kehidupan.Â
Kalimat aku ini binatang jalan juga menunjukkan sikap yang berani dalam mengakui bahwa dirinya memang manusia yang hina, seperti binatang jalang yang mau hidup bebas dan tidak taat aturan. 'Dari kumpulannya terbuang' dapat kita maknai sebagai sebuah pengakuan, bahwa ketika dia mengidentifikasi diri sebagai binatang jalang yang tidak suka diatur. Ternyata, dalam perkumpulan itu, dia juga tidak bisa mengikuti aturan kelompok tersebut. Sehingga, binatang jalang ini benar-benar hidup sendiri, menyendiri, dan mandiri menjalani kehidupan merdeka sesuai keinginannya.
Pantang menyerah
Sikap pantang menyerah dan tidak mudah putus asa, sebagai indikator adanya patriotisme dalam jiwa penyair dapat kita temukan dalam kalimat-kalimat berikut. Diantaranya : Biar peluru menembus kulitku, aku tetap meradang menerjang. Artinya, sebagai seorang manusia ketika menghadapi masalah, peperangan, baku hantam, dan pertempuran demi membela kebenaran dan cita-cita.
Maka, kita harus memiliki sikap pantang menyerah. Walaupun peluru menembus kulit, cacian dan hinaan menghancurkan mental. Kita harus tetap berjuang dan berupaya. Meradang dan terus menerjang dengan segala kekuatan dan sumber daya yang ada pada diri kita. Karena, luka dan bisa ku bawa berlari, hingga hilang pedih peri. Saat kita terluka, terkena bisa, berdarah, dan sakit. Dengan terus fokus pada tujuan, terus berlari mengejar harapan. Maka, luka dan bisa itu akan hilang dengan sendirinya.Â
Sikap ini cocok sekali dengan kisah burung elang dan gagak. Bagaimana saat elang sedang terbang rendah, tiba-tiba saja ada seekor burung hitam kecil terbang dan naik di punggungnya, mematuk bulu dan daging punggung elang. Â Namun, sang elang tidak menghiraukan rasa sakit dan luka yang diakibatkan oleh patukan burung hitam bernama gagak itu. Elang juga tidak melakukan perlawanan atau coba menghalau burung tersebut.