Nama : Istiani Aditia Rukmana
Nim : 41123010088
Mata Kuliah : Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB
Dosen Pengampu : Apollo, Prof. Dr, M.Si. Ak
Siapa Ki Hadjar Dewantara itu?
Ki Hadjar Dewantara, dikenal sebagai pelopor pendidikan bagi rakyat Indonesia, memiliki latar belakang yang unik dan berpengaruh besar terhadap gaya kepemimpinannya. Lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat pada tahun 1889, ia merupakan sosok yang lahir dari keluarga priyayi atau bangsawan Jawa, yang memberinya akses ke pendidikan formal dan tradisi budaya Jawa (Susilo, 2018).
Sejarah singkat dan latar belakang pendidikannya dimulai saat ia menempuh pendidikan di sekolah ELS (Europeesche Lagere School), yang merupakan sekolah untuk kalangan elite pribumi dan Belanda. Namun, pendidikan formal barat yang ia terima tidak sepenuhnya memuaskan rasa keingin tahuannya tentang kebudayaan dan pendidikan yang sesuai untuk bangsa Indonesia. Ki Hadjar Dewantara mulai menyadari bahwa sistem pendidikan kolonial cenderung menekan dan tidak menghargai kearifan lokal, serta lebih berorientasi pada kepentingan kolonial daripada pengembangan potensi individu Indonesia (Suparlan, 2016).
Ki Hadjar Dewantara juga sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial dan politik pada masanya, terutama dalam menghadapi kolonialisme dan upaya untuk membangun identitas nasional Indonesia. Ia memandang pendidikan sebagai alat penting untuk memajukan bangsa dan mencapai kemerdekaan. Gaya kepemimpinannya yang inklusif dan berorientasi pada pemberdayaan masyarakat menjadi ciri khas yang membedakannya dari pemimpin pendidikan lain pada zamannya (Erlianto & Santo, 2022).
Dalam mengembangkan sistem pendidikannya, Ki Hadjar Dewantara menekankan pentingnya pendidikan yang tidak hanya berfokus pada aspek intelektual, tetapi juga emosional, spiritual, dan sosial. Hal ini sejalan dengan pandangannya bahwa pendidikan harus membebaskan, bukan menindas atau membatasi potensi seseorang (Susilo, 2018).
Dengan demikian, latar belakang singkat dari Ki Hadjar Dewantara yang kaya akan pengalaman dan pengetahuan, baik dari pendidikan formal barat maupun tradisi budaya Jawa, telah membentuk gaya kepemimpinannya yang unik. Gaya kepemimpinan ini tidak hanya berfokus pada pengembangan akademis, tetapi juga pada pembentukan karakter dan identitas nasional, yang sangat penting dalam konteks Indonesia pada masa itu.
Prinsip Kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara, seorang tokoh pendidikan dan kebangsaan Indonesia, dikenal dengan prinsip-prinsip kepemimpinannya yang inovatif dan berakar kuat pada nilai-nilai budaya Indonesia. Salah satu konsep inti dalam pemikirannya adalah "Panca Darma", yang terdiri dari lima prinsip dasar: Asas Kemerdekaan, Asas Kodrat Alam, Asas Kebudayaan, Asas Kebangsaan, dan Asas Kemanusiaan (Susilo, 2018).
1. Asas Kemerdekaan: Prinsip ini menekankan pentingnya kemerdekaan dalam pendidikan. Ki Hadjar Dewantara percaya bahwa pendidikan harus membebaskan pikiran dan jiwa, bukan membatasi atau mengkondisikan mereka. Ini tercermin dalam gaya kepemimpinannya yang memberikan kebebasan kepada siswa untuk mengeksplorasi dan mengekspresikan diri mereka sendiri (Suparlan, 2016).
2. Asas Kodrat Alam: Prinsip ini berfokus pada pentingnya alam dalam proses pendidikan. Ki Hadjar Dewantara menganggap alam sebagai guru terbaik, di mana siswa dapat belajar dari pengalaman langsung dan interaksi dengan lingkungan sekitar. Ini mendorong pendekatan kepemimpinan yang berorientasi pada pengalaman dan pembelajaran praktis (Widyayanti & Murtiningsih).
3. Asas Kebudayaan: Ki Hadjar Dewantara menekankan pentingnya kebudayaan dalam pendidikan. Ia percaya bahwa pendidikan harus mengakar pada kebudayaan lokal dan nasional, sehingga siswa dapat memahami dan menghargai warisan budaya mereka. Ini tercermin dalam gaya kepemimpinannya yang selalu mengintegrasikan unsur-unsur budaya dalam kurikulum dan kegiatan sekolah (Erlianto & Santo, 2022).
4. Asas Kebangsaan: Prinsip ini berkaitan dengan pembentukan identitas nasional. Ki Hadjar Dewantara menganggap pendidikan sebagai sarana untuk membangun kesadaran kebangsaan dan patriotisme. Gaya kepemimpinannya di bidang pendidikan selalu menekankan pentingnya memupuk rasa cinta tanah air dan kesadaran sebagai bangsa Indonesia (Susilo, 2018).
5. Asas Kemanusiaan: Terakhir, Ki Hadjar Dewantara menekankan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dalam pendidikan. Ia percaya bahwa pendidikan harus mengembangkan empati, kepedulian, dan rasa hormat terhadap sesama. Gaya kepemimpinannya mencerminkan komitmen ini melalui penekanan pada pengajaran nilai-nilai moral dan etika (Suparlan, 2016).
Pengaruh prinsip-prinsip ini pada pendekatan kepemimpinannya sangat signifikan. Ki Hadjar Dewantara tidak hanya mengajar konsep-konsep ini secara teoritis, tetapi juga menerapkannya dalam praktik pendidikan sehari-hari. Di sekolah Taman Siswa, yang ia dirikan, prinsip-prinsip ini menjadi dasar dalam pengembangan kurikulum dan metode pengajaran. Gaya kepemimpinannya yang partisipatif dan inklusif mencerminkan nilai-nilai ini, di mana siswa diberi kebebasan untuk berpartisipasi aktif dalam proses belajar dan mengembangkan pemahaman mereka sendiri tentang materi pelajaran.
Dengan demikian, prinsip-prinsip kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara tidak hanya berperan penting dalam pengembangan sistem pendidikan di Indonesia, tetapi juga dalam membentuk generasi muda yang berpikiran kritis, berbudaya, dan memiliki rasa tanggung jawab sosial yang kuat.
Hadjar Dewantara: Sebuah sketsa atau ilustrasi yang menggambarkan Ki Hadjar Dewantara, dikenal sebagai pelopor pendidikan bagi rakyat Indonesia. Gambar ini menampilkan sosoknya yang bijaksana dan penuh wibawa, sering digambarkan dengan pakaian tradisional dan ekspresi yang tenang namun tegas.
Panca Darma: Di sekeliling gambar Ki Hadjar Dewantara, terdapat lima simbol atau ikon yang mewakili 'Panca Darma', yaitu lima prinsip dasar yang diajarkan olehnya. Masing-masing simbol ini menggambarkan:
- Asas Kemerdekaan: Dapat digambarkan dengan simbol burung yang terbang bebas, melambangkan kebebasan dan otonomi.
- Asas Kodrat Alam: Simbol pohon atau bumi, menandakan keterkaitan manusia dengan alam dan pentingnya hidup selaras dengan alam.
- Asas Kebudayaan: Simbol buku atau artefak budaya, menggambarkan pentingnya pendidikan dan pelestarian budaya.
- Asas Kebangsaan: Bendera Indonesia atau simbol lain yang mewakili nasionalisme dan kecintaan terhadap tanah air.
- Asas Kemanusiaan: Simbol dua tangan yang saling berpegangan, melambangkan persatuan, kemanusiaan, dan solidaritas.
Konsep "Taman Siswa" Dan Pendekatan Pendidikan yang Inovatif
"Taman Siswa" didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara pada tahun 1922 sebagai respons terhadap sistem pendidikan kolonial yang dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat Indonesia. Konsep ini berlandaskan pada prinsip-prinsip seperti kebebasan, kemandirian, dan penghormatan terhadap kearifan lokal. Di "Taman Siswa", siswa diajarkan untuk mengembangkan diri secara holistik, mencakup aspek intelektual, emosional, spiritual, dan sosial (Susilo, 2018).
Pendekatan pendidikan di "Taman Siswa" sangat berbeda dari sistem pendidikan konvensional. Ki Hadjar Dewantara menerapkan metode belajar sambil bermain dan belajar melalui pengalaman, yang menekankan pada pentingnya interaksi dengan alam dan lingkungan sosial. Hal ini mencerminkan pemahaman Ki Hadjar Dewantara tentang pentingnya pendidikan yang menyenangkan dan relevan dengan kehidupan nyata siswa (Suparlan, 2016).
Pengaruh Gaya Kepemimpinannya Terhadap Sistem Pendidikan Di Indonesia
Gaya kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara dalam pendidikan telah memberikan dampak yang signifikan terhadap sistem pendidikan di Indonesia. Melalui "Taman Siswa", ia berhasil memperkenalkan ide bahwa pendidikan harus dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat, bukan hanya kalangan elit. Ini merupakan langkah awal dalam demokratisasi pendidikan di Indonesia. Selain itu, Ki Hadjar Dewantara juga menekankan pentingnya pendidikan karakter dan pembentukan identitas nasional. Melalui pendidikannya, ia berusaha menanamkan nilai-nilai seperti kecintaan terhadap tanah air, kepedulian sosial, dan rasa hormat terhadap kebudayaan Indonesia. Pendekatan ini telah membantu membentuk generasi muda Indonesia yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki kekuatan moral dan kepedulian sosial (Erlianto & Santo, 2022).
Pengaruh Ki Hadjar Dewantara juga terlihat dalam pengembangan kurikulum dan metode pengajaran di sekolah-sekolah Indonesia. Prinsip-prinsip yang ia perkenalkan, seperti pembelajaran berbasis pengalaman, pendidikan holistik, dan penghormatan terhadap kearifan lokal, telah menjadi inspirasi bagi banyak pendidik di Indonesia untuk mengembangkan metode pengajaran yang lebih efektif dan relevan dengan kebutuhan siswa (Susilo, 2018).
Dengan demikian, gaya kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara dalam pendidikan telah memberikan kontribusi yang tidak terukur bagi perkembangan sistem pendidikan di Indonesia. Melalui "Taman Siswa" dan prinsip-prinsip pendidikannya, ia telah membuka jalan bagi pendidikan yang lebih inklusif, demokratis, dan berorientasi pada pengembangan potensi individu.
Bagaimana Pendekatannya Mengubah Wajah Pendidikan Di Indonesia
Pendekatan Ki Hadjar Dewantara dalam pendidikan, yang berpusat pada siswa dan menghargai kearifan lokal, merupakan perubahan radikal dari sistem pendidikan kolonial yang kaku dan eurosentris. Melalui "Taman Siswa", ia memperkenalkan konsep pendidikan yang lebih fleksibel, menyenangkan, dan relevan dengan kebutuhan serta latar belakang budaya siswa Indonesia (Susilo, 2018).
Salah satu dampak terbesar dari pendekatannya adalah demokratisasi pendidikan. Ki Hadjar Dewantara berkeyakinan bahwa pendidikan adalah hak semua orang, tidak terbatas pada kalangan tertentu saja. Ini berbeda dengan sistem pendidikan kolonial yang cenderung eksklusif dan elit. Dengan demikian, "Taman Siswa" menjadi simbol perjuangan untuk pendidikan yang inklusif dan merata (Suparlan, 2016).
Perbandingan Dengan Sistem Pendidikan Sebelumnya
Sebelum era Ki Hadjar Dewantara, sistem pendidikan di Indonesia didominasi oleh model pendidikan kolonial yang kurang memperhatikan kebutuhan dan konteks lokal. Pendidikan cenderung bersifat dogmatis, dengan penekanan pada hafalan dan disiplin ketat, yang tidak selalu sesuai dengan kebutuhan pembelajaran siswa Indonesia.
Berbeda dengan sistem pendidikan sebelumnya, Ki Hadjar Dewantara mengedepankan pendidikan yang holistik dan humanistik. Ia memahami bahwa pendidikan tidak hanya tentang pengetahuan akademis, tetapi juga tentang pengembangan karakter, kreativitas, dan kemandirian. Pendekatannya yang mengutamakan pengalaman langsung dan interaksi dengan lingkungan sekitar telah membuka jalan bagi metode pembelajaran yang lebih interaktif dan kontekstual (Widyayanti & Murtiningsih).
Selain itu, Ki Hadjar Dewantara juga menekankan pentingnya pendidikan karakter dan kebangsaan. Ini merupakan respons terhadap sistem pendidikan kolonial yang cenderung mengabaikan aspek-aspek tersebut. Melalui pendidikannya, ia berhasil menanamkan nilai-nilai nasionalisme dan kecintaan terhadap budaya lokal, yang sangat penting dalam membentuk identitas nasional Indonesia (Erlianto & Santo, 2022).
Dengan demikian, gaya kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara dalam pendidikan telah memberikan kontribusi yang sangat penting dalam membentuk sistem pendidikan Indonesia yang lebih inklusif, holistik, dan sesuai dengan kebutuhan serta konteks lokal. Pendekatannya telah menjadi inspirasi bagi generasi pendidik selanjutnya dan terus berpengaruh hingga saat ini.
Bagaimana Ki Hadjar Dewantara Menanamkan Nilai-nilai Melalui Contoh Kepemimpinan
Ki Hadjar Dewantara mempraktikkan filosofi "Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani," yang berarti "di depan memberi contoh, di tengah membangun semangat, dan di belakang memberi dorongan" (Susilo, 2018). Melalui filosofi ini, beliau menunjukkan bagaimana seorang pemimpin harus menjadi contoh yang baik, menginspirasi dan mendukung dari belakang. Ini mencerminkan pendekatan kepemimpinan yang holistik dan berpusat pada pengembangan karakter.
Dalam praktiknya, Ki Hadjar Dewantara tidak hanya mengajar materi pelajaran tetapi juga menanamkan nilai-nilai seperti kejujuran, kemandirian, dan rasa tanggung jawab. Beliau memperlihatkan nilai-nilai ini melalui tindakannya sehari-hari, baik dalam interaksi dengan siswa maupun dalam pengelolaan "Taman Siswa" (Suparlan, 2016).
“Ing Ngarsa Sung Tuladha," "Ing Madya Mangun Karsa," dan "Tut Wuri Handayani" adalah tiga prinsip pendidikan oleh Ki Hadjar Dewantara, tokoh pendidikan terkemuka di Indonesia. Prinsip-prinsip ini mencerminkan filosofi pendidikan yang holistik dan mendalam, yang berfokus pada pengembangan karakter dan kepemimpinan siswa. Berikut penjelasan masing-masing prinsip:
1. Ing Ngarsa Sung Tuladha: Prinsip ini berarti "Di depan memberikan contoh." Ini menekankan peran pendidik sebagai panutan yang harus ditiru oleh siswanya. Dalam konteks kepemimpinan, ini berarti seorang pemimpin harus menjadi contoh yang baik dalam segala hal, menunjukkan perilaku, sikap, dan nilai-nilai yang ingin ditanamkan kepada orang lain. Dalam pendidikan, guru diharapkan tidak hanya mengajar materi pelajaran, tetapi juga menunjukkan perilaku yang baik, seperti kejujuran, ketekunan, dan empati.
2. Ing Madya Mangun Karsa: Artinya "Di tengah membangun inisiatif dan kreativitas." Prinsip ini menekankan pentingnya mendukung dan mengembangkan inisiatif serta kreativitas di antara siswa atau anggota tim. Seorang pendidik atau pemimpin harus mampu memotivasi dan menginspirasi orang lain untuk mengembangkan ide-ide baru dan berpikir kreatif. Ini juga berarti memberikan kebebasan kepada siswa atau anggota tim untuk mengeksplorasi dan mengekspresikan ide-ide mereka sendiri.
3. Tut Wuri Handayani: Prinsip ini diterjemahkan sebagai "Dari belakang memberikan dorongan." Ini menggambarkan peran pendidik atau pemimpin sebagai pemberi dukungan dan motivasi dari belakang. Dalam praktiknya, ini berarti memberikan dorongan, bimbingan, dan dukungan kepada siswa atau anggota tim untuk mencapai potensi mereka. Seorang pendidik atau pemimpin dengan pendekatan ini akan lebih banyak mendengarkan, mengamati, dan memberikan umpan balik yang konstruktif, serta mendorong kemandirian dan pertumbuhan pribadi.
Ketiga prinsip ini secara keseluruhan mencerminkan pendekatan pendidikan dan kepemimpinan yang seimbang, di mana pendidik atau pemimpin tidak hanya memberikan contoh yang baik, tetapi juga membangun inisiatif dan kreativitas, serta memberikan dukungan dan dorongan yang diperlukan untuk pertumbuhan dan pengembangan individu.
Begitu juga konsep sistem among (sistem pengajaran) dan kodrat Alam (kehendak alam) juga merupakan buah gagasan dari pemikirannya. Sistem Among adalah suatu sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan yang bersendikankodrat alam dan kemerdekaan. Sistem Among ini berdasarkan cara berlakunya disebut sistem Tut wuri Handayani. Dalam sistem ini orientasi pendidikan adalah pada anak didik, yang dalam terminologi baru disebut student centered.
Sedangkan Kodrat alam (Ahmad Sholeh dalam bukunya berjudul Relevansi Gagasan Sistem Among dan Tri Pusat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara terhadap pengembangan Pendidikan Islam Di Indonesia, adalah wujud dari kekuasaan tuhan yang artinya, bahwa pada hakekatnya manusia sebagai mahkluk tuhan adalah satu dengan alam lain. Karena itu manusia tidak dapat di lepas dari kehendak kodrat alam. Manusia akan memperoleh kebahagiaaan jika ia mampu menyatukan diri dengan kodrat alam yangmengandung segala hukum kemajuan. Manusia mempunyai multi potensi yang harus di gali sehingga ia sadar dan berbahagia dengan kodratnya.
Corak pendidikan yang digagasnya adalah suatu dasar pendidikan yang berbentuk nasionalistik dan universal.
"Landasan filosofisnya nasionalistik dan universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan (Bambang Sukowati-buku judul Ki hadjar Dewantara”ayahku”).
Studi Kasus Dalam Konteks Sekolah Atau Lembaga Pendidikan
Sebagai studi kasus, kita dapat melihat implementasi nilai-nilai ini di "Taman Siswa". Di sekolah ini, siswa tidak hanya diajarkan materi akademis tetapi juga dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan yang membangun karakter. Misalnya, siswa diajarkan untuk bekerja sama, menghargai keragaman, dan mengembangkan rasa kepedulian sosial.
Salah satu contoh spesifik adalah bagaimana Ki Hadjar Dewantara mengintegrasikan nilai-nilai kebangsaan dan kebudayaan dalam kurikulum. Hal ini dilakukan untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air dan menghargai kearifan lokal. Siswa diajarkan tentang sejarah dan budaya Indonesia, serta dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan yang merayakan kebudayaan lokal (Widyayanti & Murtiningsih).
Pendekatan ini telah terbukti efektif dalam membentuk karakter siswa yang tidak hanya cerdas secara akademis tetapi juga memiliki integritas dan kepedulian sosial. Ini menunjukkan bagaimana pendidikan karakter dapat diintegrasikan secara efektif dalam sistem pendidikan melalui contoh dan praktik kepemimpinan yang baik.
Strategi Mengembangkan Pemimpin Muda dengan Prinsip Ki Hadjar Dewantara
Salah satu strategi utama Ki Hadjar Dewantara dalam mengembangkan kepemimpinan di kalangan muda adalah melalui pendidikan karakter dan kemandirian. Beliau percaya bahwa pemimpin yang baik harus memiliki karakter yang kuat dan kemampuan untuk berdiri sendiri. Hal ini tercermin dalam pendekatannya yang menekankan pada pembelajaran mandiri dan pengembangan kreativitas (Susilo, 2018).
Selain itu, Ki Hadjar Dewantara juga menerapkan metode pembelajaran yang berpusat pada siswa, di mana siswa diberi kebebasan untuk mengeksplorasi dan mengembangkan potensi mereka. Ini menciptakan lingkungan yang kondusif bagi siswa untuk belajar bertanggung jawab dan mengambil inisiatif, kualitas penting dalam kepemimpinan (Suparlan, 2016).
Konsepsi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara Dalam Tinjauan Filsafat Pendidikan
Ki Hadjar Dewantara mempunyai konsep pendidikan yang bertujuan untuk mencapai tujuan pendidikan, yaitu Tri Pusat Pendidikan:
- pendidikan keluarga
- pendidikan bidang
- pendidikan bidang pemuda atau masyarakat.
Ki Hadjar Dewantara mengintegrasikan budayaa anak sejak dini khususnya Taman Indria (balita). Konsep belajar tersebut adalah Tri No, yaitu nonton, niteni dan nirokke. Nonton (cognitive), nonton di sini adalah secara pasif dengan segenap panca indera. Niteni (affective) adalah mempelajari, mengamati, memperhatikan apa yang di peroleh dari panca indera dan nirokke (psychomotoric) adalah meniru positif yang dihadapi anak dalam masa perkembangannya (Dwiarso, 2010: 1).
Ketika anak didik beranjak pada pendidikan Sekolah Dasar, kemudian pendidikan sekolah dasar dan seterusnya maka konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara adalah Ngerti, Ngroso dan nglakoni. Model pendidikan ini dimaksudkan supaya anak tidak hanya di didik intelektualnya saja (cognitive), istilah Ki Hadjar Dewantara 'ngerti', melainkan harus ada keseimbangan dengan ngroso (affective) serta nglakoni (psychomotoric). Oleh karena itu di harapkan kedepannya anak-anak yang menjalani proses belajar mengajar dengan pikirannya, memahami dengan emosinya, dan mampu menerapkan ilmu yang diperoleh dalam kehidupan bermasyarakat.
Menurut Ki Hadjar Dewantara, hadil akhir pendidikan adalah menghasilkan manusia yang tangguh dalam kehidupan masyarakat. Makna dari maksud tersbut seseorang mempunyai etika sebagai seorang pelajar khususnya mampu menjalankan Tri Pantangan diantaranya tidak menyalahgunakan kekuasaan, tidak maemanipulasi keuangan dan tidak melanggar kesusilaan (Ki Suratman, 1987 : 13).
Teori Trikon
Selain dari tripusat pendidikan, Ki Hadjar Dewantara juga menekankan pada ajaran Trikon atau Teori Trikon. Teori Trikon merupakan upaya pemajuan kebudayaan nasional yang mengandung tiga unsur yaitu kontinuitas, konsentrisitas, dan konvergensi.
1.Kontinuitas
Kontinuitas artinya Kebudayaan atau kehidupan bangsa berlangsung terus menerus, berkesinambungan dan tidak terputus. Seiring dengan perkembangan dan kemajuan kebudayaan, maka kehidupan suatu bangsa terus dipengaruhi oleh nilai-nilai baru, dan jalan kemajuan suatu bangsa terus digariskan. Bukan lompatan terputus-putus dari garis aslinya. Lompatan yang patah akan kehilangan cengkeraman. Kemajuan suatu bangsa merupakan kelanjutan dari garis hidup aslinya, yang terus-menerus didorong oleh penerapan nilai-nilai baru dari perkembangan internal dan eksternalnya. Oleh karena itu, kontinuitas dapat diartikan bahwa pengembangan dan pemeliharaan jati diri bangsa harus merupakan kelanjutan dari kebudayaan yang dimiliki.
2. Konsentrisitas
Konsentrisitas artinya dalam proses pengembangan kebudayaan kita harus bersikap terbuka namun kritis dan selektif terhadap pengaruh budaya di sekitar kita. Hanya unsur-unsur yang mampu memperkaya dan meningkatkan mutu kebudayaan yang akan diterima dan diterima setelah dipahami dan disesuaikan dengan jati diri bangsa. Hal ini merekomendasikan bahwa pembentukan kepribadian harus bersumber dari budaya nasional, meskipun tidak menutup kemungkinan untuk merangkul budaya asing yang baik dan menyelaraskan dengan budaya nasional.
3. Kovergensi
Konvergensi mengandung arti bahwa dalam pengembangan jati diri bangsa, bersama-sama bangsa lain berupaya mengembangkan identitas global sebagai satu kesatuan kebudayaan bangsa-bangsa di dunia (konvergensi), tidak menghilangkan kepribadian dan jati diri masing-masing bangsa. Tidak perlu menghilangkan kekhususan kebudayaan Indonesia untuk membangun kebudayaan global (Moh. Yamin, 2009: 188).
Sesuai dengan pernyataan di atas, maka pengembangan jati diri dan pembangunan kebudayaan nasional harus merupakan kelanjutan dari kebudayaan yang dimiliki (terus menerus) menuju penyatuan (konvergensi) kebudayaan global, dengan tetap eksis dan mengembangkan karakter dalam lingkungan global. lingkungan kemanusiaan (konsentrisitas). Dengan demikian, pengaruh terhadap budaya yang masuk harus bersifat terbuka, dibarengi dengan sikap selektif agar tidak kehilangan jati diri. Agar generasi muda Indonesia tidak hanya berpartisipasi dan memanfaatkan teknologi yang ada, namun juga memanfaatkannya secara positif dan tidak terpengaruh oleh hal-hal negatif yang ada. Hal inilah yang ingin kita capai dalam pendidikan karakter: mengikuti perkembangan zaman namun tidak terjebak arus zaman.
Apa Saja Fatwa Ki Hadjar Dewantara Itu ?
Dalam sistem yang dikembangkannya, Ki Hadjar Dewantara menerbitkan “10 Fatwa Kebebasan Hidup Merdeka”. Ajaran ini dikenal dan ditinjau kembali dengan istilah “pendidikan karakter”. Dikutip dari website lembaga pendidikan Taman Siswa, sepuluh pernyataan dan penjelasan fatwa Ki Hadjar Dewantara adalah sebagai berikut:
1. Sastrawan penentang ngesti mulya
Penjelasan ini di maksudkan dengan “ ilmu kita menuju kejayaan”. Penjelasan klausa ini juga mencakup kalimat lain, misalnya Sastra Herjendrayuningrat Pangruwating Dyu yang diterjemahkan, “ilmu yang luhur dan mulia akan menyelamatkan dunia”.
2. Tatanan suci ngesti tunggal
Penjelasan adalah: “dengan kesucian batin, kelahiran teratur menuju kesempurnaan.
3. Hak Anda untuk menuntut salam dan kebahagiaan.
Fatwa ini menjelaskan bahwa di hadapan Tuhan, semua manusia pada hakikatnya sama, mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama, hak yang sama untuk mengatur kehidupannya sendiri, dan hak yang sama untuk memenuhi tanggung jawab kemanusiaannya atas keamanan. kehidupan fisiknya dan kebahagiaannya dalam kehidupan batinnya. Maksudnya bukan sekedar mengejar rasa aman lahiriah dan bukan hanya mengejar kebahagiaan batin.
4. Ucapan bahagia tidak boleh mengganggu ketentraman masyarakat
Penjelasan fatwa ini: “Sebagai peringatan bahwa kebebasan pribadi kita dibatasi oleh kepentingan keamanan masyarakat. Kebebasan pribadi kita dibatasi oleh hak-hak orang lain yang sama seperti kita semua, berbagi kebahagiaan yang sama dalam hidup. Semua kepentingan bersama harus didahulukan di atas kepentingan masing-masing agar bisa hidup aman dan bahagia ketika masyarakat kita sedang kacau, kacau, dan damai.
5. Sifat kepemimpinan yang sempurna
Hakekat alam yaitu daya dan kuasa yang melingkupi dan menyelubungi kehidupan kita merupakan hakikat lahirnya Tuhan Yang Maha Kuasa yang berjalan tertib dan sempurna atas seluruh daya manusia.
6. Alam Kehidupan manusia adalah kehidupan yang bersifat melingkar
Artinya kita masing-masing hidup dalam lingkungan alam khusus yang saling berhubungan dan mempunyai pengaruh. Dunia khusus ini adalah wilayah diri, bangsa, dan kemanusiaan.
7. Dengan hati yang murni, bebas dari segala keterikatan, marilah kita melayani anak
Dalam mengasuh anak, kendala bagi anak tidak lain adalah kendala kita sendiri, pengorbanan diperlihatkan kepada anak, namun yang memerintahkan dan memberikan kita berkorban bukanlah anak, melainkan kita masing-masing.
8. tetap di tempat
Dalam menjalankan tugas tempur kita harus mempunyai tekad (terus menerus), termasuk belajar dengan giat, dan tidak boleh menoleh ke kiri dan ke kanan.
9. Bandel Ngandel-Kendel
Ngandel artinya percaya pada kekuasaan Tuhan dan percaya pada diri sendiri Kendel artinya berani atau tidak kenal takut. Bandel yang artinya sabar dan beriman.
10. Neng-ning-nung-nang
Neneng (neng) dengan ketenangan dan raga. Wening (ning) artinya menyucikan pikiran. Hanung (nung) kuat secara fisik dan mental untuk mencapai tujuan kita, dan menanf (nang) memiliki otoritas dan kekuasaan atas upaya kita.
Kesimpulan
Dalam tulisan artikel ini, kita telah menggali dan memahami secara mendalam gaya kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara, yang berperan penting dalam sejarah dan evolusi pendidikan di Indonesia, serta relevansinya yang berkelanjutan di era modern. Kita telah tau bagaimana latar belakang dan prinsip-prinsip Ki Hadjar Dewantara, termasuk Panca Darma, membentuk pendekatan kepemimpinannya yang unik, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan (Susilo, 2018; Suparlan, 2016; Widyayanti & Murtiningsih).
Konsep "Taman Siswa" yang inovatif, yang diperkenalkan oleh Ki Hadjar Dewantara, menekankan pentingnya pendidikan karakter dan pengembangan kepemimpinan di kalangan muda. Pendekatannya telah memberikan dampak signifikan dalam mengubah wajah pendidikan di Indonesia, membawa perubahan dari sistem pendidikan yang kaku menjadi lebih fleksibel dan manusiawi (Widyayanti & Murtiningsih; Erlianto & Santo, 2022; Prasetyo, 2021).
Memahami dan menerapkan prinsip kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara di era modern sangat penting. Gaya kepemimpinannya yang mengutamakan kebebasan, kreativitas, dan pengembangan potensi individu sangat relevan dengan kebutuhan pendidikan dan kepemimpinan saat ini. Prinsip-prinsip ini dapat diadaptasi dan diterapkan dalam berbagai konteks pendidikan dan organisasi untuk mengembangkan pemimpin yang berwawasan luas, berbudaya, dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi.
Dengan mengadopsi nilai-nilai yang diajarkan oleh Ki Hadjar Dewantara, kita dapat membentuk generasi pemimpin masa depan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kaya akan nilai-nilai kebudayaan dan kemanusiaan.
Mari kita renungkan kembali nilai-nilai yang telah diajarkan oleh Ki Hadjar Dewantara. Dalam dunia yang terus berubah, di mana tantangan baru muncul setiap hari, prinsip-prinsip kepemimpinan yang berakar pada pemahaman mendalam tentang kemanusiaan, kebudayaan, dan kebebasan menjadi semakin penting. Kita, sebagai individu dan sebagai bagian dari masyarakat, memiliki tanggung jawab untuk menerapkan dan menjaga nilai-nilai ini dalam kehidupan kita sehari-hari. Dengan demikian, kita tidak hanya menghormati warisan Ki Hadjar Dewantara, tetapi juga berkontribusi pada pembentukan masyarakat yang lebih adil, berbudaya, dan berwawasan ke depan.
Daftar Pustaka
Erlianto, P. R., & Santo. (2022). Pendidikan Kaum Tertindas: Perjumpaan Gagasan Pendidikan Paulo Freire dan Ki Hadjar Dewantara dan Harapan Bagi Pendidikan Di Indonesia. Jurnal Forum, 50(2). https://dx.doi.org/10.35312/forum.v50i2.369
Prasetyo, A. B. (2021). Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran di Era Digital. Jurnal Pendidikan Karakter, 11(1). https://dx.doi.org/10.21831/jpk.v11i1.32976
Suparlan, H. (2016). Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Sumbangannya Bagi Pendidikan Indonesia. Jurnal Filsafat, 26(2). https://dx.doi.org/10.22146/jf.12614
Susilo, S. (2018). Refleksi Nilai-Nilai Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dalam Upaya Mengembalikan Jati Diri Pendidikan Indonesia. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 4(1). https://dx.doi.org/10.31949/JCP.V4I1.710
Widyayanti, R., & Murtiningsih, S. S. M. Rr. (Tahun tidak tersedia). Konsep Kebebasan dalam Pendidikan Menurut Ki Hadjar Dewantara dan Paulo Freire. Jurnal Pendidikan
Suparian, H. (Februari 2015). FILSAFAT PENDIDIKAN KI HADJAR DEWANTARA DAN SUMBANGANNYA BAGI PENDIDIKAN INDONESIA. Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa.
Rufisa, A. M. (Oct 2017). Pemikiran Pendidikan Multikultural Ki Hadjar Dewantara. Surakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H