Tiba-tiba lampu ruang tengah hidup, suamiku menghidupkan lampu, menghentikan langkah aku dan Alif.
Aku maju kehadapannya, mengulurkan tanganku untuk menyalami nya. Dia menepis tanganku, tak mau menyambut tanganku yang sudah ter ulur untuk menyalami nya dan hal ini juga menunda keinginanku untuk mengecup punggung tangannya.
"Maaf, kami baru pulang" Suaraku lirih, aku menunduk dan berlalu dari hadapan suamiku, menggenggan erat tangan Alif putra tinggal kami, sementara ada butiran bening mengkristal di kedua mataku.
Sedetik kemudian mulutnya terbuka, mengeluarkan suara dengan volume yang tinggi, menghentikan langkahku yang ingin berlalu dari hadapannya.
"Dari mana kamu, hah.. "
"Istri tak tau diri" Suaranya meninggi memecah keheningan malam, aku ber usaha sabar dan menggigit emosiku dalam dalam, ini caraku mengontrol emosiku, agar aku tak membalas memakinya.
"Bunda dan Alif dari Meunasah, kan tadi sore Bunda sudah bilang sama Ayah malam ini ada pengajian, karena Ayah tidak bisa menemani Alif, jadi Alif nya Bunda bawa" aku menjawab gertakan nya dengan suara yang ku atur pelan. Aku merasakan Alif ketakutan, Alif menggenggam erat tanganku, mencari kenyamanan pada aku Bundanya.
Tiba-tiba isakan kecil Alif terdengar, kemudian isakan itu menjadi tangisan besar, Aku spontan memeluk Alif, berusaha menenangkan nya. Aku memilih berlalu dari hadapan suamiku, membawa Alif yang sedang menangis ke kamarnya.
Di kamar tidurnya, Alif masih menangis kencang, aku memeluknya di sisi tempat tidur, kemudian pelan pelan meng isyaratkan Alif untuk tidur, aku memberikan sentuhan lembut di wajahnya, menghapus air matanya dengan batinku yang terluka.
Mata Alif yang basah perlahan tertutup, Alif terlelap dalam kenyamanan belaian ku, aku masih membelai rambutnya meskipun aku tau putraku sudah tertidur, ku bisikkan doa keselamatan di kedua telinga nya, aku juga berpesan dalam bisikan ku padanya malam ini, "Maafkan Ayahmu anakku"
***