Ustazah masih menyimak setiap kata yang keluar dari mulutku, memberikan aku ruang untuk mencurahkan perasaanku, aku mencoba tenang dan santai meskipun jiwaku terguncang, aku ingin bebas dari semua ini, aku ingin meminta suamiku menceraikan aku saja.
"Demikianlah pembahasan pengajian kita pada malam ini, tentang kesabaran seorang istri menyikapi masalah dalam konteks keluarga, selanjutnya saya berikan waktu pada Ibu-ibu shalihah , jika ada yang ingin ditanyakan,akan kita diskusikan lagi, Jika saya tak mampu menyelesaikan malam ini, saya akan mencoba menambahkannya malam jum'at minggu depan " Suara wibawa ustazah Fatimah menutup pengajian malam ini.
Malam ini ustazah menjabarkan tentang kesabaran seorang istri dalam rumah tangga, aku sangat ingin bertanya, karena keterbatasan ilmu ku dalam hal ini. Ustazah ber ulang kali mengingatkan dalam kajian yang baru saja selesai, agar seorang istri bersabar atas sikap suami yang tidak berkenan, tetap bersabar atas semua masalah yang menimpa, mencoba saling berkomunikasi dengan pasangan jika ada masalah dan jika ingin memutuskan sesuatu hal.
Aku terdiam menunduk, aku seperti ditampar berkali kali, atas ketidak sabaran ku, atas semua prilaku dan sikapku pada Roni suamiku, lelaki yang menikahi ku sepuluh tahun silam.
Lelaki yang dipanggil Ayah oleh Alif, putra tunggal kami yang kini berusia sembilan tahun, masih berseragam merah putih, yang sering terluka dan kecewa atas perlakuan dan sikap Sang ayah.
Alif, yang malam ini tertidur dalam pangkuanku, aku harus membawa putraku ke Meunasah tempat pengajian digelar, karena aku tak mau ketinggalan pengajian mingguan, meskipun tadi sore sempat beradu argumen dengan suamiku. Aku memohon padanya untuk bersedia menemani Alif dirumah, dengan harapan jika Alif dijaga oleh suamiku, aku tidak kerepotan harus membawa Alif ke tempat pengajian. Roni, sang suami malah memakiku, dengan suara yang keras, seiring dengan tangannya yang mendarat bebas di pipi kiriku.
Tamparan sore tadi, menyisakan lagi kenangan pahit yang tak ingin aku kenang. Tamparan demi tamparan sering menghiasi pipiku, lukisan abadi dari tangan suamiku, lelaki yang pernah sangat aku cintai, lelaki yang telah memintaku menjadi pendamping hidupnya sampai akhir hayat, yang pernah berjanji akan menjadikan aku ratu di hati dan di rumahnya.
Airmata duka mengkristal di sudut mataku, sebelum butiran itu membulat dan menetes, aku menghilangkannya dengan ujung kerudung ku. Aku lupa membawa saputangan, secepat kilat aku keringkan butiran bening ini menggunakan benda apa saja yang berfungi untuk menghapus mataku yang basah.
" Rina, kamu kenapa? " setengah berbisik suara Lia sahabatku membuat aku kaget, Lia tak hanya berbisik, dia juga menyenggol aku dengan sikunya. Lamunanku seketika buyar, pandangan ku kembali fokus ke depan, kembali menyimak suara Ustazah Fatimah menanggapi pertanyaan dari salah satu majelis di pengajian malam ini.
"Bagaimana buk Yani, apa masih ada yang ingin ditanyakan, terkait penjelasan saya barusan, atau apa bisa kita cukupkan sampai disini ?" Tanya Ustazah Fatimah pada Yani. Ntah apa yang ditanyakan oleh Yani pada Ustazah, dan aku juga tidak tahu apa jawaban Ustazah pada menanggapi pertanyaan Yani. Beberapa menit berlaku tanpa terekam di memori ingatanku.
Pandanganku beralih ke Yani sahabat ku satu majelis pengajian, Yani mengangguk kan kepalanya tanda dia mengerti pada setiap uraian Ustazah barusan.
Pengajian mingguan untuk malam ini telah usai, rasanya aku enggan membangunkan Alif yang tertidur nyenyak di pangkuanku. Teman-teman lainnya satu persatu beranjak meninggalkan majelis pengajian, aku tak ingin beranjak dulu, kubiarkan putra semata wayangku ini , untuk terlelap dalam dekapan ku. Untuk mengisi waktu, aku baca kembali catatan yang aku tulis, tentang ulasan yang dijelaskan ustazah malam ini.
***
Seseorang menepuk lembut pundakku, dan duduk bersisian di sampingku.
" Nunggu di jemput suami nya ya buk..? " Tanya suara lembutnya padaku..
" Eh.. Enggak Ustazah " Jawabku terbata, sambil melihat ke arah ustazah yang sekarang berada di samping ku.
" Saya bawa kendaraan sendiri, ini kasian si kecil ketiduran, gak tega rasanya kalau saya bangunin " kata ku menambahkan.
"Nama ibu siapa, saya lupa " Tanya ustazah kemudian padaku.
"Saya Afrina ustazah, Teman-teman memanggil saya Rina"
"Saya perhatikan Buk Rina, seperti ada masalah, banyak termenungnya, tidak fokus pada pengajian tadi, apa yang sedang terjadi Buk, jika saya boleh tahu" suara lembut ustazah Fatimah membuat aku ingin bercerita semua tentang kejadian yang aku alami.
"Jika Buk Rina belum siap untuk cerita, gak apa apa, maaf atas kelancangan saya" Ustazah merasa bersalah karena telah menanyakan kondisiku, ini karena aku diam saat ustazah bertanya padaku.
Sekarang aku pun merasa bersalah, karena tidak tahu memulai darimana menjawab pertanyaan ustazah.
"Ustazah, maaf.. Saya gak tahu harus mulai dari mana, saya merasa di dhalimi oleh suami saya" Jawabku merespon pertanyaan Ustazah Fatimah.
"Menzhalimi bagaimana maksudnya? " Ustazah  Fatimah mulai memancing ku untuk bercerita
" Saya pernah diperlakukan kasar Ustazah, dikasari secara fisik dan secara verbal" Jawabku kemudian.
"Maksud Buk Rina, apa Buk Rina pernah di pukul oleh suami? "
"Dan suami Buk Rina juga, sering bicara kasar kepada Buk Rina ya? " Ustazah Fatimah mulai masuk ke daerah nyaman ku, aku merasa nyaman sekarang untuk bercerita.
Sedetik kemudian mengalirlah kalimat-kalimat kesakitan dari mulutmu, terbata bata, pelan-pelan, dan dengan sedikit isakan yang tak mampu ku tahan.
Ustazah menyentuh bahuku, memberikan aku ruang untuk menenangkan diri.
"Ustazah, saya tidak sanggup lagi, saya sudah berusaha bersabar, tapi sepertinya kesabaran saya sudah habis ustazah, saya merasa suami saya tidak menyayangi saya sedikitpun "
"Tadi sore, saya memintanya malam ini untuk menemani Alif, karena saya ingin hadir di pengajian tanpa membawa anak, kasian juga Alif tertidur begini" Kataku sambil membelai rambut Alif yang masih terlelap di pangkuanku.
" Tapi ayahnya Alif, memarahi saya ustazah, bertindak kasar dengan menampar pipi saya, katanya tadi.. Kau tak berhak menyuruh nyuruh ku ya, kau itu istriku, aku nanti malam banyak urusan, kalau kau mau pergi ngaji, bawa anakmu sekalian, biar nanti jadi sok alim kayak kamu. Saya sedih ustazah, saya tidak tahu bercerita sama siapa " isak ku pada Ustazah Fatimah.
" Saya malu ustazah, saya malu pada tetangga jika ribut-ribut, makanya saya memilih diam, nanti selang beberapa saat biasanya suami saya juga akan baik lagi kepada saya dengan sendirinya " lanjutku lagi, butiran bening telah mengkristal di sudut mataku, yang aku tahan agar tidak mengalir basahi wajahku.
Ustazah masih menyimak setiap kata yang keluar dari mulutku, memberikan aku ruang untuk mencurahkan perasaanku, aku mencoba tenang dan santai meskipun jiwaku terguncang, aku ingin bebas dari semua ini, aku ingin meminta suamiku menceraikan aku saja.
"Ustazah, berdosa kah kalau saya minta cerai saja dari suami saya, saya ingin hidup damai berdua anak saya saja" Kataku pada Ustazah mengungkapkan keinginanku.
"Astaghfirullah Buk Rina, istiqfar Buk, Allah memberikan Ibu ujian ini, karena menurut Allah ibu adalah orang yang kuat, hamba Allah yang sabar, setiap kita menghadapi masalah, kita jangan mencoba berlari dari masalah Buk, kita coba cari jalan keluar lain, selain berpisah "
"Allah pasti punya jalan keluar atas masalah Buk Rina, Buk Rina coba pahami lagi, kira kira dimanakah jalan keluar pada masalah Buk Rina ini" Saran dan nasehat Ustazah Fatimah untuk ku, sedikit membuat aku tenang.
"Ini, Buk Rina bisa menghubungi saya via telpon, jika masih ada yang ingin kita bicarakan" Kata Ustazah Fatimah kemudian, sambil memberikan kartu namanya padaku.
"Saya duluan ya Buk Rina, sudah di jemput" Pamit Ustazah Fatimah sambil berlalu dari hadapan ku, menuju ke arah parkir, dimana suaminya sudah menunggu.
***
Aku membangunkan Alif pelan, Alif membuka mata perlahan, aku membantu Alif berdiri, kemudian menggandengnya keluar dari Meunasah, menuju tempat parkir dan berlaju pulang ke rumah dengan motor maticku.
Sesampai dirumah, aku masukkan motor ke garasi, motor gede suamiku sudah duluan terparkir di garasi, ternyata suamiku sudah pulang aku membatin.
Aku dan Alif masuk kerumah, aku pegang handle pintu, menggoyangnya sedikit dan pintu terbuka. Pelan pelan aku dan Alif masuk ke rumah, aku tidak mau mengganggu suamiku yang mungkin sedang beristirahat.
Tiba-tiba lampu ruang tengah hidup, suamiku menghidupkan lampu, menghentikan langkah aku dan Alif.
Aku maju kehadapannya, mengulurkan tanganku untuk menyalami nya. Dia menepis tanganku, tak mau menyambut tanganku yang sudah ter ulur untuk menyalami nya dan hal ini juga menunda keinginanku untuk mengecup punggung tangannya.
"Maaf, kami baru pulang" Suaraku lirih, aku menunduk dan berlalu dari hadapan suamiku, menggenggan erat tangan Alif putra tinggal kami, sementara ada butiran bening mengkristal di kedua mataku.
Sedetik kemudian mulutnya terbuka, mengeluarkan suara dengan volume yang tinggi, menghentikan langkahku yang ingin berlalu dari hadapannya.
"Dari mana kamu, hah.. "
"Istri tak tau diri" Suaranya meninggi memecah keheningan malam, aku ber usaha sabar dan menggigit emosiku dalam dalam, ini caraku mengontrol emosiku, agar aku tak membalas memakinya.
"Bunda dan Alif dari Meunasah, kan tadi sore Bunda sudah bilang sama Ayah malam ini ada pengajian, karena Ayah tidak bisa menemani Alif, jadi Alif nya Bunda bawa" aku menjawab gertakan nya dengan suara yang ku atur pelan. Aku merasakan Alif ketakutan, Alif menggenggam erat tanganku, mencari kenyamanan pada aku Bundanya.
Tiba-tiba isakan kecil Alif terdengar, kemudian isakan itu menjadi tangisan besar, Aku spontan memeluk Alif, berusaha menenangkan nya. Aku memilih berlalu dari hadapan suamiku, membawa Alif yang sedang menangis ke kamarnya.
Di kamar tidurnya, Alif masih menangis kencang, aku memeluknya di sisi tempat tidur, kemudian pelan pelan meng isyaratkan Alif untuk tidur, aku memberikan sentuhan lembut di wajahnya, menghapus air matanya dengan batinku yang terluka.
Mata Alif yang basah perlahan tertutup, Alif terlelap dalam kenyamanan belaian ku, aku masih membelai rambutnya meskipun aku tau putraku sudah tertidur, ku bisikkan doa keselamatan di kedua telinga nya, aku juga berpesan dalam bisikan ku padanya malam ini, "Maafkan Ayahmu anakku"
***
Aku tersentak kaget, sebuah tangan kasar menarikku, aku belum sadar sepenuhnya, dimana aku..?
Ternyata aku tertidur di kamar anakku, dan suamiku menyusul ke kamar Alif, sambil menarik tanganku dengan kasar.
"Keluar dari sini, aku menunggu mu di kamar, dan kau istri tak berguna, sengaja menghindari ku ya? "
"Capek aku tunggu dikamar, kau enak enakkan tidur di kamar anak, untuk apa juga kau pergi pengajian, kalau kau tak mau melayani suamimu ini " Suamiku marah besar, karena aku tertidur dikamar Alif, tidak ada niat aku untuk menghindari nya, mungkin karena aku kelelahan, aku pun ikut tertidur di samping Alif.
"Maaf, Ayah... Bunda kecapean, jadi tertidur dikamar Alif" Kataku membela diri
"Kau ini, tahu nya minta maaf aja " Jawabnya dengan volume suara yang sudah sedikit mengecil
"Iya, Ayah maafin Bunda, sekarang Bunda ganti baju dan tidur sama Ayah ya" Suaranya sekarang jadi lembut merayuku
Aku menggantikan baju dengan baju tidur, mengambil posisi berbaring di samping suamiku, aku ingin sekali mendengar kata kata maaf keluar dari mulut suamiku, meminta maaf padaku karena perlakuan kasarnya.
Malam masih membisu, gelap seperti anganku, aku yang terus dibisikkan oleh hati kecil untuk menggugat cerai suamiku, keinginan berpisah dengan suami semakin lama semakin kuat. Namun aku masih diselimuti keraguan, bertahan dengan suasana seperti ini, atau aku pergi menjauh, hidup berdua dengan Alif putra tunggalku.
Malam menghadirkan resah semakin dalam, aku yang hampir terbuai di alam mimpi, tiba-tiba aku merasakan pelukan  hambar dari suamiku. Dan kecupannya pun terasa dingin di hatiku, sedingin aku menuntaskan kewajiban lahiriah ku sebagai istri pada nya malam ini. Ah.. Bagaimana bisa aku melayaninya, saat dalam memori batinku, semua kejadian menyakitkan itu, berputar putar terus menghantui pikiranku.
*** Â
Sebelum lantunan azan subuh berkumandang dari Masjid terdekat, aku sudah bangun. Aku membiasakan diri mandi sebelum Shubuh dan menyempatkan diri Shalat sunat fajar dan dilanjutkan Shalat Shubuh sebelum beraktivitas menjadi Ibu Rumah Tangga. Kedamaian hanya kudapatkan, saat aku diselimuti mukena suci, dan bersujud pada Allah diatas sajadah ku.
"RINAAAAAA " Suara keras suami ku mengejutkan ku, aku sedikit berlari kekamar, masih dengan mukena yang tidak sempat aku lepaskan.
"Ada apa Bang? " Tanyaku dengan pelan setibanya aku dikamar.
"Mana seragam kantor ku, aku masuk jam enam hari ini, ada tamu yang datang dari kantor pusat, ke kantor cabang, jadi aku harus cepat datang" Suara suamiku masih dengan volume suara yang tinggi.
Aku mengambil seragam kantornya dari lemari pakaian, meletakkan diatas tempat tidur, dan berlalu dari sisinya tanpa suara. Aku merasa lebih baik diam, daripada bersuara dan membuat dia murka.
"Rina... " Suara suamiku memanggilku lagi, kali ini tanpa jeritan suara yang besar seperti biasanya, aku sedang menyiapkan secangkir kopi untuknya, bergegas ke sumber suara dengan tergepoh gepoh. Secangkir kopi hangat masih berada ditanganku yang hendak kuberikan padanya.
"Iya Bang" Jawabku pelan, suamiku sudah berada di ruang tamu, dia terlihat begitu tampan dan wibawa dengan seragam kerjanya, aku mencintainya dan pasrah menerima semua kedhalimannya padaku.
"Mana kopi untuk abang? " Suara nya melembut, seakan membelai sukmaku, aku terasa nyaman mendengar kelembutan suaranya. Batinku berbisik apakah Allah sudah menjawab seluruh doa-doaku.
"Ini bang, kopinya" Ku berikan secangkir kopi yang aku buatkan penuh kasih kepadanya, dengan harapan dapat membuatnya merasakan, bahwa dia memiliki aku dan semua rasa yang aku punya.
"Sayang... " Suaranya lembut
"Terima kasih untuk secangkir kopi hangat pagi ini, Abang menyayangimu lahir dan bathin, maafkan semua kesalahan Abang ya, jangan pernah berpikir untuk meninggalkan Abang ya" Suaranya lembut di iringi dengan isakan kecil, aku menangkap ada butiran mengkristal di sudut matanya, seorang Roni yang berpendirian keras bisa berlinang airmata juga kataku membatin bercampur rasa penasaran di hatiku.
Aku masih heran dan terkejut dengan perubahan yang terjadi pada suamiku, Dia meraih aku dalam dekapannya, mendaratkan kecupan ringan di keningku.
"Abang kerja dulu ya sayang " Pamitnya padaku, ku salami tangan nya, tangan yang biasanya memberikan tamparan ke pipiku, tangan yang aku rindukan ingin sekali aku cium. Kali ini aku cium tangannya, dengan perasaan penuh tanda tanya atas semua kebaikannya, dan berharap kebaikan ini akan abadi selamanya.
Suamiku meraih lagi aku dalam dekap nya, pamit dan memberi salam padaku kemudian berlalu dari hadapan ku, sambil menghapus butiran bening dengan ujung dasinya.
Aku menjawab salamnya lirih, masih dengan rasa penasaran atas perubahan sikapnya.
***
Aku mengucapkan beribu syukur pada Allah yang Maha Besar, Allah telah menjawab doa-doaku yang tak berhenti aku panjatkan di setiap saat, siang dan malam aku selalu berdoa agar Allah memberiku kesabaran, dan Allah melembutkan hati suamiku.
Suara pesan masuk di ponselku, mengejutkan aku yang sedang sangat bahagia.
Sayang, tolong batalkan gugatan cerai yang sudah Bunda tulis ya, Ayah janji gak akan jahat lagi sama Bunda, Ayah janji akan menyayangi Bunda dan Alif sepenuhnya, nanti jam sembilan pagi kita jalan-jalan ya Bunda, kita kepantai yang Bunda suka, sebentar lagi Ayah akan pulang, hari ini Ayah Cuma ngantor sebentar aja.Â
Deg... Jantungku berdebar kuat, aku berlari ke kamar, aku lihat berkas gugatan cerai yang sudah aku susun rapi, berserakan di atas kasur. Ternyata suamiku menemukan berkas gugatan cerai yang aku buat, dan kertas-kertas putih ber isi seluruh isi hatiku, yang ku alamat ke Mahkamah Syar'iyah bentuknya tak lagi mulus, seluruh lembaran kertas sekarang berbekas remasan tangan suamiku.
Aku memungut semua kertas yang berserakan, aku tak ingin membacanya lagi, semuanya aku kumpulkan, aku jadikan satu dan kuhabiskan sisanya dengan sepercik api, api kecil yang aku nyalakan menghanguskan semua lembaran kertas tak berdosa, lembaran kertas yang jika tidak ditemukan oleh suamiku akan memutuskan ikatan pernikahan kami, lembaran kertas yang dengan izin Allah telah membuka dan melembutkan hati Roni suamiku.
***
Setelah membangunkan Alif,memandikan Putra kesayangan ku, dan memberitahukan Alif bahwa sebentar lagi Ayahnya akan menjemput Alif dan Bunda untuk pergi ke Pantai. Alif bersorak senang, tertawa bahagia menanti Ayahnya pulang dari kantor. Aku bergegas mandi dan berwudhu, empat rakaat sunat dhuha ku mengawali pagi ini, pagi yang penuh dengan kebahagian dihatiku.
Ucapan Syukur terus mengalir dalam doaku dipagi ini, airmata bahagia ku nikmati dengan rasa ringan di batinku. Kasih sayang yang tertunda diantara kami telah Allah kembalikan, Allah akan mengabulkan doa hambaNya pada saat yang tepat.
"Assalamu'alaikum" Suara hangat suamiku memberi salam, aku mendengar bunyi suara kaki Alif berlari dalam pelukannya, Alif dan Ayahnya menghampiri aku di kamar, aku yang sedang melipat sajadahku setelah Shalat sunat Dhuha, merasa sangat bahagia di hampiri oleh suami. Aku raih tangannya, aku salami dan mencium lembut tangan kekarnya, menumpahkan semua rasa sesaknya rindu. Suamiku membawa aku dalam dekapan hangatnya, kita bertiga berpelukan, tersenyum bahagia, kebahagiaan yang tertunda, yang kini kuraih kembali karena Rahmat Allah atas kesabaran ku.
Ah... Memang sabar itu berakhir indah.
***Â
Catatan :
Meunasah =Â Sebuah bangunan berbentuk seperti Mushalla atau Langgar, yang terdapat di setiap Desa di Aceh,berfungsi sebagai tempat ibadah,tempat musyawarah,pengajian dan sebagai tempat acara sosial keagamaan lainnya.
Banda Aceh, 12 Juli 2020
Ismuziani
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI